Sponsor

Ilmu penting

Sunday, July 14, 2019

corak penafsiran ra'yi dan ma'tsur


BAB 1
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
AlQuran adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ilmu pengetahuan, kisah-kisah, sejarah, peraturan-peraturan yang mengatur seluruh kehidupan manusia seluruhnya. Apabila peraturan tersebut diterapkan dalam kehidupan maka berbahagialah hidup di dunia dan di akhirat.
Al-Quran dalam menerangkan hal-hal tersebut ada yang dikemukakan secara terperinci, seperti hubungan dengan hukum perkawinan, hukum waris dan sebagainya. Adapula yang dijelaskan secara garis besar saja, dari yang diterangkan secara garis besar akan dijelaskan oleh hadits-hadits Nabi Muhammad SAW, dan ada yang diserahkan pada kaum muslimin sendiri yang disebut ijtihad.
Zaman Nabi Muhammad ketika beliau masih hidup, para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas langsung kepada beliau, maka setelah beliau wafat mereka para sahabat  melakukan ijtihad. Pada konteks seperti inilah tafsir atas ayat-ayat Al-Quran diperlukan.
Dalam ulumul Quran atau dalam ilmu-ilmu Al-Quran ditemukan beberapa terminology penafsiran yang sering digunakan yaitu tafsir Bi al-Ma’tsur dan tafsir Bi al-Ra’yi. Yang dalam makalah ini akan dibahas lebih mendetail mulai dari sejarah perkembangannya, sumber-sumber penafsirannya, mufassir-mufassir.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimanakah sejarah perkembangan tafsir Bi al-Ma’tsur dan tafsir Bi al-Ra’yi?
2.      Apa pengertian tafsir Bi al-Ma’tsur dan tafsir Bi al-Ra’yi?
3.      Bagaimanakah metode tafsir Bi al-Ma’tsur dan tafsir bi al-Ra’yi?
4.      Apa sajakah kelebihan dan kekurangan tafsir Bi al-Ma’tsur dan tafsir Bi al-Ra’yi?
5.      Apa sajakah perbedaan tafsir Bi al-Ma’tsur dan tafsir Bi al-Ra’yi?

C.    TUJUAN PENULISAN
1.      Mengetahui bagaimana sejarah perkembangan tafsir Bi al-Ma’tsur dan tafsir Bi al-Ra’yi
2.      Mengetahui pengertian tafsir Bi al-Ma’tsur dan tafsir Bi al-Ra’yi
3.      Mengetahui bagaimana metode tafsir Bi al-Ma’tsur dan tafsir Bi al-Ra’yi
4.      Mengetahui kelebihan dan kekurangan tafsir Bi al-Ma’tsur dan tafsir Bi al-Ra’yi
5.      Mengetahui apa perbedaan tafsir Bi al-Ma’tsur dan tafsir Bi al-Ra’yi



