A. Pengertian Mufassir
dan Syarat Mufassir
Secara bahasa Mufassir
adalah bentuk isim fa’il dari kata Fassara yang artinya menafsirkan atau
menjelaskan. Kemudian di ikutkan wazan isim fa’il menjadi Mufassirun yang artinya orang
yang menafsirkan, mengomentari, interpretasi.
Sedangkan
menurut istilah, Husain bin Ali bin Husain Al-Harby menjelaskan definisi
mufassir secara lebih panjang :
المفسر
هو من له أهلية تامة يعرف بها مراد الله تعالى بكلامه المعتبد بتلاوته، قدر
الطاقة، و راض نفسه علي مناهج المفسرين، مع معرفته جملا كثيرة من تفسير كتاب الله،
و مارس التفسير عمليا بتعليم أو تأليف.
“Mufassir adalah orang
yang memiliki kapabilitas sempurnya yang dengannya ia mengetahui maksud Allah ta’ala
dalam Al-Qur’an sesuai dengan kemampuannya. Ia melatih dirinya di atas
manhaj para mufassir dengan mengetahui banyak pendapat mengenai tafsir
kitabullah. Selain itu, ia menerapkan tafsir tersebut baik dengan mengerjakannya
atau menuliskannya”.
Adapun
pengertian Syarat adalah sesuatu yang harus dikerjakan agar sesuatu yang
dikerjakan menjadi sah hukumnya.
Sedangkan
Pengertian syarat mufassir adalah jalur serta rel sahnya seseorang menafsirkan
Al-Qur’an. syarat amat sangat urgen bagi siapa pun yang ingin menafsirkan
sebuah ayat apalagi menafsirkan Al-Qur’an secara keseluruhan. Setiap disiplin
ilmu pengetahuan membutuhkan sebuah syarat sebagai penunjang utama dalam
langkah menuju objektif.
Peran
syarat dalam suatu hal sangatlah penting karena al-Qur an merupakan Kitab
pedoman umat Islam dengan menyandang kata “suci” tidak boleh sembarang orang
menafsirkan jika tidak memenuhi persyaratanya karena dampaknya akan sangat
fatal jika terjadi kesalahan mengingat esensi al_qur an adalah sebagai pedoman
hidup umat Islam agar selamat didunia dan akhirat.
B. Syarat-syarat
Mufassir
Ghanaim
dalam (Arif: 2005) mengatakan bahwa seseorang yang ingin menjadi penafsir
Al-Qur’an harus memenuhi 4 persyaratan yaitu:
1.
Mempunyai
pengetahuan yang mendalam tentang Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Karena
Al-Qur’an saling menafsirkan satu sama lain, dan Hadits Nabi SAW juga banyak
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.
2.
Mengetahui
pendapat para Sahabat dan tafsir mereka terhadap Al-Qur’an. Karena mereka
adalah orang yang paling mengetahui tentang turunnya Al-Qur’an dan kondisi saat
turunnya wahyu itu.
3.
Penafsir harus
mempunyai aqidah yang lurus dan memegang teguh Sunnah Rasul SAW, serta ikhlas
dalam memancangkan tujuannya sehingga mendapatkan pertolongan Allah swt.
4.
Menguasai I’rab
bahasa Arab, sehingga ia tak mengalami kebingunan ketika menghadapi kemungkinan
banyaknya bentuk suatu redaksi.
Syeikh Manna
al-Qathathan menambah lagi dengan satu syarat
lain yaitu: membersihkan diri dari hawa nafsu, menguasai dasar-dasar
ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an, mempunyai pemahaman yang kuat, dan
menguasai ilmu bahasa Arab beserta cabang-cabangnya.
Dari segi kreadibilitas moral, Menurut Al-Qaththan (tanpa tahun:323-324) adab-adab yang harus dimiliki oleh seorang mufassir adalah sebagai berikut :
(1) Berniat
baik dan bertujuan benar, sebab amal perbuatan itu bergantung pada niatnya. (2)
Berakhlak baik, karena seorang mufassir itu adalah pendidik. (3)Taat dan
beramal, karena ilmu lebih dapat diterima melalui orang yang mengamalkannya.
(4) Berlaku jujur dan teliti dalam penukilan, sehingga mufassir tidak bicara
atau menulis kecuali setelah menyelidiki apa yang diriwayatkannya. (5) Tawadu’
dan lemah lembut, karena kesombongan ilmiah merupakan dinding kokoh yang
menghalangi antara seorang alim dengan kemanfaatan ilmunya. (6) Berjiwa mulia,
seharusnya seorang alim menjauhkan diri dari hal-hal yang remeh serta tidak
mendekati dan meminta-minta kepada penguasa. (7) Vokal dalam menyampaikan
kebenaran, karena jihad yang paling utama adalah menyampaikan kalimat yang haq kepada
penguasa yang zalim. (8) Berpenampilan baik, yang dapat menjadikan mufassir
berwibawa dan terhormat dalam semua penampilannya secara umum, juga dalam cara
duduk, berdiri, dan berjalan. (9) Bersikap tenang dan mantap, mufassir
hendaknya tidak tergesa-gesa dalam bicara, tetapi hendaknya ia berbicara dengan
tenang, mantap dan jelas kata demi kata. (10) Mendahulukan orang yang lebih
utama daripada dirinya, seorang mufassir
harus hati-hati menafsirkan dihadapan
orang yang lebih pandai, menghargainya dan belajar darinya. (11) Mempersiapkan
dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara baik. Seperti memulai dengan
menyebut asbabunnuzulnya, arti kosa katanya, menerangkan susunan kalimat,
menjelaskan segi balaghoh dan I’rabnya, kemudian menjelaskan makna umum dan
menghubungkannya dengan realitas zamannya, kemudian baru mengambil kesimpulan
dan hukumnya.
