TELAAH KITAB TAFSIR
(TAFSIR IBNU KATSIR, TAFSIR AL-MARAGI, DAN TAFSIR AL-MISBAH)
MAKALAH
Untuk
memenuhi tugas mata kuliah
Tafsir
Hadits
Yang
dibimbing oleh Ustadz Yusuf Hanafi
Oleh :
Aimmatul
Mufidah 150231600149
Nur Muhammad Izzzudin
Al-Qossam 150231603929
Yayuk
Farkhatul Muthoharoh 150231602738
UNIVERSITAS
NEGERI MALANG
FAKULATAS
SASTRA
JURUSAN SASTRA ARAB
MALANG
Maret
2018
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha
penyayang, kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya. Yang melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah tentang Telaah Kitab Tafsir.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak. Sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu pembuatan makalah ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasa yang kami gunakan. Oleh karena itu, kami
mengharapkan pembaca dapat memberikan saran dan kritik agar kami dapat
memperbaiki makalah ini.
Malang,
11 Maret 2018
Tim
penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
B.
Rumusan Masalah
C.
Tujuan
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Tafsir Ibnu Katsir
B.
Tafsir Al-Maraghi
C.
Tafsir Al-Misbah
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
DAFTAR
RUJUKAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tafsir
merupakan kajian Islam tertua dan utama dalam upaya memahami teks suci
Al-Qur’an. Sebagai sebuah Kitab pedoman, Al-Qur’an melahirkan banyak wilayah
kajian lainnya, baik dari segi ibadah, muamalah, hukum, politik, pendidikan,
sosial dan kemasyarakatan. Masyarakat kembali pada Al-Qur’an dan penafsiran
Nabi terhadapnya untuk menjawab persoalan dan problematika yang terjadi. 15
abad yang lalu, Rasulullah saw sebagaimubayyin (pemberi penjelasan)
telah menjelaskan arti dan kandungan Al-Qur’an kepada sahabat-sahabatnya.
Seiring dengan waktu, para sahabat juga mulai menjelaskan dan merevitalisasi
pemaknaan atas teks dan konteks masa. Karenanya tafsir berkembang sedemikian
rupa. Berbagai metode penafsiran dan corak bermunculan. Namun apakah tiap
intepretasi yang dibangun para mufassir merupakan makna sesungguhnya dari
Al-Qur’an? Sejauh mana keabsahan penafsiran/tafsir dengan maksud sesungguhnya
yang terkandung didalam Al-Qur’an.
Adalah kewajiban para ulama untuk
memperkenalkan al-Qur’an dan meyuguhkan pesan-pesannya sesuai dengan kebutuhan
dan harapan itu. Memang para pakar al-Qur’an telah berhasil melahirkan sekian
banyak metode dan cara menghidangkan pesan-pesan al-Qur’an. Salah satu
diantaranya adalah dengan adanya metode maudhu’iatau metode
tematik sebagai tuntutan bahwa al-Qur’an merupakan sumber jawaban atas
segala permasalahan di waktu dan tempat dimana pun (Shohih likulli zaman wal
makan).
Indonesia sebagai salah satu bagian
terpenting dalam sejarah perkembangan Islam, tak luput dari sentuhan tafsir.
Sehingga lahirlah berbagai karya tafsir dalam kurun waktu yang berbeda dengan
corak, metode, dan subtansinya juga berbeda. Seiring dengan latarbelakang tokoh
atau penciptanya serta diwarnai dengan alasan dibuatnya karya tersebut yang
beragam pula maka perlu ditarik sebuah garis panjang yang menghubungkan antara
satu karya tafsir dari awal hingga karya tafsir kontemporer.
B.
Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Siapa penulis kitab tafsir (Ibnu Katsir, Al-Maragi, dan Al-Misbah)?
2.
bagaimana metodologi yang digunakan penulis dalam menafsirkan
Al-Qur’an?
C.
Tujuan
1.
Pembaca mengetahui biografi penulis kitab tafsir
2.
Pembaca mengetahui isi kandungan, metode, dan sistematika penulisan
kitab tafsir
D.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
TAFSIR IBNU KATSIR
Tafsir ibnu
katsir atau biasa disebut dengan nama tafsir al-Qurân al-Azhîm muncul pada abad
ke VIII H, yang merupakan salah satu kitab termasyhur, kitab yang paling banyak
diterima dan tersebar di tengah umat islam. Penafsiran beliau sangat kaya
dengan riwayat, baik hadis maupun atsar, sehingga sangat bermanfaat dalam
berbagai displin ilmu agama, seperti aqidah, fiqh, dan lain sebagainya.
Sampai imam as-Suyuti berkata “belum pernah ada kitab tafsir yang semisal
dengannya”.
A.
Biografi Ibnu Katsir
Penulis kitab
tafsir ini adalah Imad ad-Dîn Ismail ibn Umar ibn Katsir al-Qurasyî
al-Dimasyqî. Ia biasa dipanggil dengan sebutan Abu al-Fidâ’, Namun beliau dikenal dengan julukan Ibn Katsîr, yaitu
julukan yang disandarkan pada kakeknya (Katsîr).
Ia lahir di
desa mijdal yang berada di Bashra, tahun 700 H/1300 M. Ayahnya berasal dari
Bashra, bernama Syihâb al-Dîn Abu Hafsh Umar ibn Katsîr,
adalah salah seorang alim di kotanya, imam dan khatib di
kampungnya. Ayahnya wafat ketika Ibn Katsîr berumur
tiga tahun. Selanjutnya kakaknya bernama Abdul Wahâb yang mendidik dan
mengasuh Ibn Katsîr kecil, dan membawanya ke Damaskus. Pada saat itu,
beliau berguru pada ulama-ulama besar di Damaskus.
Pendidikan dan
Aktivitas Keilmuan Ibn Katsir
Ibn Katsîr
berhasil menghafal al-Quran di usia 11 tahun, dibawah bimbingan Syaikh Ghailan
al-Ba’labaki. Dalam bidang hadits, ia banyak belajar dari ulama-ulama
Hijaz, Ibn Katsîr mempelajari Sahîh Muslim berguru kepada
Syaikh Nazmu al-Dîn bin al-Asqalâni, dan Ia memperoleh ijazah dari
al-Wani. Ia juga dididik oleh pakar hadis terkenal di Suriah yakni Jamal ad-Dîn
al-Mizzi (w. 742 H/1342 M), al-Mizzi kagum dengan beliau sehingga
menikahkan Ibn Katsîr dengan anak perempuannya (Zainab).
Pada tahun
748 H/1341 M ia menggantikan gurunya Muhammad ibn Muhammad
al-Dzahabi di sebuah lembaga pendidikan Turba Umm Sâlîh.
Selanjutnya ia juga diangkat menjadi kepala lembaga pendidikan hadis di Dâr al-Hadîs al-Asyrafiyah
setelah Hakim Taqiuddin al-Subkî wafat yaitu kepala terdahulu yang
ia gantikan. Kemudian di tahun 768 H/1366 M ia diangkat menjadi guru besar oleh
Gubernur Mankali Buga di Masjid Umayah Damaskus.
Beberapa guru yang mempunyai pengaruh besar terhadap Ibn Katsir:
a.
Ibn Taymiyyah (728 H).
Banyak sekali sikap Ibn Katsîr yang terwarnai dengan Ibn Taymiyah,
baik itu dalam berfatwa, cara berpikir juga dalam metode
karya-karyanya. Dan hanya sedikit sekali fatwa beliau yang berbeda dengan
Ibn Taymiyyah.
b.
Syaikh Abû Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi
c.
Syaikh Abû Abbâs Ahmad al-Hijar
(Ibn al-Syahnah)
d.