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Perkembangan Tafsir Bi al-Ma’tsur dan Bi al-Ra’yi
Sejarah munculnya Tafsir Bi al-Ma’tsur telah ada sejak zaman sahabat. Pada zaman ini tafsir bi al-ma’tsur dilakukan dengan cara menukil penafsiran dari Rasulullah SAW, atau dari sahabatoleh sahabat, serta dari sahabat oleh tabi’in dengan tata cara yg jelas perwayatannya, cara seperti ini biasanya dilakukan secara lisan. Setelah itu ada periode dimana penukilannya menggunakan penukilan pada zaman sahabat yang telah dibukukan dan dikodifikasikan, pada awalnya kodifikasi ini dimasukkan dalam kitab- kitab hadits, namun setelah tafsir menjadi disiplin ilmu tersendiri, maka ditulis dan terbitlah buku – buku yang memuat khusus tafsir bil ma’tsur lengkap dengan jalur sanad kepada nabi muhammad Saw, para sahabat, tabi’in al tabi’in.
Semua kitab tafsir ini biasanya memuat hanya tentang tafsir bil ma’tsur kecuali kitab yang dikarang Ibn Jarir yang menyertakan pendapat dan menganalisannya serta mengambil istinbath yang mungkin ditarik dari ayat al-qur’an. Pada perkembangan selanjutnya, ada banyak tokoh yang mengkodifikasikan tafsir bil ma’tsur tanpa mengemukakan periwayatan sanadnya dan hanya mengemukakan pendapat – pendapatnya sendiri serta tidak membedakan periwayatn yang shahih atau tidak. Karena adanya kecurigaan pemalsuan, muncullah studi – studi kritis yang berhasil menemukan dan menyingkap sebagian riwayat palsu sehingga para mufasir dapat berhati –hati.
Namun perlu kita diingat juga bahwa dalam perkembangan tafsir bil ma’tsur sendiri, tidak bisa terlepas dari unsur ra’yi. Walaupun pada masa ini belum begitu dikenal adanya tafsir bil ra’yi tetapi mereka dalam melakukan penafsiran bil ma’tsur tidak bisa lepas dari unsur ra’yi secara tidak langsung. Begitupun dalam penafsran bil ra’yi mereka tidak bisa lepas dari tafsir bil ma’tsur.
Sedangkan sejarah munculnya Tafsir Bi al-Ra’yi menurut (Mawardi, 2011:157) Tafsir bi al-Ra’yi muncul sejak abad ke-5 karena munculnya kebutuhan dan tuntunan zaman. Ada juga yang mengatakan munculnya Tafsir Bi al-Ra’yi setelah berakhirnya masa salaf sekitar abad 3H dan peradaban islam semakin maju dan berkembang, sehingga berkembanglah berbagai madzhab dan aliran dikalangan umat islam. Masing-masing golongan berusaha meyakinkan umat islam dalam rangka mengembangkan paham mereka. Didukung dengan banyaknya para ahli tafsir yang telah menguasai berbagai disiplin ilmu, maka pada proses penafsiran mereka cenderung memasukkan hasil pemikiran serta pembahasan tersendiri yang berbeda dengan penafsir lain. Contohnya ada yang cenderung pada ilmu balagh (imam al Zamakhsyari) , pembahasan aspek hukum syariah (imam al-Qurtuby) karena individulisme seperti inilah banyak penafsir yang sampai mengesampingkan tafsir yang sesungguhnya karena sibuk memasukkan ide nya masing- masing.

B.     Pengertian
1.      Tafsir Bi al-Ma’tsur
Al-Ma’sur  menurut bahasa adalah  isim maf‘ul dari kata أثرت الحديث أثراً من باب نقل نقلته ، , yang bermakna sisa/bekas dari sesuatu, sebagaimana dalam firman Allah Swt dalam surah yasin ayat 12 :  (ونكتب ما قدموا وآثارهم) kata al-Ma’sur  juga berarti al-Manqul. Oleh karena itu maka tafsir bi al-Ma’sur  adalah tafsir yang bersumber dari allah Swt yang terdapat di dalam al-Qur’an, Nabi Muhammad Saw, sahabat dan tabi’in. al-Ma’sur  dalam makna lugah juga dipakai atas perkataan yang diberitakan dari orang lain.
Menurut Al-Qatthan (1973:347) tafsir bi al-Ma’tsur yaitu tafsir yang bertumpu pada dalil “naqli” yang shahih dengan tingkatan-tingkatan yang telah disebutkan sebelumnya pada syarat-syarat mufassir, seperti tafsir Al-Quran dengan Al-Quran, Tafsir Al-Quran dengan As-Sunnah, tafsir Al-Quran dengan perkataan sahabat, tafsir Al-Quran dengan perkataan tabi’in.
Fuad Effendy juga mengungkapkan dalam bukunya “sudahkah kita mengenal Al-Quran” (2013;161) Tafsir bi al-Ma’tsur sama dengan tafsir bir-Riwayah yaitu menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, As-Sunnah, dan perkataan Nabi sebagai rujukan dalam menerangkan makna atau maksud dari suatu ayat.
a.                   Penafsiran Al-Quran oleh Al-Quran itu misalnya dalam bentuk: mengkhususkan yang umum, merinci yang global, memberikan definisi, menjelaskan indikator-indikator, dan sebagainya. Contohnya dalam Al-Quran surat Al-Baqarah:2

الذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ في السَرَّآءِ و الضَرَّآءِ و الكَظِمِيْنَ الغَيْظَ و العافينَ عن الناس، و اللهُ يحب المُحسنين (البقرة:134)
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menafakahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”
وسارِعوا إلى مغفرةٍ من رّبكم و جنة عرْضُها السموات و الأرض أعدت للمتتقين (البقرة:133)
Artinya : “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa”
 


