Adapun
ilmu-ilmu yang harus diperlukan oleh seorang mufassir yaitu menurut As-Suyuti dalam (Fudlali: 102) adalah sebagai
berikut:
1.
Ilmu bahasa
Arab. Dengan ilmu ini akan dapat diketahui syarh (penjelasan) kosa
kata-kosa kata dan arti yang dikandungnya berdasarkan makna asalnya.
2.
Ilmu Nahwu,oleh
karena arti suatu kata akan berbeda disebabkan perbedaan I’rab (statusnya
dalam suatu kalimat).
3.
Ilmu Sharaf.
Dengan ilmu ini akan dapat diketahui berbagai bentuk kata.
4.
Mengetahui ilmu
Isytiqaq (akar kata), seperti apakah kata “almasih” itu berasal dari kata
“almashu’ atau dari kata “assiyahah”.
5.
Ilmu Ma’ani.
Dengan ilmu ini akan dapat diketahui kekhususan-kekhususan struktur kalimat.
dilihat dari segi makna yang ditujukannya.
6.
Ilmu Bayan.
Dengan ilmu ini akan dapat diketahui kekhususan-kekhususan kalimat. dilihat
dari segi makna yang ditujukannya
7.
Ilmu Badi’.
Dengan ilmu ini akan dapat diketahui segi-segi keindahan kalimat. Tiga ilmu
yang terakhir, yakni Ma’any, Bayan, Badi’, termasuk ilmu yang sangat
dipersyaratkan bagi seorang mufassir.
8.
Ilmu Qira’ah.
Dengan ilmu ini dapat diketahui cara mengucapkan ayat-ayat Al-Qur’an dan makhraj-makhraj
huruf.
9.
Ilmu Ushuluddin
(ilmu Tauhid). Dengan ilmu ini kita dapat mengetahui ayat-ayat yang menunjukkan
kepada sifat-sifat Allah yang jaiz, yang mustahil, dan yang wajib bagi-Nya.
10. Ilmu Ushul Fiqh. Dengan ilmu ini dapat diketahui bentuk istidlal
(menjadikan dalil) bagi hukum-hukum dan cara mengistinbath hukum-hukum.
11. Ilmu Asbabun Nuzul. Dengan ilmu ini dapat diketahui maksud
ayat yang diturunkan.
12. Ilmu Nasikh dan Mansukh. Dengan ilmu ini dapat
diketahui ayat yang telah dimansukh (dihapus hukumnya) dan ayat mana yang
menjadi nasikhnya (yang menghapuskannya) agar dapat diketahui ketetapan
hukumnya.
13. Ilmu Fiqih.
14. Hadits-hadits. Dengan hadits-hadits dapat diketahui yang mujmal,
dan yang mubham.
15. Ilmu Mawhibah, yaitu ilmu yang diberikan Allah kepada orang
yang beramal dengan ilmunya. Sebab tidak mungkin seseorang itu mengetahui/memahami
wahyu/ayat jika orang itu ahli bid’ah atau suka mengerjakan dosa atau
hubudunya.
C.
Kaidah-kaidah yang Harus Dikuasai Mufassir
As-Sabth
(1415: 23) berpendapat bahwa “kaidah penafsiran adalah total, masalah disiplin
yang digunakan oleh penafsir dalam interpretasinya, yang penggunaannya dimulai,
dan berdasarkan kegunaan interpretasi, atau kemungkinan antara kata-kata”.
Menurut Al-Qaththan
(tanpa tahun:185-204) kaidah-kaidah yang harus dikuasai oleh seorang mufassir adalah sebagai berikut :
1. Dhamir (Kata Ganti)
Kata ganti dalam bahasa mempunyai peranan yang
sangat penting, khususnya untuk meringkaskan suatu pembicaraan tanpa mengurangi
makna yang di kandungnya dan sekaligus menghemat serta menghindari kebosanan
sebab sebuah dhamir dapat berfungsi menggantikan kedudukan sejumlah kata tanpa
merusak makna yang dikandungnya sedikitpun. Contohnya dhamir “ هم “ (mereka)
dalam firman Allah
di ujung ayat 35 dari al-Ahzab, misalnya,
menempati 20 kata yang disebutkan sebelumnya yaitu:
انّ المسلمين
و المسلمات و المؤمنين و المؤمنات و القنتين و القنتات و الصّدقين و الصّدقات و
الصبرين و الصّابرات والخشعين و الخشعات و المتصدّقين والمتصدّقات و الصائمين
والصّائمات و الحفظين فروجهم والحفظات والذكرين الله كثيرا والذكرات اعدّ الله
لهم مغفرة و اجرا عظيما.
