Sponsor

Ilmu penting

Wednesday, July 10, 2019

SYARAT-SYARAT MUFASSIR DAN KAIDAH-KAIDAH PENAFSIRAN YANG HARUS DIKUASAINYA

A. Pengertian Mufassir dan Syarat Mufassir
           Secara bahasa Mufassir adalah bentuk isim fa’il dari kata Fassara yang artinya menafsirkan atau menjelaskan. Kemudian di ikutkan wazan isim fa’il  menjadi Mufassirun yang artinya orang yang menafsirkan, mengomentari, interpretasi.
Sedangkan menurut istilah, Husain bin Ali bin Husain Al-Harby menjelaskan definisi mufassir secara lebih panjang :
المفسر هو من له أهلية تامة يعرف بها مراد الله تعالى بكلامه المعتبد بتلاوته، قدر الطاقة، و راض نفسه علي مناهج المفسرين، مع معرفته جملا كثيرة من تفسير كتاب الله، و مارس التفسير عمليا بتعليم أو تأليف.
“Mufassir adalah orang yang memiliki kapabilitas sempurnya yang dengannya ia mengetahui maksud Allah ta’ala dalam Al-Qur’an sesuai dengan kemampuannya. Ia melatih dirinya di atas manhaj para mufassir dengan mengetahui banyak pendapat mengenai tafsir kitabullah. Selain itu, ia menerapkan tafsir tersebut baik dengan mengerjakannya atau menuliskannya”.

Adapun pengertian Syarat adalah sesuatu yang harus dikerjakan agar sesuatu yang dikerjakan menjadi sah hukumnya. 
Sedangkan Pengertian syarat mufassir adalah jalur serta rel sahnya seseorang menafsirkan Al-Qur’an. syarat amat sangat urgen bagi siapa pun yang ingin menafsirkan sebuah ayat apalagi menafsirkan Al-Qur’an secara keseluruhan. Setiap disiplin ilmu pengetahuan membutuhkan sebuah syarat sebagai penunjang utama dalam langkah menuju objektif. 
Peran syarat dalam suatu hal sangatlah penting karena al-Qur an merupakan Kitab pedoman umat Islam dengan menyandang kata “suci” tidak boleh sembarang orang menafsirkan jika tidak memenuhi persyaratanya karena dampaknya akan sangat fatal jika terjadi kesalahan mengingat esensi al_qur an adalah sebagai pedoman hidup umat Islam agar selamat didunia dan akhirat.


B. Syarat-syarat Mufassir

Ghanaim dalam (Arif: 2005) mengatakan bahwa seseorang yang ingin menjadi penafsir Al-Qur’an harus memenuhi 4 persyaratan yaitu:

1.      Mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Karena Al-Qur’an saling menafsirkan satu sama lain, dan Hadits Nabi SAW juga banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.
2.      Mengetahui pendapat para Sahabat dan tafsir mereka terhadap Al-Qur’an. Karena mereka adalah orang yang paling mengetahui tentang turunnya Al-Qur’an dan kondisi saat turunnya wahyu itu.
3.      Penafsir harus mempunyai aqidah yang lurus dan memegang teguh Sunnah Rasul SAW, serta ikhlas dalam memancangkan tujuannya sehingga mendapatkan pertolongan Allah swt.
4.      Menguasai I’rab bahasa Arab, sehingga ia tak mengalami kebingunan ketika menghadapi kemungkinan banyaknya bentuk suatu redaksi.

Syeikh Manna al-Qathathan menambah lagi dengan satu syarat  lain yaitu: membersihkan diri dari hawa nafsu, menguasai dasar-dasar ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an, mempunyai pemahaman yang kuat, dan menguasai ilmu bahasa Arab beserta cabang-cabangnya.
Dari segi kreadibilitas moral, Menurut Al-Qaththan (tanpa tahun:323-324) adab-adab yang harus dimiliki oleh seorang mufassir  adalah sebagai berikut :
(1) Berniat baik dan bertujuan benar, sebab amal perbuatan itu bergantung pada niatnya. (2) Berakhlak baik, karena seorang mufassir itu adalah pendidik. (3)Taat dan beramal, karena ilmu lebih dapat diterima melalui orang yang mengamalkannya. (4) Berlaku jujur dan teliti dalam penukilan, sehingga mufassir tidak bicara atau menulis kecuali setelah menyelidiki apa yang diriwayatkannya. (5) Tawadu’ dan lemah lembut, karena kesombongan ilmiah merupakan dinding kokoh yang menghalangi antara seorang alim dengan kemanfaatan ilmunya. (6) Berjiwa mulia, seharusnya seorang alim menjauhkan diri dari hal-hal yang remeh serta tidak mendekati dan meminta-minta kepada penguasa. (7) Vokal dalam menyampaikan kebenaran, karena jihad yang paling utama adalah menyampaikan kalimat yang haq kepada penguasa yang zalim. (8) Berpenampilan baik, yang dapat menjadikan mufassir berwibawa dan terhormat dalam semua penampilannya secara umum, juga dalam cara duduk, berdiri, dan berjalan. (9) Bersikap tenang dan mantap, mufassir hendaknya tidak tergesa-gesa dalam bicara, tetapi hendaknya ia berbicara dengan tenang, mantap dan jelas kata demi kata. (10) Mendahulukan orang yang lebih utama  daripada dirinya, seorang mufassir harus hati-hati  menafsirkan dihadapan orang yang lebih pandai, menghargainya dan belajar darinya. (11) Mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara baik. Seperti memulai dengan menyebut asbabunnuzulnya, arti kosa katanya, menerangkan susunan kalimat, menjelaskan segi balaghoh dan I’rabnya, kemudian menjelaskan makna umum dan menghubungkannya dengan realitas zamannya, kemudian baru mengambil kesimpulan dan hukumnya.