 Yang dimaksud (المتتقين) pada ayat 123 dijelaskan pada ayat berikutnya (134) dalam satu surat yang sama. Bahwa Al-Muttaqin ialah orang-oarang yang beriman kepada yang ghaib, mendirikan sholat, menafkahkan sebagian pemberian Allah, beriman kepada Al-Quran dan kitab=kitab Allah sebelumnya, dan meyakini adanya akhirat.
Penafsiran Al-Quran dengan Al-Quran adalah yang yang pasti benar dan dapat dipertanggungjawabkan karena Allah AWT sendirilah yang yang paling mengetahui apa yang menjadi maksud dan firman-Nya. Namun tidak setiap ayat pasti ada penjelasannya pada ayat yang lain. Sebagian dari ayat-ayat itu dijelaskan oleh Rasulullah SAW.
b.      Penafsiran Al-Quran dengan As-Sunnah
Tafsir Al-Quran dengan As-Sunnah ini memperoleh pembenaran dari firman Allah “Kami turunkan kepadamu Al-Quran agar kamu terangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka” (Q.S.16.44).
Penafsiran As-Sunnah terhadap Al-Quran antara lain dalam bentuk memberikan rincian ayat yang masih glonal, mengkhususkan yang umum, menjelaskan ayat yang maknanya pelik, menegaskan maksud ayat yang diperselisihkan para sahabat dan sebagainya. Sebagai contoh (1) ayat berisi perintah sholat dan zakat yang sifatnya masih global, kemudian As-Sunnah menjelaskan tata cara sholat dan jenis zakat serta besar zakat. (2) penjelasan Rasulullah SAW terhadap firman Allah “Peliharalah segala shalatmu dan peliharalah shalat wustho” (Q.S.2:238). sholat wustho dalam ayat ini menurut penjelasan Rasulullah adalah ashar. Maka tidak diragukan lagi bahwa penafsiran Al-Quran dengan hadits -sepanjang hadis itu sahih dan mutawatir memiliki kedudukan dan tingkat kesahihan yang tinggi. Namun tidak semua ayat diberi penafsiran atau penjelasan oleh Rasulullah, karena sebagian sudah cukup jelas, sebagian telah dijelaskan oleh Al-Quran dan sebagiannya lagi dibiarkan terbuka untuk medan tadabbur dan ijtihad bagi umat islam.
c.       Penafsiran Al-Quran Oleh Para Sahabat Nabi
Penafsiran ini juga patut dijadikan pegangan, karena mereka hidup bersama Nabi, menyerap langsung pengetahuan dari Rasulullah, menyaksikan turunnya wahyu, dan mengetahui konteks atau latar belakang turunnya ayat, didukung pula oleh kebersihan jiwa dan kemampuan berbahasayang tinggi. Namun kekuatannya tetap berada dibawah hadits-hadits Rasulullah SAW.
Salah satu sahabat Nabi yang terkemuka sebagai mufassir adalah Ibnu Abbas. Salah satu penafsirannya mengenai ayat 59 surat Maryam:
فخلف من بعدهم خلف أضاعوا الصلوة  و اتبضعوا الشهوات فسوف يلقون غيا (مريم:59)
Artinya : “ Maka datanglah sesudah mereka pengganti yang menyia-nyiakan shalat dan memeperturutkan hawa nafsunya. Maka mereka kelak akan menemui kesesatan”(Maryam:59)
 









Kata kesesatan adalah terjemahan ghayyan yang maknanya memang kesesatan. Akan tetapi beliau menafsirkan dengan khusranan yang artinya kerugian. Beliau memaknai ghayyan dengan lompatan dari sebab ke akibat “at-ta’bir ‘an asy-syai bi sababih” Kesesatan adalah sebab, sedangkan kerugian adalah akibatnya.
Namun pengutipan dari para sahabat menuntut kehati-hatian dan ketelitian, karena apa yang disebutkan dengan “penafsiran para sahabat” ini memiliki kelemahan dari beberapa segi. (1) bercampurnya yang shahih dengan yang dhoif. Banyak pendapat yang dinisbatkan kepada para sahabat tanpa didukung sanad yang kuat. (2) banyaknya cerita israiliyat yang penuh dengan khurafat yang bertentangan dengan aqidah islamiyah. (3) adanya aliran-aliran yang ekstrim yang sengaja melansir pendapat-pendapat yang dinisbatkan kepada para sahabat untuk memperkuat faham aliran mereka. (4) adanya kaum zindiq yang anti islam sengaja menghancurkan islam dari dalam melalui pembuatan hadis-hadis palsu dan aqwal sahabat yang palsu pula.
Az-Zarqani dalam kitab Manahilul irfan membagi tafsir bi al-Ma’tsur kedalam 2 kategori. (1) yang memiliki cukup bukti atau dalil untuk kesahihannya dan keberterimaannya ini harus diterima dan tidak boleh ditolak. (2) yang tidak sahih karena alasan-alasan diatas atau alasan lainnya ini harus ditolak sebagai rujukan.