Artinya: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan
yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang
tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan
perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan
perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan
perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak
menyebut (nama) Allah, Allah Telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang
besar.”
Tampak dengan gamblang kepada kita bahwa
dhamir ( هم ) tersebut menggantikan
kata المسلمين terus sampai الذكرات sebanyak 20 buah.
Namun yang menjadi permasalahan disini ialah madlul (yang ditunjuk oleh) dhamir
tersebut atau sering juga disebut marji’ (tempat kembali) dhamir. Dalam hal ini
ada beberapa macam antara lain:
a)
Disebut secara eksplisit sebelumnya seperti
contoh di atas. Misalnya seperti
Dhamir pada هم kembali kepada المسلمين
b)
Tidak disebut secara eksplisit melainkan
dibayangkan saja dalam redaksi sebelumnya seperti pada ayat 8 al-Maidah:
يايّها
الذين امنوا كونوا قوّامين لله شهداء بالقسط و لا يجرمنّكم شنان قوم على الاّ
تعدلوا اِعدلوا هو اقرب للتقوى واتقوالله اِنّ الله خبير بما تعملون
Artinya “Hai orang-orang yang beriman
hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena
Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku
adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
c)
Disebutkan sesudah dhamir seperti dalam ayat
67 dari surah Thaha:
فأوجس في نفسه خيفة موسى
Dhamir “ه “ pada نفسه
menunjuk kepada موسى yang terletak sesudahnya.
Dengan begitu ayat itu dapat diterjemahkan : “Maka Musa merasa takut di dalam
hatinya”.
2. Ta’rif dan Tankir
Ta’rif dan tankir berasal dari akar kata
nakirah dan ma’rifah. Nakirah menunjuk kepada jenis dari individu tersebut,
sedangkan ma’rifah menunjuk kepada individu secara khusus.
Ø Nakirah
Penggunaaan isim nakirah ini mempunyai
beberapa fungsi diantaranya:
·
Untuk menunjukkan satu, seperti pada Qur’an
surah Yasin ayat 20.
contohnya
: وجاء
رجل من أقصا المدينة يسعى yang
berarti satu orang/seorang laki-laki
·
Untuk menunjukkan jenis, seperti dalam (quran
surah al baqarah ayat 96),
Contohnya : ولتجدنّهم
أحرص الناس على حياة
yakni suatu macam kehidupan dengan bekerja
keras menuntut tambahan untuk masa depan, sebab keinginan itu bukan terhadap
masa lalu atau masa sekarang.
·
Untuk menunjukkan kedua-duanya (satu dan
jenis) sekaligus misalnya ayat An-Nur.
Contohnya : والله خلق كلّ دابّة من ماّء maksudnya, setiap jenis binatang itu berasal dari satu
jenis air dan setiap individu (satu) binatang itu berasal dari satu nuthfah (air mani).
·
Untuk membesarkan dan memuliakan contohnya pada surah (Al-Baqarah : 279) فأذنوا
بحرب من الله
yaitu perang (harbun) besar.
·
Untuk menunjukkan arti banyak dan melimpah
seperti pada surah (Asy-Syu’ara’: 41). Contohnya : أئنّ لنا لأجرا maksudnya upah yang melimpah.
·
Atau untuk membesarkan dan menunjukkan banyak Contohnya
: وإن يكذّبوك فقد كذّبت رسل من
قبلك (Fathir : 4). Maksudnya, rasul-rasul yang
mulia dan banyak jumlahnya.
·
Untuk meremehkan dan merendahkan, Contohnya : من أيّ شيء
خلقه . Yakni, diciptakan dari sesuatu yang hina,
rendah.
·
Untuk menyatakan sedikit, kecil. Contohnya : وعد
الله المؤمنين والمؤمنات جنّات تجري من تحتها الأنهار خالدين فيها و مساكن طيّبة
في جنّات عدن، و رضوان من الله أكبر (At-Taubah : 72). Maksudnya,
keridhaan yang sedikit dari Allah itu lebih besar nilainya daripada surga,
karena keridhaan itu pangkal segala kebahagiaan.
Ø
Ma’rifah
Dalam pembahasan ini khusus mengenai ma’rifah
yang menggunakan alif lam ( ال ),
tidak kata-kata yang ma’rifah secara umum karena jika ini yang dikaji maka
uraiannya harus mencakup semua bentuk kata-kata ma’rifah seperti dhamir (kata
ganti), ‘alam (nama), ism al-isyarat (kata penunjuk), dan lain-lain.