Syaikh Abu Ishâq Ibrâhim al-Fazarî
e.
Syaikh al-Hâfidz Kamal al-Diîn Abdul Wahhâb
f.
Kamal al-Dîn Abû Ma’ali Muhammad bin Zamalkanî
g.
Imâm Muhyiyu al-Dîn Abû Zakariyâ Yahya al-Syaibanî
h.
Imâm Muhammad Qosim al-Barzalî
i.
Syaikh Syamsu al-Dîn Abû Nashr Muhammad al-Syirazi, dan
lain-lain.
Selain
memiliki banyak guru, Ibn Katsîr juga memiliki banyak murid,
diantaranya:
a.
Muhammad bin Muhammad bin Khodri al-Quraysî
b.
Mas’ûd al-Anthâki al-Nahwi
c.
Muhammad ibn Abî Muhammad al-Juzri (Syaikh Ilmu
Qirâat)
d.
Muhammad ibn Ismâil
e.
Imâm Ibn Abî ‘Uzz al-Hanafi, dan lain-lain
Karya-karya Ibn Katsîr
Sosok ulama
seperti Ibn Katsîr, memang jarang kita temui, ulama yang lintas kemampuan dalam
disiplin ilmu. Spesialisasinya tidak hanya satu jenis ilmu saja. Selain itu, ia
juga sangat produktif dalam karya, telah banyak karya-karya yang lahir dari
tangan dan ketajaman berpikirnya. Diantara karya-karya beliau adalah:
a. Ilmu tafsir
Ibnu Katsir menulis tafsir Qur'an yang terkenal
yang bernama Tafsir Ibnu Katsir. Hingga kini, tafsir Alquran al-Karim sebanyak 10 jilid ini masih menjadi
bahan rujukan dalam dunia Islam. Di samping itu, ia juga menulis buku Fada'il Alquran (Keutamaan
Alquran), berisi ringkasan sejarah Alquran.
b. Ilmu hadits
1. Jami al-Masanid wa
as-Sunan (Kitab Penghimpun Musnad dan Sunan) sebanyak delapan jilid, berisi
nama-nama sahabat yang banyak meriwayatkan hadis;
2. Al-Kutub as-Sittah (Kitab-kitab
Hadis yang Enam) yakni suatu karya hadis;
3. At-Takmilah fi Mar'ifat
as-Sigat wa ad-Dhua'fa wa al-Mujahal (Pelengkap dalam Mengetahui Perawi-perawi yang
Dipercaya, Lemah dan Kurang Dikenal);
4. Al-Mukhtasar (Ringkasan)
merupakan ringkasan dari Muqaddimmah-nya Ibn Salah; dan
5. Adillah at-Tanbih li
Ulum al-Hadits (Buku tentang ilmu hadis) atau lebih dikenal dengan nama Al-Ba'its
al-Hadits.
c. Ilmu sejarah
1. Al-Bidayah wa an
Nihayah (Permulaan dan Akhir) atau nama lainnya Tarikh ibnu
Katsir sebanyak 14 jilid,
2. Al-Fusul fi Sirah
ar-Rasul (Uraian Mengenai Sejarah Rasul), dan
3. Tabaqat asy-Syafi'iyah (Peringkat-peringkat
Ulama Mazhab Syafii).
d. Ilmu fiqih
Dalam ilmu fiqih, Ibnu Katsir juga tidak diragukan keahliannya. Oleh para
penguasa, ia kerap dimintakan pendapat menyangkut persoalan-persoalan tata
pemerintahan dan kemasyarakat yang terjadi kala itu. Misalnya saja saat
pengesahan keputusan tentang pemberantasan korupsi tahun 1358 serta upaya
rekonsiliasi setelah perang saudara atau peristiwa Pemberontakan Baydamur (1361) dan dalam menyerukan jihad (1368-1369). Selain itu, ia menulis
buku terkait bidang fiqih didasarkan pada Alquran dan hadis.
Aliran Ibn Katsîr
Ibn Katsîr adalah seorang ulama yang beraliran Ahlu
al-Sunnah wa al-Jamâ’ah dan mengikuti manhaj Salafu al-Salih dalam
beragama, baik itu dalam masalah aqidah, ibadah maupun akhlak. Kesimpulan
seperti itu dapat dibuktikan melalui hasil karyanya yang banyak, termasuk di
dalamnya kitab Tafsîr Ibn Katsîr.
Kondisi Sosial Pada Masa Ibn Katsîr
Kondisi pada saat itu, dunia Islam tengah diliputi tragedi yang
sangat memilukan, yaitu dengan dihadapkannya mereka pada sifat biadab dari
Bangsa Tartar, di mana banyak ulama dan kaum Muslimin yang dibantai, buku-buku
penting dimusnahkan, dan pusat-pusat peradaban lslam dihancurkan, semua itu
tidak pernah mematikan semangatnya untuk menuntut ilmu. Di antara
ketakutan demi ketakutan yang terus meneror, dia mengayuhkan langkahnya untuk
menuntut ilmu kepada para ulama yang masih tersisa.
Ibn Katsîr adalah seorang pemikir dan ulama Muslim. Tercatat,
guru pertamanya adalah Syaikh Burhan al-Dîn Ibrâhim Ibn Abdi al-Rahman
al-Fazzari (w. 729), seorang ulama penganut mazhab Syâfi’î. Ia berguru kepada
Ibnu Taymiyyah di Damaskus, Suriah dan kepada Ibn al-Qayyim.
Pada akhir usianya beliau diuji dengan kehilangan pandangan (buta).
Ibn al-Juzri salah seorang murid dari Ibn
Katsîr berkata, Ibn Katsîr berkata kepadanya: Aku masih tetap menulis
kitab (Jami’ al-Masânid) pada waktu malam dengan cahaya yang
semakin meredup sehingga mengakibatkan pandanganku semakin melemah.
Akhirnya, pada bulan Sya’ban 774 H/Februari 1373 M, mufasir
ini wafat di Damaskus. Jenazahnya dimakamkan di samping makam Ibnu Taymiyah, di
Sufiyah Damaskus.
B.
Metodologi Penafsiran.
Kitab ini dapat dikategorikan sebagai salah satu kitab
tafsir dengan corak dan orientasi (al-laun wa al-ittijah) tafsir bi
al-ma’sur atau tafsir bi al-riwayah karena beliau sangat dominan dalam
tafsirannya memakai riwayah atau hadits, dan pendapat sahabat dan tabi’in.
Metode Penafsiran
Metode penafsiran adalah metode tertentu
yang digunakan oleh mufasir dalam penafsirannya. Pada umumnya metode ini
terbagi menjadi empat, yaitu metode tahlîlîy (analitis), ijmâlîy (global), muqârin(perbandingan), dan mawdhû’iy (tematik).
Dan setiap metode yang digunakan pasti memiliki suatu ciri dan spesifikasi
masing-masing.
Adapun manhaj yang ditempuh oleh Ibnu Kasir dalam
menafsirkan al-Qur’an dapat dikategorikan sebagai manhaj tahlili (metode
analitis). Karena dalam menafsirkan setiap ayat, Ibn Katsîr
menjelaskannya secara rinci dengan mencantumkan beberapa periwayatan yang lalu
digunakan sebagai pendukung dari argumentasinya. Namun
Ibnu Kasir pun terkadang menggunakan rasio atau penalaran ketika menafsirkan
ayat.