2.      Tafsir Bi al-Ra’yi
Fuad Effendy (2013:164) menjelaskan tafsir bid-Dirayah atau bir-Ra’yi adalah tafsir yang bertumpu pada ijtihad mufasir bukan pada pendapat para sahabat dan tabi’in.  Yang menjadi patokan adalah pemakaian bahasa arab dalam arti luas, termasuk gaya bahasa atau stylistik, semantik dan pragmatiknya serta ilmu-ilmu lain yang menjadi prasyarat bagi ilmu tafsir. Penafsiran yang bertumpu pada ijtihad ini berhadapan dengan sabda Rasul “ barangsiapa menafsirkan Al-Quran berdasarkan pendapat pribadinya maka bersiap-siaplah ia untuk menghuni neraka”. Akan tetapi Al-Qurtubi memaknai hadits Rasulullah tersebut adalah “Barang siapa menyatakan suatu pendapat mengenai makna ayat Al-Quran, padahal dia tahu bahwa yang benar adalah pendapat orang lain, maka bersiap-siaplah ia untuk menghuni neraka”.
Sedangkan menurut (Ali As-Shobuni:2003:155) dalam kitabnya At-Tibyan Fi Ulum Al-Quran, tafsir bi al-Ra’yi adalah cara penafsiran Al-Quran dengan jalan ijtihadi yang didasarkan pada dasar-dasar yang shahih, kaidah-kaidah yang yang murni dan tepat bisa diikuti dan sewajarnya diambil oleh orang yang hendak mendalami tafsir Al-Quran atau mendalami pengertiannya. Penafsiran Al-Quran dengan jalan ijtihadi ini tidak semata-mata berdasarkan kata hati atau kehendaknya sendiri, lebih-lehib penafsirannya dipengaruhi oleh hawa nafsu. Dengan demikian tafsir bi al-Ra’yi bertitik tolak pada pendapat atau ijtihad, tidak berdasarkan Al-Quran, hadist Nabi, atsar para sahabat dan riwayat para tabiin. Bahkan tafsir bi al-Ra’yi banyak bertumpu pada bahasa Arab dari semua seginya.
Ada 2 pendapat dari para ulama mengenai keabsahan Tafsir bi Al-Ra’yi ini, ada yang menilaknya dan ada yang menerimanya, tentu dengan segala persyaratannya yang harus dipenuhi. Dalam buku “Sudahkah kita mengenal Al-Quran?” karangan Fuad Effendy (2013:165) menjelaskan alasan sebagian ulama menolak Tafsir bi al-Ra’yi ini (1) Tidak seorangpun mengetahui kehendak Allah. Maka menafsirkan makna ayat berdasarkan pendapat pribadi adalah terlarang. (2) Hanya Rasulullah yang diberi wewenang menjelaskan Al-Quran (Q.S.16:44). (3) penegasan Rasulullah dalam hadits di muka tidak bisa ditawar-tawar dan tidak perlu ditafsir-tafsirkan lagi. (4) Kehati-hatian para sahabat dan Tabi’in untuk mengemukakan pendapat pribadi mengenai tafsir Al-Quran, sampai-sampai Abu Bakar berkata “Langit mana yang akan melindungiku, bumi mana yang akan menampungku, kalau aku sampai berkata tentang Al-Quran dengan pendapatku, atau mengatakan sesuatu tentang Al-Quran yang tidak aku tahu.
Sedangkan ulama yang menerima, alasannya sebagai berikut, (1) Allah menyuruh kita untuk merenung  dan berfikir. Firman Allah “Apakah mereka tidak memikirkan (tadabbur) Al-Quran ataukah hati mereka terkunci ?” (Q.S 47:24) (2) Manusia ada yang awam dan yang alim, Allah memerintahkan yang awam untuk bertanya pada yang alim yang mana diberi tugas dan “kewenangan” untuk menafsirkan Al-Quran. (3) seandainya tafsir dengan ijtihad tidak diperbolehkan maka ijtihad secara umum pun dilarang padahal ijtihad itu dilakukan untuk menemukan sebuah kebenaran. (4) sahabat semasa Rasullah pun melakukan ijtihad dan diantara mereka pun terjadi perbedaan pendapat dalam memahami beberapa ayat Al-Quran.
Meskipun jumhur Ulama memperbolehkan tafsir bi al-Ra’yi, namun mereka menetapkan prasyarat yang ketat, antara lain penguasaan ilmu-ilmu prasyarat  yang meliputi bahasa Arab dan tata bahasanya, ilmu balaghah, ushul fikh, asbabun nuzul, nasikh-mansukh dan ilmu qiraat. Dalam bukunya Fuad Efffendy (2013:166) As-Suyuti menukil dari Az-Zarkasyi 4 persyaratan diperbolehkannya tafsir bi al-Ra’yi, yaitu (1) tetap merujuk pada hadits-hadits shahih. (2) memperhatikan pendapat para sahabat Nabi. (3) mengutamakan pengambilan makna bahasa yang lazim dalam bahasa Arab, dan (4) mengambil makna yang sesuai dengan ketentuan dasar syariat islam.
Perlu dijelaskan, meskipun mufassir dalam hal ini menggunakan pemikiran, namun ia tidaklah bebas mutlak. Mufassir harus bertolak dari pemahamannya terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Akan tetapi pemahaman tersebut tidak cukup untuk menjamin penafsiran cara ini. Karena itu, dalam menggunakan corak tafsir ini diberlakukan syarat-syarat mufassir dan kaedah-kaedah penafsiran yang ketat. Ada 15 ilmu yang harus dikuasai oleh seseorang jika ingin menafsirkan Al-Quran berdasarkan Ra’yi (Ali As-Shobuni:2003:159) antara lain:
1.      Memiliki pengetahuan bahasa Arab dan segala seluk beluknya.
2.      Menguasai ilmu-ilmu al-Qur’an.
3.      Menguasai ilmu- ilmu yang berhubungan dengan ilmu-ilmu al-Qur’an, seperti hadis, Ushul fiqh dan lain sebagainya.
4.      Beraqidah yang benar.
5.      Mengetahui prinsip-prinsip pokok agama Islam.
6.      Menguasai ilmu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat yang ditafsirkan.
Yang dimaksud ar-ra’yi di sini adalah “ijtihad” yang berdasarkan pada prinsip-prinsip yang benar, dan kaidah-kaidah yang benar yang umum berlaku, yang wajib dimiliki oleh siapa saja yang mau terjun langsung kedalam dunia penefsiran Al-Qur’an, atau siapa saja yang mau menyingkap keterangan artinya. Dan maksudnya dalam hal ini bukan bukan hanya semata-mata ijtihad, atau karna hobbi, atau hanya cukup dengan apa yang terdidik di benaknya, atau semaunya sendiri.
Dalam tafsir bi al-Ra’yi terbagi menjadi 2 dilihat dari baik tidaknya, diterima atau tidaknya tafsir bi al-Ra’yi tersebut (Ali As-Shobuni:2003:157) yaitu:
1.      Tafsir bi al-ra’yi yang terpuji (mahmud) yaitu tafsir yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a.       Sesuai dengan tujuan al-Syari’ (Allah SWT)
b.      Jauh atau terhindar dari kesesatan
c.       Dibangun atas dasar kaidah-kaidah kebahasaan (bahasa Arab)  yang tepat dengan mempraktekkan gaya bahasa (uslubnya ) dalam memahami nash-nash Al-Quran.
d.      Tidak mengabaikan ( memperhatikan) kaidah-kaidah penafsiran yang sangat penting seperti memperhatikan asbabun nuzul, ilmu munasabah dan lain-lain saran yang dibutuhkan oleh mufassir.
Tafsir bi al-ra’yi seperti inilah yang tergolong tafsir yang baik lagi terpuji dna layak digunakan. Karenanya maka tafsir mahmud juga sering dijuluki dengan al-Tafsir al-Masyru’ (tafsir yang disyari’atkan.
2.      Adapun tafsir bi al-ra’yi yang tercela (madzmum) yaitu tafsir bi al-ra’yi yang ciri-ciri penafsirannya sebagai berikut :
a.       Mufassirnya tidak mempunyai keilmuan yang memadai (bodoh).
b.      Tidak didasarkan pada kaidah-kaidah keilmuan
c.       Menafsirkan Alquran dengan semata-mata mengandalkan kecenderungan hawa nafsu.
d.      Mengabaikan aturan-aturan bahasa Arab dan aturan syari’ah yang menyebabkan penafsirannya menjadi rusak, sesat dan menyesatkan.
Itulah sebabnya mengapa tafsir seperti ini disebut pula dengan al-tafsir al-bathil. Bahkan tidak jarang digabung menjadi tafsir madzmum yang bathil. Contohnya: (يوم تدعو كل أناس بإمامهم) mereka menafsiri bahwa Allah memanggil manusia pada hari kiamat dengan nama-nama ibu mereka. Mereka mengira bahwa الإمام  adalah jamak dari أم   padahal dalam firman Allah jamak dari أم dalam firmannya (و أمهاتكم الآتي أرضعنكم) maka dari itu jamak dari الإمام adalah أم maka salah secara bahasa dan syara’. Dan tafsir dari الإمام ialah النبي yang diikuti oleh umatnya.