Adapun penggunaan isim ma’rifah, mempunyai
beberapa fungsi yang berbeda sesuai dengan jenis dan macamnya yaitu sebagai
berikut:
·
Dengan isim ‘alam (nama) berfungsi untuk
menghadirkan pemilik nama itu dalam benak pendengar dengan cara menyebutkan
namanya yang khas: menghormati, memuliakannya, seperti pada ayat: “محمد رسول الله” (Al-Fath :29). Atau
menghinakan, seperti pada ayat : “تبّت يدا أبي لهب و تبّ.” (AL-Lahab : 1). Dengan
menggunakan isim Isyarah atau kata tunjuk untuk menjelasakan bahwa yang
ditunjuk itu dekat, seperti: “هذا خلق الله فأروني ماذا خلق الذين من دونه” (Lukman : 11) atau menjelaskan
keadaanya dengan menggunakan isyarat tunjuk jauh seperti “وأولئك هم المفلحون”
·
Pema’rifatan dengan isim mausul atau kata
ganti penghubung berfungsi: karena tidak disukainya menyebutkan nama sebenarnya
untuk menutupinya atau disebabkan hal lain, seperti “والذي قال لوالديه أفّ لكما” (Al Ahkaf : 17) dan
·
“وراودته التي هو في بيتها عن نفسه ”
(Yunus : 23).
·
Ma’ripat dengan alif lam (al) berguna : untuk
menunjukknan sesuatu yang telah diketahui, kerena telah disebutkan (ma’hud
dzikri ) seperti :
“ الله نور السموات و
الأرض مثل نوره كمشكاة فبها مصباح ، المصباح في زجاجة ، الزجاجة
كأنها كوكب درّيُّ(An-Nur
: 35).
·
Pengulangan Kata Benda (Isim)
Apabila diamati pengulangan isim yang terjadi
dalam Alqur’an, maka ditemukan empat kategori. Pertama pengulangan ma’rifah
dengan ma’rifah, kedua mengulang nakirah dengan nakirah, ketiga nakirah diulang
dengan ma’rifah, dan keempat sebaliknya ma’rifah diulang dengan nakirah.
1. Jika kedua-duanya ma’rifah, maka pada umumnya yang isim kedua adalah yang
pertama. Contohnya, “اهدنا الصراط المستقيم ، صراط الذين ...........” (Al-Fatihah
: 6-7).
2. Sebaliknya, jika kedua-duanya nakirah, maka yang kedua biasanya bukan yang
pertama. Misalnya,
“الله الذي خلقكم من ضعف ثمّ جعل من بعد ضعف قوّة
ثمّ جعل من بعد قوّة ضعفا و شيبة ”
(Ar-Rum : 54). Yang dimaksud “dha’f” (kelemahan) pertama adalah sperma, “dha’f”
kedua thuuliyah (masa bayi), sedang “dha’f” yang ketiga adalah syaikhukhah
(orang tua atau lanjut usia). Kedua macam ini ada pada ayat, “فإن مع العسر يسرا ، إنّ مع العسر يسرا.” (Al-Insyirah
: 5-6). Dalam satu riwayat, Ibnu Abbas mengomentari ayat ini, “Satu ‘usr
(kesulitan) tidak akan mengalahkan dua yusr (kemudahan). Karena kata ‘usr yang
kedua diulangi dengan “al” ma’rifah, maka “usr itu adalah ‘usr yang pertama.
Adapun kata yusr yang kedua bukan yusr yang pertama karena ia diulangi tanpa
al.”
3. Jika yang pertama nakirah dan yang kedua ma’rifah maka yang kedua itu
adalah yang pertama, karena sudah diketahui. Misalnya dalam ayat,
“كما أرسلنا إلى فرعون رسولا، فعصى فرعون الرسول” (Al-Muzammil
: 15-16).
4. Jika yang pertama ma’rifah sedang yang kedua nakirah, maka tergantung pada
qarinahnya. Terkadang qarinah (indikasi) itu menunjukkan bahwa keduanya itu
berbeda, seperti, “ويوم تقوم الساعة يقسم المجرمون ما لبثوا غير ساعة” (Ar-Rum:55).
Terkadang qarinah itu menunjukkan bahwa keduanya sama, seperti, “ولقد ضربنا للناس في هذا القرآن من كلّ مثل لعلّهم
يتذكّرون ، قرآنا عربيّا.”
(Az-Zumar : 27-28).
4. Muqabalah Jamak dengan Jamak atau Mufrad
Muqabalah berasal dari bahsa Arab ( قابل ) artinya “berhadap-hadapan”. Dari itu
muqalabah jamak dengan jamak ialah menempatkan kata jamak (plural) setelah kata
jamak, karena letak keduanya berdekatan, seakan-akan kedua-duanya
berhadap-hadapan. Itulah sebabnya keduanya disebut “muqabalah”. Apabila jamak
berdekatan dengan mufrad (kata tunggal) dalam suatu ungkapan, maka disebut
“muqabalah jamak dengan mufrad”.
·
Muqabalah jamak dengan jamak
Pemakaian jamak dengan jamak memberikan
konotasi umum , artinya setiap individu dalam menghimpun jamak menjadi objek
dari jamak itu. Mengimbangi jamak dengan jamak terkadang menuntut bahwa setiap
satuan dari jamak yang satu di imbangi dengan satuan jamak yang lain, misalnya
dalam surat (Nuh: 7) “واستغشوا ثيابهم”Maksudnya,
setiap dari mereka menutupi badannya dengan bajunya masing-masing. Dan seperti
“والوادات يرضعن
أولادهنّ ” (Al-Baqarah
: 233). Maksudnya, masing-masing ibu menyusui anaknya sendiri.