Adapun ilmu-ilmu yang harus diperlukan oleh seorang mufassir yaitu menurut  As-Suyuti dalam (Fudlali: 102) adalah sebagai berikut:
1.      Ilmu bahasa Arab. Dengan ilmu ini akan dapat diketahui syarh (penjelasan) kosa kata-kosa kata dan arti yang dikandungnya berdasarkan makna asalnya.
2.      Ilmu Nahwu,oleh karena arti suatu kata akan berbeda disebabkan perbedaan I’rab (statusnya dalam suatu kalimat).
3.      Ilmu Sharaf. Dengan ilmu ini akan dapat diketahui berbagai bentuk kata.
4.      Mengetahui ilmu Isytiqaq (akar kata), seperti apakah kata “almasih” itu berasal dari kata “almashu’ atau dari kata “assiyahah”.
5.      Ilmu Ma’ani. Dengan ilmu ini akan dapat diketahui kekhususan-kekhususan struktur kalimat. dilihat dari segi makna yang ditujukannya.
6.      Ilmu Bayan. Dengan ilmu ini akan dapat diketahui kekhususan-kekhususan kalimat. dilihat dari segi makna yang ditujukannya
7.      Ilmu Badi’. Dengan ilmu ini akan dapat diketahui segi-segi keindahan kalimat. Tiga ilmu yang terakhir, yakni Ma’any, Bayan, Badi’, termasuk ilmu yang sangat dipersyaratkan bagi seorang mufassir.
8.      Ilmu Qira’ah. Dengan ilmu ini dapat diketahui cara mengucapkan ayat-ayat Al-Qur’an dan makhraj-makhraj huruf.
9.      Ilmu Ushuluddin (ilmu Tauhid). Dengan ilmu ini kita dapat mengetahui ayat-ayat yang menunjukkan kepada sifat-sifat Allah yang jaiz, yang mustahil, dan yang wajib bagi-Nya.
10.  Ilmu Ushul Fiqh. Dengan ilmu ini dapat diketahui bentuk istidlal (menjadikan dalil) bagi hukum-hukum dan cara mengistinbath hukum-hukum.
11.  Ilmu Asbabun Nuzul. Dengan ilmu ini dapat diketahui maksud ayat yang diturunkan.
12.  Ilmu Nasikh dan Mansukh. Dengan ilmu ini dapat diketahui ayat yang telah dimansukh (dihapus hukumnya) dan ayat mana yang menjadi nasikhnya (yang menghapuskannya) agar dapat diketahui ketetapan hukumnya.
13.  Ilmu Fiqih.
14.  Hadits-hadits. Dengan hadits-hadits dapat diketahui yang mujmal, dan yang mubham.
15.  Ilmu Mawhibah, yaitu ilmu yang diberikan Allah kepada orang yang beramal dengan ilmunya. Sebab tidak mungkin seseorang itu mengetahui/memahami wahyu/ayat jika orang itu ahli bid’ah atau suka mengerjakan dosa atau hubudunya.


C. Kaidah-kaidah yang Harus Dikuasai Mufassir

           As-Sabth (1415: 23) berpendapat bahwa “kaidah penafsiran adalah total, masalah disiplin yang digunakan oleh penafsir dalam interpretasinya, yang penggunaannya dimulai, dan berdasarkan kegunaan interpretasi, atau kemungkinan antara kata-kata”.
 Menurut Al-Qaththan (tanpa tahun:185-204) kaidah-kaidah yang harus dikuasai oleh seorang mufassir  adalah sebagai berikut :
1.    Dhamir (Kata Ganti)
Kata ganti dalam bahasa mempunyai peranan yang sangat penting, khususnya untuk meringkaskan suatu pembicaraan tanpa mengurangi makna yang di kandungnya dan sekaligus menghemat serta menghindari kebosanan sebab sebuah dhamir dapat berfungsi menggantikan kedudukan sejumlah kata tanpa merusak makna yang dikandungnya sedikitpun. Contohnya dhamir “  هم “ (mereka) dalam firman Allah
di ujung ayat 35 dari al-Ahzab, misalnya, menempati 20 kata yang disebutkan sebelumnya yaitu: 
انّ المسلمين و المسلمات و المؤمنين و المؤمنات و القنتين و القنتات و الصّدقين و الصّدقات و الصبرين و الصّابرات والخشعين و الخشعات و المتصدّقين والمتصدّقات و الصائمين والصّائمات و الحفظين فروجهم والحفظات والذكرين الله كثيرا والذكرات اعدّ الله لهم مغفرة و اجرا عظيما.    