Dalam menerapkan metode ini biasanya mufasir
menguraikan makna yang dikandung oleh al-Quran, ayat demi ayat dan surat
demi surat sesuai dengan urutannya dalam mushaf. Uraian tersebut
menyangkut beberapa aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti
pengertian kosakata, konotasi kalimatnya, latar belakang turun ayat, kaitannya
dengan ayat-ayat yang lain, baik sebelum maupun sesudahnya (munasâbat), dan tak
ketinggalan pendapat-pendapat yang telah dikeluarkan berkenaan dengan tafsiran
ayat tersebut baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, maupun para tabi’in,
dan tokoh tafsir lainnya.
Adapun corak penafsiran dalam Tafsîr Ibn
Katsîr adalah menitikberatkan kepada masalah fiqh. Beliau mengetengahkan
perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh dan menyelami madzhab-madzhab serta
dalil-dalil yang dijadikan pegangan oleh mereka, manakala membahas tentang ayat
yang berkaitan dengan masalah hukum. Tetapi meski demikian, beliau mengambil
cara yang pertengahan, singkat, dan tidak berlarut-larut sebagaimana yang
dilakukan oleh kebanyakan ulama fiqh ahli tafsir dalam tulisan-tulisan mereka.
Langkah-langkah/sumber penafsiran:
Ibn Katsîr menafsirkan al-Quran dengan al-Quran,
al-Quran dengan sunnah, dengan perkataan sahabat, perkataan tabi’in dan bahasa
Arab, kemudian menyimpulkan hukum-hukum dan dalil-dalil dari ayat al-Quran.
1. Menafsirkan
al-Quran dengan al-Quran
Contoh:
وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ
إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya: “Dan
jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan Maka berlindunglah kepada
Allah.” (QS. al-A’raf: 200
وَقُلْ رَبِّ أَعُوذُ
بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ
Artinya: “Dan Katakanlah: Ya Tuhanku aku
berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan syetan.” (QS.
al-Mukminûn: 97)
وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ
مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ
الْعَلِيمُ
“Dan jika syetan mengganggumu dengan suatu gangguan,
Maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha
mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Fushilat: 36)
Inilah tiga ayat yang tidak ada pertentangan
di dalam maknanya, yang saling menjelaskan, ayat yang satu dengan yang
lainnya, dan di dalam ayat Allah Swt memerintahkan
untuk berlindung dari kejahatan syaitan.
2. Menafsirkan
al-Quran dengan sunnah
Metode atau langkah ini dipakai ketika penjelasan dari
ayat lain tidak ditemukan atau di ayat lain ada tapi hadits dimaksudkan untuk
melengkapi penjelasan. Misalnya:
Ayat tentang ghibah dalam Q.S. al-Hujurat (49): 12, وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ia
menegaskannya dengan sabda rasul ذكرك اخاك بما يكره yaitu kamu membicarakan saudaramu, dengan
perkataan yang tidak disenanginya.
3. Menafsirkan
al-Quran dengan perkataan sahabat dan tabi’in
Hal ini karena para sahabat terutama tokoh-tokohnya
adalah orang yang lebih mengetahui penafsiran al-quran, karena mereka mengalami
dan menyaksikan langsung proses turunnya ayat-ayat al-Qur`an.
Tafsir Ibnu Katsîr memasukkan perkataan sahabat di
dalam kitab tafsirnya seperti; perkataan al-Khulafâ’ al-Rasyidîn,
Ibn ‘Abbâs, Ibn Mas’ûd, Abû Ibn Ka’ab, Abdullah ibn Umar, Abdullah ibn
‘Amr, Abû Hurairah, Abû Darda’, Mu’az ibn Jabâl, Qatâdah dan
lain-lain.
4. Menafsirkan
al-Quran dengan perkataan ulama
Untuk perkataan ulama tafsir dari tabi’in, seperti;
Mujâhid, Atha’ Ibn Abî Rabah, ‘Akramah, Thawas al-Yamanî, Abû Aliyah, Zaid ibn
Aslam, Sa’id ibn Musayyab, Muhammad ibn Ka’ab al-Qarzhî, Sa’id ibn
Jubair, Hasan al-Bashrî, Masruq ibn al-Ajda’, Abu Wa’il, Muqâtil ibn Hayyân,
Muqâtil ibn Sulaiman al-Balakhî, Rabi’ ibn Anas, dll.
5. Menafsirkan
al-Quran dengan pendapatnya sendiri
Adapun untuk membedakan antara pendapatnya sendiri
dengan pendapat ulama-ulama lainnya, dapat diketahui dari pernyataannya:
“menurut pendapatku....” (qultu...)
C. Sistematika
Kitab Tafsir Ibnu Katsir
Tafsir
ini disusun oleh Ibnu Katsir berdasarkan sistematika tertib susunan ayat-ayat
dan surat-surat dalam mushaf Al-Qur’an, yang lazim disebut sebagai sistematika tartib
mushafi. Meski demikian, metode penafsiran kitab ini pun dapat
dikatakan semi tematik (maudu’i), karena ketika menafsirkan ayat ia
mengelompokkan ayat-ayat yang masih dalam satu konteks pembicaraan ke dalam
satu tempat baik satu atau beberapa ayat, kemudian ia menampilkan ayat-ayat
lainnya yang terkait untuk menjelaskan ayat yang sedang ditafsirkan itu.
Tafsîr Ibn
Katsîr adalah salah satu kitab tafsir yang terkenal dengan menggunakan
pendekatan periwayatan atau yang biasa disebut tafsîr bi al-ma’tsûr.
Dalam kitab tafsirnya, Ibn Katsîr lebih banyak mencantumkan periwayatan baik
dari hadis-hadis Nabi, perkataan para sahabat dan tabi’in sebagai sumber
dari argumentasinya, tak jarang Ibnu Katsir juga memberikan
penjelasan tentang jarh wa ta’dil pada
periwayatan, mensahihkan dan mendhaifkan hadits.
Adapun
sistematika penulisan kitab tafsir ini adalah:
pada permulaan tafsir ini diawali dengan muqadimah
yang panjang, di dalam muqadimah ini berisikan tentang banyak hal yang
berhubungan dengan al-Quran dan tafsirnya. Akan tetapi kebanyakan dari isi
muqadimahnya merupakan saduran dari perkataan Ibnu Taimiyah yang diambil dari
Muqadimah kitab beliau, yakni kitab usûl al-tafsîr.
Ayat al-Quran ditulis lengkap, baru kemudian diberikan
penafsiran. Dan seringkali di dalam penafsirannya disertakan ayat lain untuk
menafsirkan ayat tadi.
Ibnu Katsir menggunakan hadis dan riwayat, menggunakan
ilmu jarh wa ta’dil, melakukan komparasi berbagai
pendapat, dan mentarjih sebagiannya, serta mempertegas kualitas riwayat-riwayat
hadis yang sahih dan yang dhaif.
Ibn Katsîr menyebutkan hadis-hadis marfu’ yang
berkaitan denga ayat itu, serta menyertakan pendapat-pendapat para sahabat dan
para tabi’in. Beliau tidak hanya menyertakan pendapat dari para sahabat dan
tabi’in saja, akan tetapi beliau juga mentarjih diantara pendapat mereka.
Melemahkan pendapat yang lemah dan mensahihkan pendapat yang sahih serta
melakukan jarh wa ta’dilterhadap para rawi hadis tersebut.
Kebanyakan penafsiran dari Ibn Katsîr mengutip dari
tafsirnyaIbn Jarîr al-Thabariy, tafsir Ibn Abî Hâtim,
tafsirnya Ibn A’thiyyah. Akan tetapi tafsir Ibn Katsir ini berbeda dengan
kitab tafsir lainnya. Hal ini dikarenakan di dalam tafsirnya beliau menjelaskan
tentang kemunkaran israiliyat. Kadang kala beliau menjelaskan secara umum dan
kadangkala menjelaskannya secara khusus.