·
Muqabalah jamak dengan mufrad
Adapun jamak dengan mufrad pada umumnya
dimaksudkan untuk keumuman mufrad tersebut, dan kadang-kadang hal itu bisa
terjadi. Misalnya,
“وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين” (Al-Baqarah : 184). Maksudnya,
setiap orang yang tidak sanggup berpuasa wajib memberikan makanan kepada
seorang miskin setiap hari.
5. Lafadzh
yang Diduga Sinonim
Lafazh “السيبل”
dan ‘الطريق” (jalan). Yang
pertama (as-sabil) banyak dipakai pada kebaikan sedang yang kedua (ath-Thariq) hampir tidak pernah dipakai pada kebaikan
kecuali bila disertai sifat atau penjelas yang menunjukkan makna yang dimaksud.
Misalnya dalam ayat, “يهدي إلى الحقّ و إلى طريق مستقيم .” (Al-Ahqaf:30). Adapun contoh
untuk lafadz (as-sabil) :
ولا
تحسبنّ الذين قتلوا في سبيل الله أمواتا بل أحياء عند ربّهم يرزقون (Al-Imran: 169). Jadi kata (as-sabil)
dalam Al-Qur’an itu banyak yang digandengkan dengan kata الله .
Menurut Ar-Raghib dalam Mufradat-nya “as-sabil”
adalah ath-thariq atau jalan yang di dalamnya terdapat kemudahan. Ia lebih
spesifik daraipada “ath-thariq”.
6. Pertanyaan dan Jawaban
·
Pada
dasarnya jawaban itu harus sesuai dengan pertanyaan. Namun ia terkadang
menyimpang dari apa yang dikehendaki pertanyaan. Hal ini untuk mengingatkan
bahwa jawaban itulah yang seharusnya ditanyakan. Jawaban seperti ini disebut
‘uslub al hakim’. Sebagai contoh firman Allah:" يسألونك عن الأهلّة ، قل هي مواقيت
للناس و الحجّ" (al Baqarah: 189). يسألونك
عن الأهلّة “mereka
bertanya kepadamu (Muhammad” tentang bulan sabit” , قل
هي مواقيت “katakanlah,
“ itu adalah penunjuk waktu bagi manusia dan (ibadah) haji”.
Mereka menanyakan kepada Rasulullah SAW tentang bulan, mengapa pada
mulanya ia tampak kecil seperti benang, kemudian bertambah sedikit demi sedikit
hingga purnama, kemudian menyusut lagi terus-menerus sampai kembali seperti
semula. Jawaban yang diberikan kepada mereka berupa penjelasan mengenai
hikmahnya, untuk mengingatkan mereka bahwa yang lebih penting ditanyakan ialah
hal tersebut, bukan apa yang mereka tanyakan itu.
·
Terkadang
sebuah jawaban lebih umum dari apa yang ditanyakan, kerana memang hal itu
dianggap perlu, misalnya pada surah (al An’am ayat 64)
: "
قل الله ينجّيكم منها ومن كلّ كرب ثمّ انتم تشركون " sebagai jawaban bagi pertanyaan surah (al
An’am ayat 63) : " قل من ينجّيكم
من ظلمات البرّ و البحر".
Jadi jawaban tentang siapakah yang bisa menyelamtkan kalian dari bencana di
darat dan di laut (khusus), itu adalah hanya Allah SWT yang bisa menyelamatkan
dari bencana itu dan segala macam kesusahan (umum).
·
Terkadang
pula jawaban lebih sempit dari pertanyaan karena keadaan menghendaki demikian,
seperti ayat dalam surah ( Yunus ayat:15): " قل
ما يكون لي أن أبدّله من تلقاء نفسى" sebagai
jawaban bagi “ "ائت
بقرآن غير هذا أو بدّله. Hal ini mengingatkan
bahwa mengganti lebih mudah dari pada menciptakan. Jika mengganti saja tidak mampu
tentulah menciptakan lebih tidak mampu lagi.
·
Kata
“السؤال” bila dipakai untuk
meminta sesuatu pengertian, maka terkadang ber muta’addi kepada maf’ul kedua
secara langsung, dan terkadang dengan menggunakan kata bantu ”
عن” . misalnya ” ويسألونك
عن الروح” (al Baqarah: 85) . ك
(maf’ul
pertama) عن الروح
(maf’ul kedua ) dan bila dipergunakan untuk meminta sesuatu benda
atau yang serupa ,ia muta’addi kepada maf’ul kedua itu secara langsung atau
dengan kata bantu ‘من’ , namun cara pertama
lebih banyak berlaku. Misalnya “واسألوا
ما أنفقتم” (al Mumtahanah: 10) dan
“واسألوا الله من فضله” (an Nisa’ : 32).