 Artinya: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah Telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Tampak dengan gamblang kepada kita bahwa dhamir ( هم ) tersebut menggantikan kata  المسلمين  terus sampai   الذكرات  sebanyak 20 buah. Namun yang menjadi permasalahan disini ialah madlul (yang ditunjuk oleh) dhamir tersebut atau sering juga disebut marji’ (tempat kembali) dhamir. Dalam hal ini ada beberapa macam antara lain:
a)      Disebut secara eksplisit sebelumnya seperti contoh di atas. Misalnya seperti
Dhamir pada هم kembali kepada المسلمين
b)      Tidak disebut secara eksplisit melainkan dibayangkan saja dalam redaksi sebelumnya seperti pada ayat 8 al-Maidah:
يايّها الذين امنوا كونوا قوّامين لله شهداء بالقسط و لا يجرمنّكم شنان قوم على الاّ تعدلوا اِعدلوا هو اقرب للتقوى واتقوالله اِنّ الله خبير بما تعملون                                                 
Artinya “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

c)      Disebutkan sesudah dhamir seperti dalam ayat 67 dari surah Thaha:
فأوجس في نفسه خيفة موسى                                                                    
Dhamir “ه “ pada نفسه  menunjuk kepada موسى  yang terletak sesudahnya. Dengan begitu ayat itu dapat diterjemahkan : “Maka Musa merasa takut di dalam hatinya”.
  2. Ta’rif dan Tankir
Ta’rif dan tankir berasal dari akar kata nakirah dan ma’rifah. Nakirah menunjuk kepada jenis dari individu tersebut, sedangkan ma’rifah menunjuk kepada individu secara khusus.
Ø  Nakirah
Penggunaaan isim nakirah ini mempunyai beberapa fungsi diantaranya:
·         Untuk menunjukkan satu, seperti pada Qur’an surah Yasin ayat 20.
contohnya : وجاء رجل من أقصا المدينة يسعى    yang berarti satu orang/seorang laki-laki
·         Untuk menunjukkan jenis, seperti dalam (quran surah al baqarah ayat 96),
Contohnya :  ولتجدنّهم أحرص الناس على حياة
yakni suatu macam kehidupan dengan bekerja keras menuntut tambahan untuk masa depan, sebab keinginan itu bukan terhadap masa lalu atau masa sekarang.
·         Untuk menunjukkan kedua-duanya (satu dan jenis) sekaligus misalnya ayat An-Nur. Contohnya : والله خلق كلّ دابّة من ماّء maksudnya, setiap jenis binatang itu berasal dari satu jenis air dan setiap individu (satu) binatang itu berasal dari satu nuthfah (air mani).
·         Untuk membesarkan dan memuliakan contohnya pada surah (Al-Baqarah : 279) فأذنوا بحرب من الله yaitu perang (harbun) besar.
·         Untuk menunjukkan arti banyak dan melimpah seperti pada surah  (Asy-Syu’ara’: 41). Contohnya : أئنّ لنا لأجرا maksudnya upah yang melimpah.
·         Atau untuk membesarkan dan menunjukkan banyak Contohnya : وإن يكذّبوك فقد كذّبت رسل من قبلك (Fathir : 4). Maksudnya, rasul-rasul yang mulia dan banyak jumlahnya.
·         Untuk meremehkan dan merendahkan, Contohnya : من أيّ شيء خلقه  . Yakni, diciptakan dari sesuatu yang hina, rendah.
·         Untuk menyatakan sedikit, kecil.  Contohnya : وعد الله المؤمنين والمؤمنات جنّات تجري من تحتها الأنهار خالدين فيها و مساكن طيّبة في جنّات عدن، و رضوان من الله أكبر  (At-Taubah : 72). Maksudnya, keridhaan yang sedikit dari Allah itu lebih besar nilainya daripada surga, karena keridhaan itu pangkal segala kebahagiaan.
Ø  Ma’rifah
Dalam pembahasan ini khusus mengenai ma’rifah yang menggunakan alif lam ( ال ), tidak kata-kata yang ma’rifah secara umum karena jika ini yang dikaji maka uraiannya harus mencakup semua bentuk kata-kata ma’rifah seperti dhamir (kata ganti), ‘alam (nama), ism al-isyarat (kata penunjuk), dan lain-lain.
Adapun penggunaan isim ma’rifah, mempunyai beberapa fungsi yang berbeda sesuai dengan jenis dan macamnya yaitu sebagai berikut:
·         Dengan isim ‘alam (nama) berfungsi untuk menghadirkan pemilik nama itu dalam benak pendengar dengan cara menyebutkan namanya yang khas: menghormati, memuliakannya, seperti pada ayat: “محمد رسول الله” (Al-Fath :29). Atau menghinakan, seperti pada ayat : “تبّت يدا أبي لهب و تبّ.” (AL-Lahab : 1). Dengan menggunakan isim Isyarah atau kata tunjuk untuk menjelasakan bahwa yang ditunjuk itu dekat, seperti: “هذا خلق الله فأروني ماذا خلق الذين من دونه” (Lukman : 11) atau menjelaskan keadaanya dengan menggunakan isyarat tunjuk jauh seperti “وأولئك هم المفلحون
·         Pema’rifatan dengan isim mausul atau kata ganti penghubung berfungsi: karena tidak disukainya menyebutkan nama sebenarnya untuk menutupinya atau disebabkan hal lain, seperti “والذي قال لوالديه أفّ لكما” (Al Ahkaf : 17) dan
·          وراودته التي هو في بيتها عن نفسه ” (Yunus : 23).
·         Ma’ripat dengan alif lam (al) berguna : untuk menunjukknan sesuatu yang telah diketahui, kerena telah disebutkan (ma’hud dzikri ) seperti :
 الله نور السموات و الأرض مثل نوره كمشكاة فبها مصباح ، المصباح في زجاجة ، الزجاجة كأنها كوكب درّيُّ(An-Nur : 35).
·         Pengulangan Kata Benda (Isim)
Apabila diamati pengulangan isim yang terjadi dalam Alqur’an, maka ditemukan empat kategori. Pertama pengulangan ma’rifah dengan ma’rifah, kedua mengulang nakirah dengan nakirah, ketiga nakirah diulang dengan ma’rifah, dan keempat sebaliknya ma’rifah diulang dengan nakirah.
1.      Jika kedua-duanya ma’rifah, maka pada umumnya yang isim kedua adalah yang pertama. Contohnya, “اهدنا الصراط المستقيم ، صراط الذين ...........” (Al-Fatihah : 6-7).
2.      Sebaliknya, jika kedua-duanya nakirah, maka yang kedua biasanya bukan yang pertama. Misalnya,
الله الذي خلقكم من ضعف ثمّ جعل من بعد ضعف قوّة ثمّ جعل من بعد قوّة ضعفا و شيبة ” (Ar-Rum : 54). Yang dimaksud “dha’f” (kelemahan) pertama adalah sperma, “dha’f” kedua thuuliyah (masa bayi), sedang “dha’f” yang ketiga adalah syaikhukhah (orang tua atau lanjut usia). Kedua macam ini ada pada ayat, “فإن مع العسر يسرا ، إنّ مع العسر يسرا.” (Al-Insyirah : 5-6). Dalam satu riwayat, Ibnu Abbas mengomentari ayat ini, “Satu ‘usr (kesulitan) tidak akan mengalahkan dua yusr (kemudahan). Karena kata ‘usr yang kedua diulangi dengan “al” ma’rifah, maka “usr itu adalah ‘usr yang pertama. Adapun kata yusr yang kedua bukan yusr yang pertama karena ia diulangi tanpa al.”
3.      Jika yang pertama nakirah dan yang kedua ma’rifah maka yang kedua itu adalah yang pertama, karena sudah diketahui. Misalnya dalam ayat,
 كما أرسلنا إلى فرعون رسولا، فعصى فرعون الرسول” (Al-Muzammil : 15-16).
4.      Jika yang pertama ma’rifah sedang yang kedua nakirah, maka tergantung pada qarinahnya. Terkadang qarinah (indikasi) itu menunjukkan bahwa keduanya itu berbeda, seperti, “ويوم تقوم الساعة يقسم المجرمون ما لبثوا غير ساعة” (Ar-Rum:55). Terkadang qarinah itu menunjukkan bahwa keduanya sama, seperti, “ولقد ضربنا للناس في هذا القرآن من كلّ مثل لعلّهم يتذكّرون ، قرآنا عربيّا.” (Az-Zumar : 27-28).
4. Muqabalah Jamak dengan Jamak atau Mufrad
Muqabalah berasal dari bahsa Arab ( قابل ) artinya “berhadap-hadapan”. Dari itu muqalabah jamak dengan jamak ialah menempatkan kata jamak (plural) setelah kata jamak, karena letak keduanya berdekatan, seakan-akan kedua-duanya berhadap-hadapan. Itulah sebabnya keduanya disebut “muqabalah”. Apabila jamak berdekatan dengan mufrad (kata tunggal) dalam suatu ungkapan, maka disebut “muqabalah jamak dengan mufrad”.
·         Muqabalah jamak dengan jamak
Pemakaian jamak dengan jamak memberikan konotasi umum , artinya setiap individu dalam menghimpun jamak menjadi objek dari jamak itu. Mengimbangi jamak dengan jamak terkadang menuntut bahwa setiap satuan dari jamak yang satu di imbangi dengan satuan jamak yang lain, misalnya dalam surat (Nuh: 7) “واستغشوا ثيابهم”Maksudnya, setiap dari mereka menutupi badannya dengan bajunya masing-masing. Dan seperti “والوادات يرضعن أولادهنّ ” (Al-Baqarah : 233). Maksudnya, masing-masing ibu menyusui anaknya sendiri.