Selain itu, beliau juga selalu memaparkan
masalah-masalah hukum yang ada dalam berbagai madzhab, kemudian mediskusikannya
secara komprehensif.
D. Kelebihan
Dan Kekurangan Tafsir Ibnu Katsir
Kelebihan:
1. Teliti
dalam sanadnya, sederhana ungkapannya, dan kejelasan ide pemikirannya.
2. Penafsiran
ayat dengan ayat atau ayat dengan hadis tersusun secara semi tematik.
3. Dalam
tafsir ini banyak memuat informasi dan kritik tentang riwayat Israilliyyat, dan
mengindari kupasan-kupasan linguistik yang cendrung bertele-tele, karena itulah
al-Suyûthî (w. 911) memujinya sebagai kitab tafsir yang tiada tandingannya.
Imâm al-Suyûthî dan
al-Zarqâni menyanjung tafsir ini dengan berkomentar; “Sesungguhnya belum ada
ulama’ yang mengarang dalam metode seperti ini”.
Dalam hal ini Rasyid Ridha berkomentar; “Tafsir ini
merupakan tafsir paling masyhur yang memberian perhatian besar pada
riwayat-riwayat dari para mufasir salaf, menjelaskan mana-mana ayat dan
hukumnya, menjauhi pembahasan masalah i’rab dan
cabang-cabang balâghah yang pada umumnya dibicarakan secara panjang lebar oleh
kebanyakan mufasirin, menghindar dari pembicaraan yang melebar pada ilmu-ilmu
lain yang tidak diperlukan dalam memahami al-Quran secara umum atau hukum dan
nasihat-nasihatnya secara khusus.”
Kekurangan:
1. masih ada juga memuat hadis yang sanadnya
dhaif dan kontradiktif.
2. secara
teknis ia terkadang hanya menyebutkan maksud hadisnya tanpa menampilkan
matan/redaksi hadisnya, dengan menyebut fî al-Hadîs (dalam
suatu hadis) atau fî al-Hadîs al-akhar (dalam hadis yang
lain). Seperti, ketika ia menafsirkan surah al-Isrâ’ (17): 36.
E. Sikap
Penafsiran Ibnu Katsir
a.
Sikapnya terhadap Israiliyat
Ibn Katsir
menggunakan daya kritisnya yang tinggi terhadap cerita-cerita Israiliyat.
Demikian
juga terhadap riwayat-riwayat Israiliyat yang dinilainya tidak dapat dicerna
oleh akal sehat, ia terkadang meriwayatkannya disertai peringatan atau membantahnya
dengan keras.
Adakalanya riwayat-riwayat
Israiliyat yang ia pakai hanyalah sekedar “aksesoris” untuk menambah
penjelasan, seperti tentang nama-namaashâb al-kahf, jumlah dan warna anjing mereka, dan tentang jenis kayu yang
menjadi bahan baku tongkat Nabi Musa As. Tetapi, riwayat Isrâiliyat yang
nyata-nyata tidak sejalan atau bertentangan dengan ajaran Islam
tidaklah dipakai oleh Ibn Katsîr.
b. Tentang
ayat-ayat hukum
Ketika menafsirkan
ayat-ayat yang bernuansa hukum, Ibn Katsîr memberikan penjelasan yang relatif
lebih luas, apalagi ketika menafsirkan ayat-ayat yang dipahami secara
berbeda-beda di kalangan para ulama. Dalam hal ini, ia kerap kali menyajikan
diskusi dengan mengemukakan argumentasi masing-masing, termasuk pendapatnya
sendiri. Dari penafsiran-penafsirannya dalam
masalah-masalah fiqh ini, terlihat bahwa ia adalah seorang yang
moderat dan toleran.
c. Tentang naskh (penghapusan).
Dalam masalah ini, Ibn Kasîr termasuk yang berpendapat bahwa naskh dalam al-Quran itu
ada. Adanya penghapusan ini merupakan kehendak Allah sesuai kebutuhan demi
kemaslahatan, sebagaimana al-Quran banyak me-naskh ajaran-ajaran
sebelumnya. Contohnya ialah penghapusan hukum pernikahan antara saudara kandung
sebagaimana yang dilakukan oleh putra-putri Nabi Adam As., penghapusan penyembelihan
Ibrâhim As. atas putranya yakni Ismâil As., dan sebagainya.
d. Tentang muhkam dan mutasyâbih
Secara
ringkas dapat dikatakan bahwa dalam hal ini beliau mengikuti pendapat
Muhammad Ibn Ishâq ibn Yasar, yang berpendapat bahwa
ayat-ayat al-Quran yang muhkam merupakan argumentasi
Tuhan, kesucian hamba, dan untuk mengatasi perselisihan yang batil. Pada
ayat-ayat tersebut, tidak ada perubahan dan pemalsuan. Sedangkan pada ayat-ayat
yang mutasyâbih tidak ada perubahan dan pentakwilan. Allah hendak
menguji hamba-hambanya melalui ayat ini sebagaimana dalam hal halal dan haram;
apakah dengannya akan berpaling kepada yang batil, dan berpaling dari
kebenaran.
e. Tentang
ayat-ayat tasybîh (antropomorfis)
Dalam
mengartikan ayat-ayat semacam ini ia nampaknya mengikuti pendapat
ulama salaf al-Sâlih yang berpendapat tidak adanya
penyerupaan (tasybîh) perbuatan Allah dengan hamba-hamba-Nya. Dalam menafsirkan
ayat-ayat semacam ini, ia menjelaskan dengan mengutip pendapat sejumlah ulama.
Ia juga mengutip hadis-hadis.
2. TAFSIR
AL-MARAGHI
Tafsir
al-Maraghi pertama kali diterbitkan pada tahun 1951 di Kairo.Pada terbitan yang
pertama ini, Tafsir al-Maraghi terdiri atas 30 juz atau dengan kata lain sesuai
dengan pembagian juz Al-Qur’an. Kemudian, pada penerbitan yang kedua terdiri
dari 10 jilid, di mana setiap jilid berisi 3 juz, dan juga pernah diterbitkan
ke dalam 15 Jilid, di mana setiap jilid berisi 2 juz.Kebanyakan yang beredar di
Indonesia adalahTafsir al-Maraghi yang diterbitkan dalam 10 jilid.
A. Biografi Ahmad Musthafa al-Maraghi
1. Kelahiran dan Keluarga
Ahmad
Musthafa al-Maraghi dilahirkan di Negara Mesir tepatnya di daerah Maragha.
Suatu daerah di tepian sungai Nil berjarak sekitar 70 km di sisi selatan kota
Kairo pada tahun 1300 H/1883 M. Nama kota kelahiran beliau menjadi nisbah (nama
belakang) bagi beliau, bukan dari nama keluarga. Al-Maraghi berasal dari
keluarga yang mapan di bidang ilmu pengetahuan, dan juga mengabdikan diri pada
ilmu peradilan sehingga keluarga al-Maraghi dikenal sebagai keluarga hakim.
Dikarenakan
berasal dari kalangan ulama yang taat serta menguasai berbagai bidang ilmu
agama, Dari 8 orang anak Syekh Mustafa al-Maraghi (ayah dari Ahmad Musthafa
al-Maraghi), 5 orang diantaranya menjadi ulama besar yang cukup terkenal. Yaitu
:
1.
Syeikh Muhammad Mustafa Al-Maraghi yang pernah menjadi
Syekh al-Azhar dua periode, tahun 1928-1930 dan 1935-1945.
2.
Syeikh Ahmad Mustafa Al-Maraghi, pengarang Tafsir
Al-Maraghi.
3.