C.      Kaidah-kaidah Tafsir Bi al-Ma’tsur
Sebelum tafsir bi al-ma’tsur menemukan konsep istidlal, penafsirannya bertumpu pada riwayat. Ini berarti kaidah pertama yang harus dipegang adalah bahwa untuk memperoleh penafsiran yang benar, maka riwayat yang dinukilkan harus benar. Dalam buku Ulumul Quran karangan (Mawardi:2011:161) menerangkan dari Ibn Taimiyah, beliau menawarkan beberapa kaidah yang harus digunakan dalam tafsir bi al-ma’tsur sebagai berikut:
1.      Riwayat Israiliyat yang tidak ada manfaatnya tidak perlu diperbincangkan lebih jauh, kecuali bila ada hujjah yang mendukung.
2.      Riwayat yang berkaitan dengan masalah agama sehingga perlu untuk diketahui, maka kesa’ian riwayat itu dapat diukur berdasarkan beberapa kriteria sebagai berikut: (1) riwayat itu dikemukakan oleh banyak orang dari jalan yang berbeda-beda atau oleh satu orang yang Hafidz yang terkenal akurat dalam menyampaikan riwayat. (2) orang-orang yang mengemukakan riwayat tersebut adalah orang-orang yang kredibilitasnya diakui secara luas sehingga tidak mungkin mereka-reka kebohongan dengan sengaja. (3) riwayat itu diterima dan diamalkan secara luas oleh kaum muslimin. Apabila riwayat-riwayat tersebut memenuhi salah satu kriteria tersebut maka informasi tersebut tergolong benar.