7. Khithab
dengan Isim (kata benda) atau Fiil (kata kerja)
Khithab (cara berkomunikasi) dengan
menggunakan kata benda berbeda konotasinya jika menggunakan kata kerja. Hal itu
disebabkan oleh perbedaan ialah antara kata benda dan kata kerja tersebut. Di
mana kata benda mengandung makna tetap dan terus-menerus tanpa terputus (الثبوت و الاستمرار), sebaliknya kata kerja tidak
mengandung makna serupa itu, melainkan menunjuk kepada suatu peristiwa yang
terjadi pada waktu tertentu: masa lampau, sekarang, dan akan datang (التجدد و الحدوث).
Ungkapan yang mengikuti pola pertama disebut jumlah ismiyyah (kalimat nominal),
sementara yang menggunakan kata kerja disebut jumlah fi’iliyah (kalimat
verbal). Kedua kalimat ini nominal dan verbal merupakan unsur pokok yang
membentuk bahasa ujaran atau tulisan. Masing-masing kalimat ini mempunyai
tempat tersendiri yang tidak bisa ditempati oleh yang lain. Misalnya, tentang
infaq yang diungkapkan dengan jimlah fi’iliyah, seperti dalam ayat, “الذين ينفقون في السّرّاء والضّرّاء” (Al Imran:
134). Tidak diungkapkan dengan menggunakan kata “al-munfiqun”.
Akan tetapi, dalam masalah keimanan digunakan jumlah
ismiyah, seperti dalam, “إنّما المؤمنون الذين آمنوا بالله و رسوله” (Al-Hujurat: 15). Penggunaan
seperti itu disebabkan, karena infaq misalnya merupakan suatu perbuatan yang
bersifat temporal, terkadang ada dan terkadang tidak ada. Lain halnya dengan
keimanan. Ia mempunyai hakekat yang tetap berlangsung selam hal-hal yang
menghendakinya masih ada.
8. Athf
Athaf terbagi atas tiga macam:
1. Athaf kepada lafaz,
dan inilah yang pokok bagi ‘athaf.
2. Athaf kepada mahall
(kedudukan kata). Misalnya dalam kedudukan ayat
إنّ الذين امنوا والذين هادوا والصابئون (al-maidah:67)
Lafaz “as-sabiuun” di’athafkan kepada mahall
inna dan isimnya yang kedudukannya adalah marfu’ karena permulaan
kalimat.
3. Athaf kepada makna.
Misalnya dalam ayat " لولا أخّرتني إلى أجل قريب فأصّدّق و أكن"
Para ulama berbeda pendapat tentang boleh
tidaknya meng’athafkan khabar (kalimat berita) kepada insya
(bukan kalimat berita). Sebagian besar tidak membolehkan dan sebagian
membolehkannya, dengan mengambil contoh ayat "وبشّر
المؤمنون" yang ber’athaf pada " تؤمنون
" terdapat dalam ayat
يا أيها الين أمنوا هل أدلكم على تجارة تنجيكم من عذاب
أليم. تؤمنون باالله ورسوله
(as-saaff
(10-11(
Golongan yang tidak membolehkan mengatakan mengatakan lafaz “ تؤمنون”
sama maknanya dengan “أمنوا”.
Dengan demikian, ia adalah kalimat yang bermakna insya’. Maka sah-lah
meng’athafkan kalimat insya’, “وبشّر” kepadanya, seakan-akan dikatakan
امنوا وجاهدوا يثبتكم
الله وينصركم. و بشر يا رسول الله المؤمنين بذالك.
Faedah penggunaan kalimat kabar di tempat kalimat perintah (
amr, insya’) ini untuk memberi pengertian tentang kewajiban mentaati perintah
itu, seakan-akan kalimat tersebut berbentuk perintah, yakni “taatilah”. Karena
itu ia memberitahukan tentang keimanan dan jihad yang sudah ada.
9.
Perbedaan antara
al-ita’ dengan al-I’tha’ ( الإيتاء و الإعطاء)
Terdapat perbedaan antara “al-ita’” dengan
“al-I’tha’” di dalam al-quran. Al-juwaini menjelaskan lafaz “al-ita’” lebih
kuat dari “al-i’tha’” dalam menetapkan maf’ulnya, karena “al-I’tha’” mempunyai
pola kata mutawa’alah. Dikatakan أعطاني فعطوت (
ia memberikan [sesuatu] kepadaku maka aku pun menerimanya). Sedang tentang
“al-ita’” tidak dapat dikatakan آتاني فأتيت (ia memberikan [sesuatu] kepadaku maka akupun memberikannya).
Tetapi hendaklah dikatakan: آتاني فأخذت (ia memberikan [sesuatu] kepadaku maka akupun menerimanya)
10. Lafadz fa’ala
Lafadz
“فعل”
digunakan untuk menunjukkan beberapa jenis perbuatan, bukan satu perbuatan
saja. Pemakaian lafadz ini untuk meringkas kalimat. Misalnya: "لبئس
ما كنوا يفعلون" (al-Maidah: 79). Arti lafadz "يفعلون" dalam ayat ini mencakup segala kemungkaran
yang mereka lakukan. Apabila lafadz "فعل" digunakan dalam firman Allah, maka ia
menunjukkan “ancaman keras”, misalnya: "وتبيّن
لكم كيف فعلنا بهم"
(Ibrahim: 45)
11. Lafadz Kana
Seringkali lafaz kana dalam Qur’an digunakan berkenaan dengan
dzat Allah dan sifat-sifatNya. Para ahli nahwu dan yang lain berbeda pendapat
tentang lafaz tersebut, apakah ia menunjukkan arti inqita’ (terputus) sebagai
berikut:
·
“kana” menunjukkan arti “inqita’” sebab ia adalah fi’il atau
kata kerja yang memberika arti tajaddud, temporal.