·         Muqabalah jamak dengan mufrad    
Adapun jamak dengan mufrad pada umumnya dimaksudkan untuk keumuman mufrad tersebut, dan kadang-kadang hal itu bisa terjadi. Misalnya,
وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين” (Al-Baqarah : 184). Maksudnya, setiap orang yang tidak sanggup berpuasa wajib memberikan makanan kepada seorang miskin setiap hari.
     5. Lafadzh yang Diduga Sinonim
Lafazh “السيبل” dan ‘الطريق” (jalan). Yang pertama (as-sabil) banyak dipakai pada kebaikan sedang yang kedua (ath-Thariq)  hampir tidak pernah dipakai pada kebaikan kecuali bila disertai sifat atau penjelas yang menunjukkan makna yang dimaksud. Misalnya dalam ayat, “يهدي إلى الحقّ و إلى طريق مستقيم .” (Al-Ahqaf:30). Adapun contoh untuk lafadz (as-sabil) :
 ولا تحسبنّ الذين قتلوا في سبيل الله أمواتا بل أحياء عند ربّهم يرزقون  (Al-Imran: 169). Jadi kata (as-sabil) dalam Al-Qur’an itu banyak yang digandengkan dengan kata الله  .
Menurut Ar-Raghib dalam Mufradat-nya “as-sabil” adalah ath-thariq atau jalan yang di dalamnya terdapat kemudahan. Ia lebih spesifik daraipada “ath-thariq”.
    6. Pertanyaan dan Jawaban
·         Pada dasarnya jawaban itu harus sesuai dengan pertanyaan. Namun ia terkadang menyimpang dari apa yang dikehendaki pertanyaan. Hal ini untuk mengingatkan bahwa jawaban itulah yang seharusnya ditanyakan. Jawaban seperti ini disebut ‘uslub al hakim’. Sebagai contoh firman Allah:" يسألونك عن الأهلّة ، قل هي مواقيت
 للناس و الحجّ"  (al Baqarah: 189). يسألونك عن الأهلّة “mereka bertanya kepadamu (Muhammad” tentang bulan sabit” , قل هي مواقيت “katakanlah, “ itu adalah penunjuk waktu bagi manusia dan (ibadah) haji”.
Mereka menanyakan kepada Rasulullah SAW tentang bulan, mengapa pada mulanya ia tampak kecil seperti benang, kemudian bertambah sedikit demi sedikit hingga purnama, kemudian menyusut lagi terus-menerus sampai kembali seperti semula. Jawaban yang diberikan kepada mereka berupa penjelasan mengenai hikmahnya, untuk mengingatkan mereka bahwa yang lebih penting ditanyakan ialah hal tersebut, bukan apa yang mereka tanyakan itu.
·         Terkadang sebuah jawaban lebih umum dari apa yang ditanyakan, kerana memang hal itu dianggap perlu, misalnya pada surah (al An’am ayat 64) : " قل الله ينجّيكم منها ومن كلّ كرب ثمّ انتم تشركون "  sebagai jawaban bagi pertanyaan surah (al An’am ayat 63) : " قل من ينجّيكم من ظلمات البرّ و البحر". Jadi jawaban tentang siapakah yang bisa menyelamtkan kalian dari bencana di darat dan di laut (khusus), itu adalah hanya Allah SWT yang bisa menyelamatkan dari bencana itu dan segala macam kesusahan (umum).
·         Terkadang pula jawaban lebih sempit dari pertanyaan karena keadaan menghendaki demikian, seperti ayat dalam surah ( Yunus ayat:15): " قل ما يكون لي أن أبدّله من تلقاء نفسى"  sebagai jawaban bagi “ "ائت بقرآن غير هذا أو بدّله. Hal ini mengingatkan bahwa mengganti lebih mudah dari pada menciptakan. Jika mengganti saja tidak mampu tentulah menciptakan lebih tidak mampu lagi.
·         Kata “السؤال” bila dipakai untuk meminta sesuatu pengertian, maka terkadang ber muta’addi kepada maf’ul kedua secara langsung, dan terkadang dengan menggunakan kata bantu ” عن” . misalnya ” ويسألونك عن الروح” (al Baqarah: 85) . ك  (maf’ul pertama) عن الروح   (maf’ul kedua ) dan bila dipergunakan untuk meminta sesuatu benda atau yang serupa ,ia muta’addi kepada maf’ul kedua itu secara langsung atau dengan kata bantu ‘من’ , namun cara pertama lebih banyak berlaku. Misalnya “واسألوا ما أنفقتم” (al Mumtahanah: 10) dan “واسألوا الله من فضله” (an Nisa’ : 32).