D.      Kaidah-kaidah Tafsir Bi al-Ra’yi
Muhammad Husein al-Dzahabi dalam bukunya berjudul Al-Tafsir wa al-Mufassirin mengungkapkan 8 hal yang harus diperhatikan oleh seorang mufassir yang ingin menafsirkan Ak-Quran dengan al-Ra’yi:
1.      Tafsir harus relevan dengan ayat yang ditafsirkan, tidak dikurangi dan tidak ditambahi.
2.      Memilah dengan teliti kapan harus menafsirkan ungkapan suatu ayat secara hakiki dan kapan pula harus menafsirkan secara majazi.
3.      Memperhatikan dengan seksama konteks kalimat dan jaringan kata-kata dari ayat-ayat Al-Quran.
4.      Memperhatikan munasabah antara satu ayat dengan ayat Al-Quran lainnya.
5.      Memperhatikan asbabun nuzulnya
6.      Membahas ayat-ayat Al-Quran secara seksama mulai dari unit terkecil yaitu mufradatnya, tarkibnya, lalu balaghahnya lalu isi kandungannya kemudian ditarik kesimpulan yang diambil dari ayat-ayat tersebut.
7.      Tidak berpendapat atau berkeyakinan bahwa dalam Al-Quran ada pengulangan kata-kata atau ungkapan yang sia-sia.
8.      Mamapu mentarjih berbagai pendapat yang berbeda sehingga satu kesatuan yang harmonis.