·
“kana” tidak menunjukkan arti inqita’ melainkan arti dawam
(kekal, abadi). Ini pendapat yang dipilih Ibn Mu’ti yang mengatakan dalam al
fiyahnya : “wakana lil madhil ladzi man qatha’a
( “kana” menunjukkan
peristiwa masa lampau yang tidak terputus)
Mengenai firman Allah
: " وكان الشيطان لربّه
كفورا " (al Isra’: 270 ar Ragib menyatakan, lafadz
“kana” disni menunjukkan bahwa setan sejak diciptakan senantiasa tetap berada
dalam kekafiran.
·
‘kana” adalah suatu kata yang menunjukkan adanya sesuatu pada
masa lampau secara samar-samar, yang didalamnya tidak ada petunjuk mengenai
ketiadaan yang mendahuluinya atau keterputusannya yang datang kemudian. Contohnya:" وكان الله
غفورا رحيما " (al
Ahzab: 50). Pendapat ini dikemukakan oleh az Zamakhsyari ketika menafsirkan
firmanNya : ‘ كنتم خير أمّة أخرجت للنّاس” (Al-Imran: 110).
Abu Bakar ar Razi telah mengkaji dengan seksama
penggunaan ‘kana’ dalam qur’an yang menyimpulkan makna-makna yang terkandung
dalam penggunaannya itu. Ia menjelaskan didalam Qur’an terdapat lima macam
‘kana’
a.
Makna azali dan abadi, misalnya firman Allah " وكان الله عليما حكيما" (an
Nisa’;
170)
b.
Makna terputus (terhenti) misalnya firman Allah " و كان في المدينة تسعة
رهط"
(an Naml: 48). Inilah
makna yang asli diantara makna-makna ‘kana’ , hal itu sebagaimana perkataan
“kana zaidun shalihan aw faqiran aw maridhan aw nahwahu” ( adalah si Zaid itu
seorang saleh, seorang fakir, seorang yang sakit, atau lainnya).
c.
Makna masa sekarang, seperti dalam ayat : " كنتم خير أمّة
" (Ali Imran: 110) dan " إنّ الصلاة كانت على المؤمنين كتابا موقوتا " (an
Nisa’: 103)
d.
Makna masa akan datang, seperti dalam ayat : " و يخافون يوما كان شرّه
مستطيرا" (ad
Dhar: 7)
e.
Makna sara (menjadi), seperti dalam ayat: " و كان من الكافرين " (al Baqarah: 34).
·
‘kana ‘ jika terdapat dalam kalimat negatif, maka maksudnya
adalah untuk membantah atau menafikkan kebenaran berita, bukan menafikkan
terjadinya berita itu sendiri. Oleh karenanya ia ditafsirkan dengan “ما صحّ و ما استقام ” (tidak sah dan tidak benar) seperti dalam
ayat: " ما كان لنبيّ أن يكون
له أسرى حتّى يثخن في الأرض "
12. Lafadz Kada
Para ulama mempunyai beberapa pendapat tentang lafadz ‘kada’ :
Para ulama mempunyai beberapa pendapat tentang lafadz ‘kada’ :
·
“Kada” sama dengan fi’il lainnya baik dalam hal nafi’ (negatif,
meniadakan) maupun dalam hal isbat (positif , menetapkan). Positifnya ialah
positif dan negatifnya ialah negatif, sebab maknanya ialah muqarabah (hampir,
nyaris). Jadi makna kalimat ‘kada yaf’alu’ adalah qarabal fi’la ( ia
menghampiri pekerjaan itu, hampir mengerjakan) dan makna kalimat ” ma kada yaf
‘alu” adalah “lam yuqa ribhu” ( ia tidak menghampiri pekerjaan itu, hampir
tidak mengerjakannya). Predikat (khabar) “kada” selalu negatif, tetapi dalam kalimat
positif kenegatifannya itu dipahami dari makna “kada” itu sendiri. Sebab berita
tentang “hampirnya sesuatu” menurut kebiasannya, berarti sesuatu tersebut tidak
terjadi. Jika tidak demiakian tentu tidak akan diberitakan “kehampirannya”. Apa
bila “kada” itu dinegatifkan maka ketidak hampiran berbuat menghendaki, secara
akal, bahwa perbuatan itu tidak terjadi. Hal sebagaimana ditunjukkan oleh ayat "إذا أخرج يده لم يكد يراها " (An Nur: 40). Karena itu ayat ini lebih intens
dari kalimat “لم يراها” (ia tidak melihatnya), sebab orang yang tidak melihat mungkin
ia telah hampir melihatnya.