    7.  Khithab dengan Isim (kata benda) atau Fiil (kata kerja)
Khithab (cara berkomunikasi) dengan menggunakan kata benda berbeda konotasinya jika menggunakan kata kerja. Hal itu disebabkan oleh perbedaan ialah antara kata benda dan kata kerja tersebut. Di mana kata benda mengandung makna tetap dan terus-menerus tanpa terputus (الثبوت و الاستمرار), sebaliknya kata kerja tidak mengandung makna serupa itu, melainkan menunjuk kepada suatu peristiwa yang terjadi pada waktu tertentu: masa lampau, sekarang, dan akan datang (التجدد و الحدوث). Ungkapan yang mengikuti pola pertama disebut jumlah ismiyyah (kalimat nominal), sementara yang menggunakan kata kerja disebut jumlah fi’iliyah (kalimat verbal). Kedua kalimat ini nominal dan verbal merupakan unsur pokok yang membentuk bahasa ujaran atau tulisan. Masing-masing kalimat ini mempunyai tempat tersendiri yang tidak bisa ditempati oleh yang lain. Misalnya, tentang infaq yang diungkapkan dengan jimlah fi’iliyah, seperti dalam ayat, “الذين ينفقون في السّرّاء والضّرّاء” (Al Imran: 134). Tidak diungkapkan dengan menggunakan kata “al-munfiqun”.
Akan tetapi, dalam masalah keimanan digunakan jumlah ismiyah, seperti dalam, “إنّما المؤمنون الذين آمنوا بالله و رسوله” (Al-Hujurat: 15). Penggunaan seperti itu disebabkan, karena infaq misalnya merupakan suatu perbuatan yang bersifat temporal, terkadang ada dan terkadang tidak ada. Lain halnya dengan keimanan. Ia mempunyai hakekat yang tetap berlangsung selam hal-hal yang menghendakinya masih ada.
     8. Athf
             Athaf terbagi atas tiga macam:
1. Athaf kepada lafaz, dan inilah yang pokok bagi ‘athaf.
2.  Athaf kepada mahall (kedudukan kata). Misalnya dalam kedudukan ayat
إنّ الذين امنوا والذين هادوا والصابئون (al-maidah:67) 
Lafaz “as-sabiuun” di’athafkan kepada mahall inna dan isimnya yang kedudukannya  adalah marfu’ karena permulaan kalimat.
3. Athaf kepada makna. Misalnya dalam ayat " لولا أخّرتني إلى أجل قريب فأصّدّق و أكن"
Para ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya meng’athafkan khabar (kalimat berita) kepada insya (bukan kalimat berita). Sebagian besar tidak membolehkan dan sebagian membolehkannya, dengan mengambil contoh ayat  "وبشّر المؤمنون" yang ber’athaf pada " تؤمنون " terdapat dalam ayat
 يا أيها الين  أمنوا هل أدلكم على تجارة تنجيكم من عذاب أليم. تؤمنون باالله ورسوله
(as-saaff (10-11(
Golongan yang tidak membolehkan mengatakan mengatakan lafaz “ تؤمنون” sama maknanya dengan “أمنوا”. Dengan demikian,  ia adalah kalimat yang bermakna insya’. Maka sah-lah meng’athafkan kalimat insya’, “وبشّر” kepadanya, seakan-akan dikatakan
امنوا وجاهدوا يثبتكم الله وينصركم. و بشر يا رسول الله المؤمنين بذالك.
Faedah penggunaan kalimat kabar di tempat kalimat perintah ( amr, insya’) ini untuk memberi pengertian tentang kewajiban mentaati perintah itu, seakan-akan kalimat tersebut berbentuk perintah, yakni “taatilah”. Karena itu ia memberitahukan tentang keimanan dan jihad yang sudah ada.
              9.   Perbedaan antara al-ita’ dengan al-I’tha’ ( الإيتاء و الإعطاء)
Terdapat perbedaan antara “al-ita’” dengan “al-I’tha’” di dalam al-quran. Al-juwaini menjelaskan lafaz “al-ita’” lebih kuat dari “al-i’tha’” dalam menetapkan maf’ulnya, karena “al-I’tha’” mempunyai pola kata mutawa’alah. Dikatakan أعطاني فعطوت  ( ia memberikan [sesuatu] kepadaku maka aku pun menerimanya). Sedang tentang “al-ita’” tidak dapat dikatakan آتاني فأتيت (ia memberikan [sesuatu] kepadaku maka akupun memberikannya). Tetapi hendaklah dikatakan:   آتاني فأخذت (ia memberikan [sesuatu] kepadaku maka akupun menerimanya)
        10. Lafadz fa’ala
            Lafadz “فعل” digunakan untuk menunjukkan beberapa jenis perbuatan, bukan satu perbuatan saja. Pemakaian lafadz ini untuk meringkas kalimat. Misalnya: "لبئس ما كنوا يفعلون"  (al-Maidah: 79). Arti lafadz "يفعلون"  dalam ayat ini mencakup segala kemungkaran yang mereka lakukan. Apabila lafadz "فعل"  digunakan dalam firman Allah, maka ia menunjukkan “ancaman keras”, misalnya: "وتبيّن لكم كيف فعلنا بهم" (Ibrahim: 45)