Syeikh Abdul Aziz Mustafa Al-Maraghi, Dekan Fakultas
Usuluddin Universitas AlAzhar dan Imam Raja Faruq.
4.
Syeikh Abdullah Mustafa Al-Maraghi, Inspektur Umum
pada Universitas Al-Azhar.
5.
Syeikh Abul Wafa Mustafa Al-Maraghi, Sekretaris Badan
Penelitian dan Pengembangan Universitas Al-Azhar.
Di samping itu, ada 4 orang putra Ahmad
Mustafa Al-Maraghi menjadi hakim, yaitu:
1.
M. Aziz Ahmad Al-Maraghi, Hakim di Kairo.
2.
A. Hamid Al-Maraghi, Hakim dan Penasehat Menteri
Kehakiman di Kairo
3.
Asim Ahmad Al-Maraghi, Hakim di Kuwait dan di
Pengadilan Tinggi Kairo.
4.
Ahmad Midhat Al-Maraghi, Hakim di Pengadilan Tinggi
Kairo dan Wakil Menteri Kehakiman di Kairo.
2. Rihlah Keilmuan
Setelah
menginjak usia sekolah, orang tua al-Maraghi memasukkan beliau ke madrasah
al-Qur’an. Karena kecerdasannya, beliau mampu menghafal al-Qur’an sebelum usia
13 tahun. Selain itu beliau juga mempelajari ilmu Tajwid dan dasar-dasar ilmu
Syari’ah di madrasah hingga lulus pendidikan tingkat menengah. Orang tua
al-Maraghi meminta beliau untuk meninggalkan kota Maragh untuk menuntut ilmu di
Kairo tepatnya di Universitas al-Azhar pada tahun 1314 H/ 1897 M. Di al-Azhar
beliau mempelajari ilmu bahasa Arab, Balaghah, Tafsir, ilmu al-Qur’an, Hadits,
ilmu Hadits, Fikih, ushul Fikih, Akhlak, ilmu Falak dan sebagainya.
Beliau juga
mengikuti kuliah di Darul Ulum Kairo (yang mana dulunya merupakan perguruan
tinggi sendiri, sekarang menjadi bagian dari Universitas Kairo). Beliau
berhasil menyelesaikan studinya di kedua perguruan tinggi tersebut pada tahun
1909. Setelah lulus beliau memulai karirnya menjadi guru di beberapa sekolah
menengah. Kemudian beliau diangkat menjadi direktur Madrasah Mu’alimin di
Fayum. Pada tahun 1916 beliau diangkat menjadi dosen utusan Universitas
al-Azhar untuk mengajar ilmu-ilmu SYari’ah Islam di fakultas Ghirdun Sudan.
Sekembalinya dari Sudan tahun 1920 beliau diangkat menjadi dosen Bahasa Arab di
Universitas Darul Ulum dan dosen Balaghah dan Kebudayaan di Fakultas Bahasa
Arab Universitas al-Azhar. Al-Maraghi juga menjadi guru di beberapa madrasah,
diantaranya Ma’had Tarbiyah Mu’alimah dan diberikan kepercayaan untuk memimpin
Madrasah Utsman Basya di Kairo.
3. Guru al-Maraghi
Guru yang
pernah mengajar al-Maraghi saat beliau menuntut ilmu di Universitas al-Azhar
dan Darul Ulum diantaranya adalah:
-
Syekh Muhammad Abduh
-
Syekh Muhammad al-„Adawi
-
Syekh Muhammad Bhis al-Mut’i
-
Syekh Muhammad Rifa’i al-Fayumi
4. Wafatnya al-Maraghi
Dalam
menjalankan tugas-tugasnya di Mesir, al-Maraghi tinggal di daerah Hilwan,
sebuah kota yang terletak sekitar 25 Km sebelah selatan kota Kairo. Ia menetap di sana sampai akhir hayatnya.
Ia wafat pada usia 69 tahun (1371 H./1952 M.). Namanya kemudian diabadikan
sebagai nama salah satu jalan yang ada di kota tersebut.
5. Karya-karya al-Maraghi
Selama
hidup, al-Maraghi telah mengabdikan diri pada ilmu pengetahuan dan agama.
Selain mengajar di beberapa lembaga pendidikan, al-Maraghi juga mewariskan
kepada umat ini karya ilmiyah. Salah satu di antaranya adalah Tafsir
al-Maraghi, sebuah kitab tafsir yang muncul pada abad ke 14 dan beredar juga
dikenal di seluruh dunia Islam sampai saat ini. Karya-karyanya yang lainnya
adalah:
-
Al-Hisbat fi al-Islâm
-
Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh
-
Ulûm al-Balâghah
-
Muqaddimat at-Tafsîr
-
Ulum al-Balagah
-
Hidayah at-Talib
-
Tahzib at-Taudih
-
Tarikh ’Ulum al-Balagah wa Ta’rif bi Rijaliha
6. Aliran al-Maraghi
Di dalam
bukunya, al-Mufassirun hayatuhum wa manhajuhum, syeikh Ali Iyazi menyebutkan
bahwa Ahmad Musthafa Al-Maraghi memiliki madzhab Asy Syafii Al-Asy’ary.
7. Motivasi penulisan dan Kondisi masyarakat
Yang melatar
belakangi penulisan tafsir ini adalah suatu kenyataan yang sempat disaksikan
oleh al-Maraghi, bahwa kebanyakan orang enggan membaca kitab-kitab tafsir
dengan alasan kitab-kitab tafsir yang ada sangat sulit dipahami, bahkan
diwarnai dengan berbagai istilah yang hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang
ahli dalam bidang ilmu tersebut. Karenanya itu, al-Maraghi termotivasi untuk
menulis tafsir dengan sengaja merubah gaya bahasa dan menyajikannya dalam
bentuk sederhana dan yang mudah dipahami.
Masyarakat pada
masa itu ingin memperluas pengetahuannya di bidang tafsir, namun merasa
kesulitan dengan kitab yang mereka baca karena kebanyakan kitab tafsir telah
dibumbui istilah istilah ilmiah akibat perkembangan dalam penemuan ilmiah. Ada pula kitab yang dibarengi dengan analisa
ilmiah, selaras dengan perkembangan ilmu ketika penulisan tafsir tersebut.
Masyarakat pun
mulai mencoba mengemukakan metode baru dalam hal tulis menulis secara simple
dan penggunaan bahasa efektif yang mudah dipahami, karena masyarakat
membutuhkan kitab-kitab tafsir yang mampu memenuhi kebutuhan mereka, disajikan
secara sistematis, diungkapkan dengan gaya bahasa yang mudah dimengerti, dan
masalah-masalah yang dibahas benar-benar didukung dengan hujjah, bukti-bukti
nyata serta berbagai percobaan yang diperlukan. Bisa pula dinukilkan pendapat-pendapat para ahli dalam
berbagai cabang ilmu yang berkait erat dengan Al-Qur’an, selaras dengan syarat
penyajian yang harus sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan modern.
B.
Metodologi Penafsiran
Bagi sebagian
pengamat tafsir, al-Maraghi adalah mufassir yang pertama kali memperkenalkan
metode tafsir yang memisahkan antara uraian global dan uraian rincian, sehingga
penjelasan ayat-ayat di dalamnya dibagi menjadi dua kategori, yaitu makna Ijmali
dan makna Tahlili. Kemudian, dari segi sumber yang digunakan selain menggunakan ayat dan
atsar, al-Maraghi juga menggunakan ra’yi (nalar) sebagai sumber dalam
menafsirkan ayat-ayat.