Banyak sekali ulama’ -ulama’ yang memakai menggunakan Tafsir Bil-Ma’tsur untuk menafsirkan Al-Quran Karim. Akan tetapi disini hanya akan dijelaskan 3 tokoh ulama yang termasyhur dalam menafsirkan Al-Quran dengan Tafsir Bil-Ma’tsur, mereka adalah:
1.      Tafsir Jami’ul Bayan ( Ibnu Jarir Ath Thabary)
Beliau menafsirkan ayat al-Qur’an dengan jelas dan ringkas dengan menukil pendapat para sahabat dan tabi’in disertai sanadnya. Jikalau dalam ayat tersebut ada dua pendapat atau lebih, disebutkan satu persatu dengan dalil dan riwayat dari sahabat maupun tabi’in yang mendukung dari tiap-tiap pendapat kemudian mentarjih (memilih) diantara pendapat tersebut yang lebih kuat dari segi dalilnya. Dan juga dalam penafsiran beliau juga menggunakan riwayat Israiliyat. Oleh karena itu Beliau menggunakan tafsir bil matsur dalam kitab tafsirnya .
2.      Tafsir Al– Qur- anul ‘Adhim ( Al Hafidh ibnu Katsir)
Beliau sangat teliti dalam mentafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menukil perkataan para sahabat. Beliau juga menafsirkan ayat dengan ibarat yang jelas dan mudah dipahami. Menerangkan ayat dengan ayat yang lainnya dan membandingkannya agar lebih jelas maknanya. Beliau juga menyebutkan hadits-hadits yang berhubungan dengan ayat tersebut dilanjutkan dengan penafsiran para sahabat dan para tabi’in .
3.      Tafsir Ad Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur (As Suyuthy)
Tafsir Ad-Dur Mantsur fi Tafsir bil Ma’tsur atau yang lebih dikenal Tafsir Imam Suyuthi. Kitab Tafsir tersebut terdiri dari 6 Jilid. Kitab Tafsir Al-Dur Al-Manstur Fi Tafsir bil Ma’tsur karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi merupakan salah satu karya tafsir bi matsur. Hal tersebut terlihat dalam penafsiran yaitu dalam Q.S.Al-Baqarah:30. Ketika dalam menafsirkan ayat tersebut Imam Suyuthi  mengutip hadits Rasullulah dan perkataan sahabat, diantaranya Ibnu Abbas dan Mujahid. Di samping itu dalam menafsirkannya juga mengaitkan dengan ayat yang lain dam juga beliau menafsirkan berdasarkan tartin mashafi dari Surat Al-Fatihah sampai Surat An-Nas.Dengan langkah-langkah tersebut dapat digolongkan tafsir tersebut kitab tafsir bil ma’tsur .

F.   Mufassir Beserta Kitab Tafsir bil-Ra’yi
Berikut ini dipaparkan beberapa kitab-kitab tafsir bir-ra’yi yang termasyur, yang dikemukakan oleh M. Aly as-Shabuny, beserta uraian ringkas mengenai isinya:
No.
Nama Kitab
Nama Pengarang
Tahun Wafat
Nama Populer
1
Mafatih al-Ghaib
Muhammad bin Umar bin Husain al-Rozy