        11. Lafadz Kana
Seringkali lafaz kana dalam Qur’an digunakan berkenaan dengan dzat Allah dan sifat-sifatNya. Para ahli nahwu dan yang lain berbeda pendapat tentang lafaz tersebut, apakah ia menunjukkan arti inqita’ (terputus) sebagai berikut:
·         “kana” menunjukkan arti “inqita’” sebab ia adalah fi’il atau kata kerja yang memberika arti tajaddud, temporal.
·         “kana” tidak menunjukkan arti inqita’ melainkan arti dawam (kekal, abadi). Ini pendapat yang dipilih Ibn Mu’ti yang mengatakan dalam al fiyahnya : “wakana lil madhil ladzi man qatha’a
( “kana” menunjukkan peristiwa masa lampau yang tidak terputus)
Mengenai firman Allah : " وكان الشيطان لربّه كفورا " (al Isra’: 270 ar Ragib menyatakan, lafadz “kana” disni menunjukkan bahwa setan sejak diciptakan senantiasa tetap berada dalam kekafiran.
·         ‘kana” adalah suatu kata yang menunjukkan adanya sesuatu pada masa lampau secara samar-samar, yang didalamnya tidak ada petunjuk mengenai ketiadaan yang mendahuluinya atau keterputusannya yang datang kemudian. Contohnya:" وكان الله غفورا رحيما " (al Ahzab: 50). Pendapat ini dikemukakan oleh az Zamakhsyari ketika menafsirkan firmanNya : ‘ كنتم خير أمّة أخرجت للنّاس” (Al-Imran: 110).
Abu Bakar ar Razi telah mengkaji dengan seksama penggunaan ‘kana’ dalam qur’an yang menyimpulkan makna-makna yang terkandung dalam penggunaannya itu. Ia menjelaskan didalam Qur’an terdapat lima macam ‘kana’
a.       Makna azali dan abadi, misalnya firman Allah " وكان الله عليما حكيما"  (an Nisa’; 170)                                                                
b.      Makna terputus (terhenti) misalnya firman Allah " و كان في المدينة تسعة رهط" (an Naml: 48). Inilah makna yang asli diantara makna-makna ‘kana’ , hal itu sebagaimana perkataan “kana zaidun shalihan aw faqiran aw maridhan aw nahwahu” ( adalah si Zaid itu seorang saleh, seorang fakir, seorang yang sakit, atau lainnya).  
c.       Makna masa sekarang, seperti dalam ayat : " كنتم خير أمّة " (Ali Imran: 110) dan " إنّ الصلاة كانت على المؤمنين كتابا موقوتا "  (an Nisa’: 103)
d.      Makna masa akan datang, seperti dalam ayat : " و يخافون يوما كان شرّه مستطيرا" (ad Dhar: 7)
e.       Makna sara (menjadi), seperti dalam ayat: " و كان من الكافرين " (al Baqarah: 34).
·         ‘kana ‘ jika terdapat dalam kalimat negatif, maka maksudnya adalah untuk membantah atau menafikkan kebenaran berita, bukan menafikkan terjadinya berita itu sendiri. Oleh karenanya ia ditafsirkan dengan “ما صحّ و ما استقام (tidak sah dan tidak benar) seperti dalam ayat: " ما كان لنبيّ أن يكون له أسرى حتّى يثخن في الأرض "
12. Lafadz Kada
                  Para ulama mempunyai beberapa pendapat tentang lafadz ‘kada’ :
·         “Kada” sama dengan fi’il lainnya baik dalam hal nafi’ (negatif, meniadakan) maupun dalam hal isbat (positif , menetapkan). Positifnya ialah positif dan negatifnya ialah negatif, sebab maknanya ialah muqarabah (hampir, nyaris). Jadi makna kalimat ‘kada yaf’alu’ adalah qarabal fi’la ( ia menghampiri pekerjaan itu, hampir mengerjakan) dan makna kalimat ” ma kada yaf ‘alu” adalah “lam yuqa ribhu” ( ia tidak menghampiri pekerjaan itu, hampir tidak mengerjakannya). Predikat (khabar) “kada” selalu negatif, tetapi dalam kalimat positif kenegatifannya itu dipahami dari makna “kada” itu sendiri. Sebab berita tentang “hampirnya sesuatu” menurut kebiasannya, berarti sesuatu tersebut tidak terjadi. Jika tidak demiakian tentu tidak akan diberitakan “kehampirannya”. Apa bila “kada” itu dinegatifkan maka ketidak hampiran berbuat menghendaki, secara akal, bahwa perbuatan itu tidak terjadi. Hal sebagaimana ditunjukkan oleh ayat "إذا أخرج يده لم يكد يراها "  (An Nur: 40). Karena itu ayat ini lebih intens dari kalimat “لم يراها” (ia tidak melihatnya), sebab orang yang tidak melihat mungkin ia telah hampir melihatnya.