Namun perlu
diketahui, penafsirannya yang bersumber dari riwayat (relatif) terpelihara
dari riwayat yang lemah (dhaif) dan susah diterima akal atau tidak didukung
oleh bukti-bukti secara ilmiah. Hal ini diungkapkan oleh al-Maraghi sendiri pada
muqaddimahnya tafsirnya ini. Al-Maraghi sangat menyadari kebutuhan kontemporer.
Dalam konteks kekinian, merupakan keniscayaan bagi mufassir
untuk melibatkan dua sumber penafsiran (aql dan naql). Karena memang
hampir tidak mungkin menyusun tafsir kontemporer dengan hanya mengandalkan
riwayat semata, selain karena jumlah riwayat (naql) yang cukup terbatas juga
karena kasus-kasus yang muncul membutuhkan penjelasan yang semakin
komprehensif, seiring dengan perkembangan problematika sosial, ilmu
pengetahuan, dan teknologi yang berkembang pesat.
Tafsir
al-Maraghi sangat dipengaruhi oleh tafsir-tafsir yang ada sebelumnya, terutama
Tafsir al-Manar. Hal ini wajar karena dua penulis tafsir tersebut, Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridha, adalah guru yang paling banyak memberikan bimbingan
kepada Al-Maraghi di bidang tafsir. Bahkan, sebagian orang berpendapat bahwa
Tafsir alMaraghi adalah penyempurnaan terhadap Tafsir al-Manar yang sudah ada
sebelumnya. Metode yang digunakan juga dipandang sebagai pengembangan dari
metode yang digunakan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
C. Corak Penafsiran
Corak
penafsiran yang digunakan dalam tafsir al-Maraghi adalah Adabi Ijtima’i, yang
mana sama dengan corak kitab tafsir gurunya yaitu Muhammad Abduh dan Rasyid
Ridha dengan karyanya al-Manar , Tafsir Al-Qur’an Al-Karim karya Mahmud
Syaltut, dan tafsir Al-Wadih karya Muhammad mahmud Hijazi.
D. Sumber Rujukan dan Referensi
Kitab-kitab
yang dijadikan sumber rujukan dan referensi al-Maraghi dalam penyusunan
tafsirnya adalah sebagai berikut:
-
Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir, Jami‟ al-Bayan
fi Tafsir al-Qur’an
-
Abu al-Qasim Jar Allah al-Zamakhsari, Tafsir al-Kasysyaf
„an Haqaiq al-Tanzil
-
Syaraf al-Din al-Hasan Ibn Muhammad al-Tiby,
Hasyiah Tafsir al-Kasysyaf
-
Al-Qadi Nasir al-Din Abdullah Ibn Umar
al-Baidawi, Anwar al-Tanzil
-
Al-Raghib al-Asfahani, Tafsir Abi al-Qasim
al-Husain Ibn Muhammad
-
Imam Abu Hasan al-Wahidi al-Naisabury, tafsir
al-Basit
-
Imam Fakhruddin al-Raazi, Mafatih al-Ghaib
-
Tafsir al-Husain Ibn Mas‟ud al-Baghawi
Dan masih
banyak lagi kitab-kitab yang dijadikan rujukan atau referensi oleh al-Maraghi
dalam penyusunan tafsirnya.
E. Sistematika Penulisan
1. Menyebutkan
satu, dua, atau sekelompok ayat yang akan ditafsirkan; Pengelompokan ini
kelihatannya dilakukan dengan melihat kesatuan inti atau pokok bahasan. Ayat-ayat ini diurut menurut tertib ayat
mulai dari surah al-Fātihah sampai surah an-Nās.
2. Penjelasan kosa
kata (syarh al-mufradāt); Setelah menyebutkan satu, dua, atau sekelompok ayat,
al-Maraghi melanjutkannya dengan menjelaskan beberapa kosa kata yang sukar
menurut ukurannya. Dengan demikian, tidak semua kosa kata dalam sebuah ayat dijelaskan
melainkan dipilih beberapa kata yang bersifat konotatif atau sulit bagi
pembaca.
3.
Pengertian umum ayat (Ma’na al-Ijmāli); Dalam hal ini, al-Maraghi
berusaha menggambarkan maksud ayat secara global, yang dimaksudkan agar pembaca
sebelum melangkah kepada penafsiran yang lebih rinci dan luas ia sudah memiliki
pandangan umum yang dapat digunakan sebagai asumsi dasar dalam memahami maksud
ayat tersebut lebih lanjut. Kelihatannya pengertian secara ringkas yang
diberikan oleh al-Maraghi ini merupakan keistimewaan dan sesuatu yang baru, di
mana sebelumnya tidak ada mufassir yang melakukan hal serupa.
4. Penjelasan
(al-Īdhāh); Pada langkah terakhir ini, al-Maraghi memberikan penjelasan yang
luas, termasuk menyebutkan asbāb an-Nuzūl jika ada dan dianggap shahih menurut
standar atau kriteria keshahihan riwayat para ulama. Dalam memberikan
penjelasan, kelihatannya Al-Maraghi berusaha menghindari uraian yang
bertele-tele (al-ithnāb), serta menghindari istilah dan teori ilmu pengetahuan
yang sukar dipahami. Penjelasan tersebut dikemas dengan bahasa yang sederhana, singkat,
padat, serta mudah dipahami dan dicerna oleh akal.
F. Gaya Bahasa
Dalam menyusun
kitab tafsirnya, Al-Maraghi tetap merujuk kepada pendapatpendapat mufassir
terdahulu sebagai penghargaan atas upaya yang pernah mereka lakukan. Al-Maraghi mencoba menunjukkan kaitan
ayat-ayat al-Qur’an dengan pemikiran dan ilmu pengetahuan lain.
G. Jumlah Juz Tafsir Al-Maraghi
Kitab tafsir
ini disusun menjadi 30 jilid. Setiap jilid terdiri satu juz Al-Qur’an. Hal ini
dimaksudkan agar mempermudah para pembaca, di samping mudah dibawa kemana-mana,
baik ketika menempati suatu tempat atau bepergian. Kitab ini lahir untuk
pertama kalinya bertepatan pada pertengahan Zulhijjah 1365 H di tempat kediaman
Al-Maraghi, yaitu Hilwan, Kairo, Mesir.
H. Kelebihan dan
Kekurangan
Tafsir al-Maraghi memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan. Diantara
kelebihannya adalah : 1) Tidak hanya terfokus pada aspek balaghah, namun juga
mengaitkan makna yang terkandung dengan keadaan sosial yang ada. 2) Bahasa yang
dipakai lugas dan tidak berbelit sesuai dengan keadaan sosial yang ada. 3)
Menganalogikan tafsiran dengan teknologi sehingga makna mudah ditangkap.
Adapun kekurangan dari tafsir al-Maraghi adalah: 1)
Terkadang tidak sesuai dengan daerah kondisi mufassir tinggal (bersifat lokal).
3.
TAFSIR AL-MISBAH
Tafsir al-misbah adalah kitab
tafsir lengkap 30 juz yang ditulis oleh seorang ulama kontemporer yaitu
muhammad Quraish shihab, kitab ini merupakan salah satu kitab yang terkenal di
indonesia. Tafsir yang terdiri dari 15 volume ini mulai ditulis pada hari
Jum’at tanggal 4 Rabi’ul Awal 1420 H/18 Juni 1999 M di Kairo dan selesai pada
hari Jum’at tanggal 8 Rajab 1423/5 September 2003 M di Jakarta. Penulis memberi
warna yang menarik dan khas serta sangat relevan untuk memperkaya khazanah
pemahaman dan penghayatan umat Islam terhadap rahasia makna ayat Allah swt. Tafsir
yang berbahasa Indonesia ini merupakan Tafsir yang banyak dikaji para
intelektual Islam nusantara.
A.