·
“Kada” berbeda dengan
fi’il-fi’il lainnya baik dalam hal positif maupun negatif. Positifnya adalah
negatif, dan negatifnya adalah positif. Atas dasar ini mereka berkata “kada”
jika dipositifkan maka sebenarnya menunjukkan negatif, dan jika dinegatifkan maka
sebenarnya menunjukkan positif. Jika dikatakan ” كاد يفعل” maka artinya ‘ia tidak melakukan’
berdasarkan firman Allah: " و إن كادوا ليفتنونك " (dan sesungguhnya mereka hampir
memalingkan kamu al Isra : 73, sebab
pada kenyataannya mereka tidak memalingkan Muhammad. Dan jika dikatakan “لم يكاد يفعل” maka artinya “ia melakukan”, berdasarkan
ayat : ‘فذبخوها و ما كادوا يفعلون"(kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak
melakukannya. Al Baqarah : 71)
·
“Kada” yang dinegatifkan kadang menunjukkan terjadinya sesuatu
dengan susah payah dan sulit, seperti yang ada pada surah Al Baqarah diatas.
·
“kada” dibedakan antara yang berbentuk mudari’,
“yakadu” dengan yang berbentuk madi, “kada” menegatifkan bentuk mudari’
menunjukkan arti negatif, nemun menegatifkan yang berbentuk madi menunjukkan
arti positif. Yang pertama dapat dilihat dalam ayat “lam yakad yaraha”
mengingat ia tidak melihatnya sedikitpun. Sedang yang kedua didasarkan pada
ayat فذبخوها و ما كادوا
يفعلون . hal ini karena
mereka melakukan penyembelihan tersebut.
·
“Kada” yang dinegatifkan
adalah untuk menunjukkan arti positif jika lafaz yang sesudahnya berhubungan
dan berkaitan dengan lafaz yang sebelumnya. Misalnya perkataan: ما كدت أصل إلى مكة حتى
طفت بالبيت
(hampir aku tidak sampai di makkah sampai aku tawaf di baitul haram). Termasuk
di antaranya adalah al-baqarah :71 di atas.
13. Lafaz ja’ala
“ja’ala” digunakan dalam quran untuk beberapa makna:
·
Dengan makna samma (menamakan), seperti dalam ayat: " الذين جعلوا القرآن عضين" (al-hijr:91) maksudnya mereka menamakan quran sebagai suatu
kedustaan.
·
Dengan makna aujada (menjadikan, mewujudkan) yang
mempunyai satu objek. Perbedaan dengan khalaqa ialah bahwa khalaqa
bermakna menciptakan yang mengandung arti takdir (penentuan) serta tanpa ada
contoh sebelumnya dan tidak didahului oleh materi atau sebab indrawi. Berbeda
dengan ja’ala. Allah berfirman
الحمد لله الذي خلق
السموات والأرض و جعل الظلمات و النور (al-an’am:
1) penggunaan kata ja’ala di sini karena zhulumat dan annur
ada karena adanya benda-benda. Dan tidak ada karena benda-benda tersebut juga.
·
Dengan makna perpindahan dari satu keadaan ke keadaan lain dan
makna tasyir (menjadikan), karenanya ia mempunyai dua maf’ul. Perpindahan itu
ada yang bersifat indrawi, seperti dalam ayat : " الذي جعل لكم الأرض
فراشا" (al-baqarah:22) dan ada juga yang bersifat
‘aqli seperti dalam ayat: "أجعل الآلهة إلها واحدا
" (sad:5)
·
Dengan makna I’tiqad
(keyakinan) seperti pada ayat: " وجعلوا لله شركاء الجنّ ". (al-An’am:100)
·
Dengan makna menetapkan sesuatu atas sesuatu yang lain, baik
benar maupun batil.
14. Lafadz
la’alla dan ‘asa
“la’alla”
dan “asaa” digunakan untuk makna ar-rajaa’ (harapan) tama’ (keinginan) dan
perkataan sesama manusia jika mereka meragukan beberapa hal yang mungkin tetapi
tidak dapat memastikan mana yang terjadi diantaranya. Dan jika dihubungkan
dengan atau digunakan dalam firman Allah, maka dalam hal ini ada beberapa
pendapat:
·
Menunjukkan
sesuatu hal yang sudah dan pasti terjadi, sebab penisbatan segala sesuatu
kepada Allah adalah penisbatan yang mengandung kepastian dan keyakinan.
·
Menunjukkan makna
harapan sebagaimana arti aslinya, tetapi hal ini jika dilihat dari sudut
“mukhtab” (lawan bicara, dalam hal ini manusia).
·
Di banyak
tempat, kedua lafadz tersebut menunjukkan ta’lil (alasan), seperti dalam ayat: عسى
ان يبعثك ربّك مقاما محمودا (mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat
yang terpuji)
·
Dan pada ayat :
فاتّقوا
الله ياولى الألباب لعلّكم تفلحون (maka bertakwalah kepada Allah wahai
orang-orang yang mempunyai akal sehat, agar kamu beruntung).
No comments:
Post a Comment