·          “Kada” berbeda dengan fi’il-fi’il lainnya baik dalam hal positif maupun negatif. Positifnya adalah negatif, dan negatifnya adalah positif. Atas dasar ini mereka berkata “kada” jika dipositifkan maka sebenarnya menunjukkan negatif, dan jika dinegatifkan maka sebenarnya menunjukkan positif. Jika dikatakan ” كاد يفعل” maka artinya ‘ia tidak melakukan’ berdasarkan firman Allah:  " و إن كادوا ليفتنونك " (dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu al Isra : 73, sebab pada kenyataannya mereka tidak memalingkan Muhammad. Dan jika dikatakan “لم يكاد يفعل” maka artinya “ia melakukan”, berdasarkan ayat : ‘فذبخوها و ما كادوا يفعلون"(kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melakukannya. Al Baqarah : 71)
·         “Kada” yang dinegatifkan kadang menunjukkan terjadinya sesuatu dengan susah payah dan sulit, seperti yang ada pada surah Al Baqarah diatas.
·         “kada”  dibedakan antara yang berbentuk mudari’, “yakadu” dengan yang berbentuk madi, “kada” menegatifkan bentuk mudari’ menunjukkan arti negatif, nemun menegatifkan yang berbentuk madi menunjukkan arti positif. Yang pertama dapat dilihat dalam ayat “lam yakad yaraha” mengingat ia tidak melihatnya sedikitpun. Sedang yang kedua didasarkan pada ayat فذبخوها و ما كادوا يفعلون . hal ini karena mereka melakukan penyembelihan tersebut.
·         “Kada”  yang dinegatifkan adalah untuk menunjukkan arti positif jika lafaz yang sesudahnya berhubungan dan berkaitan dengan lafaz yang sebelumnya. Misalnya perkataan:   ما كدت أصل إلى مكة حتى طفت بالبيت (hampir aku tidak sampai di makkah sampai aku tawaf di baitul haram). Termasuk di antaranya adalah al-baqarah :71 di atas.
13. Lafaz ja’ala
“ja’ala” digunakan dalam quran untuk beberapa makna:
·         Dengan makna samma (menamakan), seperti dalam ayat: " الذين جعلوا القرآن عضين" (al-hijr:91) maksudnya mereka menamakan quran sebagai suatu kedustaan.
·         Dengan makna aujada (menjadikan, mewujudkan) yang mempunyai satu objek. Perbedaan dengan khalaqa ialah bahwa khalaqa bermakna menciptakan yang mengandung arti takdir (penentuan) serta tanpa ada contoh sebelumnya dan tidak didahului oleh materi atau sebab indrawi. Berbeda dengan ja’ala. Allah berfirman                                 
الحمد لله الذي خلق السموات والأرض و جعل الظلمات و النور  (al-an’am: 1) penggunaan kata ja’ala di sini karena zhulumat dan annur ada karena adanya benda-benda. Dan tidak ada karena benda-benda tersebut juga.
·         Dengan makna perpindahan dari satu keadaan ke keadaan lain dan makna tasyir (menjadikan), karenanya ia mempunyai dua maf’ul. Perpindahan itu ada yang bersifat indrawi, seperti dalam ayat : " الذي جعل لكم الأرض فراشا" (al-baqarah:22) dan ada juga yang bersifat ‘aqli seperti dalam ayat: "أجعل الآلهة إلها واحدا " (sad:5)
·          Dengan makna I’tiqad (keyakinan) seperti pada ayat: " وجعلوا لله شركاء الجنّ ". (al-An’am:100)
·         Dengan makna menetapkan sesuatu atas sesuatu yang lain, baik benar maupun batil.
14. Lafadz la’alla dan ‘asa
“la’alla” dan “asaa” digunakan untuk makna ar-rajaa’ (harapan) tama’ (keinginan) dan perkataan sesama manusia jika mereka meragukan beberapa hal yang mungkin tetapi tidak dapat memastikan mana yang terjadi diantaranya. Dan jika dihubungkan dengan atau digunakan dalam firman Allah, maka dalam hal ini ada beberapa pendapat:
·         Menunjukkan sesuatu hal yang sudah dan pasti terjadi, sebab penisbatan segala sesuatu kepada Allah adalah penisbatan yang mengandung kepastian dan keyakinan.
·         Menunjukkan makna harapan sebagaimana arti aslinya, tetapi hal ini jika dilihat dari sudut “mukhtab” (lawan bicara, dalam hal ini manusia).
·         Di banyak tempat, kedua lafadz tersebut menunjukkan ta’lil (alasan), seperti dalam ayat: عسى ان يبعثك ربّك مقاما محمودا   (mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji)
·         Dan pada ayat : فاتّقوا الله ياولى الألباب لعلّكم تفلحون  (maka bertakwalah kepada Allah wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat, agar kamu beruntung).

No comments:

Post a Comment