Biografi Singkat Penulis (M. Quraish Shihab)
Muhammad Quraish shihab adalah seorang ulama kontemporer
spesialisasi tafsir yang lahir di
Rappang, Sulawesi Selatan pada 16 Februari 1944. Ayanhnya bernama Prof. KH. Abdurrahman Shihab adalah seorang
ulama dan guru besar dalam bidang tafsir. Beliau dipandang sebagai salah
seorang tokoh pendidik yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat
Sulawesi Selatan. Sebagai putra dari seorang guru besar, Quraish Shihab
mendapatkan motivasi awal dan benih kecintaan terhadap bidang studi tafsir dari
ayahnya yang sering mengajak anak-anaknya duduk bersama. Pada saat-saat seperti
inilah sang ayah menyampaikan nasihatnya yang kebanyakan berupa ayat-ayat
al-Qur'an. Quraish kecil telah menjalani pergumulan dan kecintaan terhadap
al-Qur’an sejak umur 6-7 tahun. Ia harus mengikuti pengajian al-Qur’an yang
diadakan oleh ayahnya sendiri. Selain menyuruh membaca al-Qur’an, ayahnya juga
menguraikan secara sepintas kisah-kisah dalam al-Qur’an. Di sinilah,
benih-benih kecintaannya kepada al-Qur’an mulai tumbuh.
1.
Pendidikan dan aktivitas keilmuan M. Quraish shihab
Beliau menyelesaikan pendidikan dasarnya di SD ujung pandang, kemudian
melanjutkan pendidikan menegangnya di malang sambil menimba ilmu di Pondok
Pesantren Darul Hadis al-Falaqiyah. Pada tahun 1958 beliau berangkat ke Kairo
Mesir dan diterima di kelas II Tsanawiyah Al Azhar. Pada tahun 1967, beliau
meraih gelar Lc (S1) pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadits
Universitas Al Azhar. Kemudian beliau melanjutkan pendidikan di Fakultas yang
sama serta meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang tafsir al Quran pada tahun
1969 dengan mengangkat judul tesis al I’jaz al Tas.
Pada tahun 1980, M. Quraish Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan
pendidikannya di Universitas al Azhar. Tahun 1982, dengan desertasi yang
berjudulNazhm Al Durar li Al Biqa’iy, Tahqiq wa Dirasah beliau berhasil
memperoleh gelar doktor dalam ilmu-ulmu al Quran dengan yudisium Summa Cum
Laude disertai penghargaan tingkat I (mumtaz ma’a martabat asy Syaraf al
‘Ula).yri’iy li al Quran al Karim.
Pada tahun 1999, Quraish Shihab diangkat menjadi Duta Besar
Republik Indonesia untuk negara Republik Arab Mesir yang berkedudukan di Kairo.
Selain itu, beliau juga dipercaya memegang beberapa jabatan antara lain Ketua
MUI Pusat sejak tahun 1984; Anggota Lajnah Pentashhih al Quran Depag RI sejak
tahun 1989; Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional sejak tahun 1989,
dan Ketua Lembaga Pengembangan. Di samping itu beliau juga aktif dalam berbagai
organisasi profesional antara lain Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari’ah;
Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; dan
asisten Ketua Umum ICMI. Dan yang tak kalah pentingnya adalah M. Qurais Shihab
aktif dalam kegiatan tulis menulis. Di surat kabar Pelita, pada
setiap hari Rabu beliau menulis dalam rubrik “Pelita Hati”. Beliau juga
mengasuh rubrik “Tafsir al Amanah” serta tercatat sebagai Anggota Dewan Redaksi
majalah Ulumul Quran dan Mimbar Ulama di
Jakarta.
Tidak hanya sebagai seorang penulis, M. Quraish Shihab juga seorang
penceramah handal yang mampu menyampaikan pendapat serta gagasan dengan bahasa
yang sederhana, mudah dicerna, lugas sekaligus logis serta cendrung berfikir
moderat, sehingga bisa diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Kegiatan
ceramah ini dilakukan di berbagai tempat sepeti di Masjid At Tin, Masjid
Fathullah, Masjid Istiqlal dan termasuk juga membagi ilmu pada program
stasiun-stasiun TV pada setiap bulan Ramadhan seperti di RCTI ataupun di
Metro TV.
2. karya-karya M. Quraish Shihab
M.
Quraish Shihab adalah seorang penulis yang produktif sehingga banyak melahirkan
karya-karya yang selanjutnya menjadi referensi ilmiah terutama pada bidang
tafsir al Quran.diantaranya: Tafsir Al Manar, Filsafat
Hukum Islam, Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir surat Al
Fatihah), Membumikan Al Quran (Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat), Fatwa-fatwa Seputar Wawasan Agama, Fatwa-fatwa Seputar Ibadah
Mahdhah, Menyingkap Tabir Illahi Asma al Husna dalam Perspektif al Quran,
Persoalan Penafsiran Metaforis atas Fakta-fakta Tekstual, Studi
Kritis Tafsir Al Manar karya Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir
al Quranil Karim: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya
Wahyu, Lentera Hati (Kisah dan Hikmah Kehidupan )
Dan karya Tulis yang telah diterbitkan
diantaranya: Studi Kritis Tafsir al-Manar Karya Muhammad Abduh dan
Rasyid Ridha (1994), Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, Untaian Permata buat Anakku: Pesan Al-Qur’an untuk, Lentera
Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan (Bandung: 1994). Isinya merupakan
kumpulan rubric “Pelita Hati”, Wawasan Al-Qur’an Tafsir
Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat.
4. Motivasi penulisan Tafsir Al-Misbah
Motivasi penulisan tafsir al-Mishbah diantaranya adalah
keprihatinan M. Quraish Shihab atas sikap yang berkembang di kalangan umat
Islam di Indonesia tentang ketertarikannya terhadap Al-Qur’an, tetapi sebagian
besar mereka hanya berhenti pada pesona bacaan Al-Qur’an ketika dilantunkan,
seakan-akan kitab suci ini diturunkan hanya untuk dibaca. Padahal tidak hanya
dibaca, hendaknya disertai dengan kesadaran bertadzakkur dan bertadabbur.
Selain itu tidak sedikit umat islam di Indonesia memiliki ketertarikan luar
biasa terhadap makna-makna Al-Qur’an, namun dihadapkan pada kendala waktu yang
tidak cukup untuk terlebih dahulu membekali diri dengan ilmu pendukung guna
memahami Al-Qur’an secara langsung dan langkanya buku-buku rujukan yang memadai
dari segi cakupan informasi, kejelasan dan bahasa yang tidak bertele-tele
mengenai Al-Qur’an.
Maka ditulislah Tafsir al-Mishbah yang salah satu kekuatannya
terletak pada kemampuannya menjelaskan tema pokok surah-surah Al-Qur’an dan
tujuan utama dari pesan-pesan yang terdapat dalam ayat-ayatnya, dengan harapan
bisa menjadi penerang bagi mereka yang mencari petunjuk dan pedoman hidup.
B.
Metode Penafsiran
Setidaknya ada tiga metode penafsiran yang digunakan oleh M.
Quraish Shihab. Tiga metode penafsiran ini telah berkembang di kalangan penulis
tafsir al-Qur’an, yaitu metode tahlili, muqaran dan maudhu’i.
Metode pertama dilakukan dengan cara menafsirkan berdasarkan urutan
ayat yang ada pada al-Qur’an. Metode kedua yang merupakan metode muqaran
dilakukan dengan cara memaparkan berbagai pendapat orang lain, baik yang klasik
maupun pendapat kontemporer. Dan metode yang ketiga adalah metode maudhu’i dilakukan
dalam bentuk memberikan penjelasan tema pokok surah-surah al-Qur’an atau tujuan
utama yang berkisar disekeliling ayat-ayat dari surah itu agar membantu
meluruskan kekeliruan serta menciptakan kesan yang benar.
C.
Sistematika Penulisan Kitab
Buku tafsir al-Misbah ini ditulis secara runtut sesuai dengan
mushaf dengan gaya bahasa yang populer, ringan, dan kalimatnya mudah dipahami.
Istilah yang rumit dan sulit dipahami pembaca dicarikan padanan kata yang lebih
mudah, sehingga makna yang terkandung
dalam Al-Qur’an mudah ditangkap dan yang paling penting tidak disalah
pahami pembaca.
Sebelum mulai menafsirkan surah, M. Quraish Shihab terlebih dahulu
memberi pengantar. Isinya antara lain, nama surah dan nama lain surah tersebut,
jumlah ayat (terkadang disertai penjelasan tentang perbedaan penghitungan dan
sebabnya), tempat turun surah (makiyyah dan madaniyyah) disertai pengecualian
ayat-ayat yang tidak termasuk kategori, alasan penamaan surah, nomor surah
berdasarkan urutan mushaf dan urutan turun, tema pokok, keterkaitan atau munasabah antara
surah sebelum dan sesudahnya dan sebab turunnya ayat.Setelah menyajikan
pengantar, M. Quraish Shihab mulai menafsirkan dengan menganalisis secara
kronologis dan memaparkan berbagai aspek yang terkandung dalam ayat-ayat
Al-Qur’an sesuai dengan urutan bacaan mushaf. Hal ini dilakukannya untuk
membuktikan bahwa ayat-ayat dan surah-surah dalam Al-Qur’an mempunyai
keserasian yang sempurna dan merupakan satu kesatuan yang tak dapat
dipisah-pisahkan. Dalam
seluruh penafsirannya ia selalu berusaha mengaitkan kata demi kata dalam surah,
kaitan kandungan ayat dengan fashilat yakni penutup ayat,
kaitan hubungan ayat dengan ayat berikutnya, kaitan uraian awal satu surah
dengan penutupnya, kaitan penutup surah dengan uraian awal surah sesudahnya dan
juga kaitan tema surah dengan nama surah. Sistematika yang digunakan dalam
penulisan tafsirnya adalah sebagai berikut:
1.
Dimulai dengan penjelasan surat secara umum
2.
Pengelompokkan ayat sesuai tema-tema tertentu yang disesuaikan
dengan tema besar keterkaitan ayat-ayat tersebut, lalu diikuti uraian
ayat, terjemah dan tafsir ayat
3.
Munasabah antara ayat/tema ayat-ayat sebelumnya dengan ayat yang
akan ditafsirkan.
4.
Menguraikan kosakata yang dianggap perlu dalam penafsiran makna
ayat.
5.
Penyisipan kata penjelas sebagai penjelasan makna atau sisipan
tersebut merupakan bagian dari kata atau kalimat yang digunakan Al-Qur’an.
6.
Ayat Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW yang dijadikan penguat atau
bagian dari tafsirnya hanya ditulis terjemahannya saja.
7.
Menjelaskan ayat dengan penafsiran M. Quraish Shihab dan juga
menyuguhkan penafsiran mufassir-mufassir lainnya, sebagian besar diungkapkan
untuk tujuan memperkuat atau mengkopromikan penafsiran-penafsiran tersebut.
8.
Menutup penafsiran satu ayat dengan memaparkan munasabah ayat yang
sedang ditafsirkan dan ayat sesudahnya.
D.
Kecenderungan dan Kandungan Secara Umum
Tujuan penulisan tafsir al-misbah adalah untuk membantu meluruskan
kekeliruan serta menciptakan kesan yang benar mengenai pesan-pesan Al-Qur’an. Salah
satu kekuatannya terletak pada kemampuannya menjelaskan tema pokok surah-surah
Al-Qur’an dan tujuan utama dari pesan-pesan yang terdapat dalam ayat-ayatnya,
dengan harapan bisa menjadi penerang bagi mereka yang mencari petunjuk dan
pedoman hidup.
Sesuai dengan maksud penulisannya sebagai penerang bagi para
pencari petunjuk dan pedoman hidup, tafsir ini memiliki corak adabi
ijtima’i, yaitu tafsir yang memeiliki kecenderungan menginterpretasi
persoalan seputar sosial kemasyarakatan atau tafsir yang hadir dengan
senantiasa memberikan jawaban terhadap segala sesuatu yang menjadi persoalan
umat, sehingga dapat dikatakan bahwa Al-Qur’an memang sangat tepat untuk
dijadikan pedoman dan petunjuk. Al-Qur’an dalam pandangan M.Quraish Shihab
memiliki tiga aspek: 1) aspek aqidah, 2) aspek syariah dan 3) aspek akhlak.
Dalam upaya pencapaian ketiga aspek ini, Al-qur’an memiliki 3 cara, yaitu:
a. Perintah
untuk memperhatikan/ber-tadabbur terhadap alam raya
b. Perintah
untuk mengamati pertumbuhan dan perkembangan manusian;
c. Kisah-kisah
(sebuah pelajaran, uswah, ibrah da sekaligus peringatan lembut);
d. Janji serta
ancaman baik duniawi maupun ukhrawi.
E.
Sumber Penafsiran
Sumber
penafsiran yang digunakan pada tafsir al-Mishbah ada dua: pertama,
bersumber dari ijtihad penulisnya. Kedua, dalam rangka
menguatkan ijtihadnya ia juga mempergunakan sumber-sumber rujukan yang berasal
dari fatwa dan pendapat para ulama, baik ulama terdahulu maupun ulama
kontemporer. Selain mengutip pendapat para ulama, ia juga mempergunakan
ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi SAW sebagai bagian dari tafsir yang
dilakukannya. Oleh karena itu tafsir al-Mishbah ini dapat dikategorikan sebagai
tafsir bi al-Ra’yi.
Banyak
pandangan mufassir yang dikemukakan oleh M. Quraih Shihab. Sebagaimana madzhab
mufassir, sebagian besar merupakan kalangan dari Sunni, meski demikian adapula
pandangan yang didiskusikan dalam penafsirannya dari Syi’i. Diantara referensi
yang digunakan M. Quraish Shihab dalam tafsirnya ialah:
1.
Tafsir Ibrahim Ibnu Umar al-Biqa’i (karya tafsir yang masih
berbentuk manuskrip dan sekaligus bahan disertasi M. Quraish Shihab)
2.
Tafsir Mutawalli al-Sya’rawi
3.
Tafsir Fi Dzilalil Qur’an karya Sayyid Qutb
4.
Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir karya Ibnu ‘Asyur
5.
Tafsir al-Mizan karya Thabathaba’i
6.
Jawahir fi Tafsir al-Qur’an Karim karya Thanthawi Jauhari
7.
Al-Kasysyaf karya az-Zamakhsary
F.
Kelebihan dan kekurangan
Di antara kelebihan yang terdapat dalam Tafsir al-Misbah adalah:
1.
Penafsirannya yang bersifat konstekstual didasarkan pada pendekatan
sosiologis-antrpologis yang memberikan kemudahan kepada pembacanya untuk memahami
makna yang tersirat di dalam al-Qur'an.
2.
Dalam menganalisis hal kebahasan sangat bagus karena ditampilkan
juga pendapat para ulama seputar kebahasan itu.
3.
menjelaskan munasabah secara luas dan rinci.
Sedangkan diantara kekurangannya adalah:
1.
Banyaknya menampilkan pendapat para ulama tetapi tidak menyimpulkan
pendapat yang unggul sehingga untuk kalangan awam akan membingungkan.
No comments:
Post a Comment