 606 H
Tafsir al-Rozy
2
Anwar at-Tanzil wa Asroru at-Ta’wil
Abdullah bin Umar al-Baidhawi

685 H
Tafsir al-Baidhawi
3
Lubab at-Ta’wil fi Ma’ani at-Tanzil
Abdullah bin Muhammad Khazin

741 H
Tafsir Khazin
4
Madarik at-Tanzil wa Haqoiq at-Ta’wil
Abdullah bin Ahmad an-Nasafy

701 H
Tafsir an-Nasafy
5
Gharaib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan

Muhammad an-Naisaburi

728 H
Tafsir an-Naisaburi
6
Irsyad al-‘Aqli as-Salim
Muhammad bin Muhammad Musthafa at-Thathawy

952 H
Tafsir Abi Sa’ud
7
Al-Bahru al-Muhit

Muhammad al-alusy al-Baghdady

745 H
Tafsir Abi Hayyan
8
Ruh al-Ma’ani
Muhammad al-alusy al-Baghdady

1270 H
Tafsir Al-Alusy
9
As-Siraj al-Munir
M. Asy-Syarbaini al-Khathib

977 H

Tafsir al-Khathib


10
Tafsir Jalalain
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi
 864 H
Tafsir Jalalain
Tabel 1.1 Mufassir beserta Kitabnya Tafsir Bi-Ra’yi
Pemamaparan ringkas dari Mufassir-Mufassir yang oaling masyhur yang menafsirkan Al-Quran dengan Tafsi Bi-Ra’yi yaitu:
1.      Tafsir ar-Razy, ia memakai cara-cara ulama mutakallimin dalam menafisirkan. Tafsirnya adalah tafsir yang luas dalam pembahasan ilmu kalam, dan ia juga membahas tentang falak, buruj, langit dan bumi, binatang, manusia, dan lain-lain dengan maksud menegakkan argumen atas adanya Allah SWT.
2.      Tafsir al-Baidahawi, tafsir ini menggunakan metode tafsir riwayah dan dirayah, serta menguatkan dalil-dalil ahli sunnah, setiap surat selalu ditutup dengan hadits-hadits untuk menunjukkan keutamaan surat tersebut.
3.      Tafsir Khazin, tafsir ini juga terkenal sebagai tafsir bi al-Ma’tsur hanya saja tidak pernah menyebutkan sanad, redaksinya gampang dan mudah difahami.
4.      Tafsir an-Nasafy, tafsir ini adalah tafsir yang paling ringkas dan paling sempurna dibanding tafsir-tafsir bi Ra’yi yang lain, mencakup segi i’rab dan qira’at, dan mengandung segala segi keindahan ilmu badi’ dan isyarah, tafsir ini tidaklah panjang.



G.      Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Bi al-Ma’tsur
1.      Kelebihan Tafsir Bi al-Ma’tsur
Tafsir bil ma’tsur adalah tafsir yang paling baik mengingat al-Qur’an ditafsirkan oleh al-Qur’an, hadits, serta sahabat apabila riwayat tersebut benar-benar shahih dan sanadnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW.

2.      Kelemahan Tafsir Bi al-Ma’tsur
Menurut Ali As-Shobuni (2003:70) untuk mentafsiri Al-Quran dengan Al-Quran dan Al-Quran dengan Sunnah Nabawiyah tidak ada keraguan dalam penerimaannya dan tidak ada perbedaan dalam menafsirkannya. Akan tetapi untuk pentafsiran Al-Quran dengan riwayat sahabat dan para tabiin ditemui adanya kelemahan akan periwayatannya. Yaitu:
1.      Bercampurnya antara hadits yang shahih dengan yang ghoiru shahih.
2.      Tafsir bil ma'tsur ditengarai mengandung kisah Israiliyyat dan khurafat di mana hal tersebut jelas tertolak berdasarkan dalil dan bertabrakan dengan Aqidah Islamiyah.
3.      Pemberitaan palsu dari para golongan orang yang madzhab ekstrem
4.      Penyelundupan tipu daya atau tipu muslihat para musuh Islam, misalnya orang-orang Zindiq dari golongan Yahudi dan Persia. Pada saat mereka tidak mampu untuk menghancurkan Islam dengan peperangan, mereka berupaya untuk menyisipkan pendapat-pendapat melalui dalil, landasan, atau hujjah yang sarat akan kepentingan politik mereka untuk menghancurkan Islam.

H.      Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Bi al-Ra’yi
Menurut Prof. Dr. Amin Suma, dalam bukunya Ulumul Qur’an, tafsir bir-ra’yi memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya terletak pada kemungkinan mufassir dapat menafsirkan seluruh komponen ayat Al-Qur’an secara dinamis sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga dengan tafsir bir-ra’yi memungkinkan untuk menjelaskan beberapa ayat yang sebelumnya dipahami secara sempit oleh mufassir, menjadi luas dan dinamis, seperti halnya kata qalam yang awalnya hanya di artikan sebagai pena, dapat di artikan sebagai teknologi di zaman modern seperti mesin ketik atau komputer.
Adapun kelemahan dari tafsir bir-ra’yi terletak pada kemungkinan penafsiran yang dipaksakan, subjektif dan pada hal-hal tertentu mungkin sulit dibedakan antara pendekatan ilmiah yang sesungguhnya dengan kecenderungan subjektivitas mufassirnya

I.         Perbedaan Antara Tafsir Bi Ma’tsur dengan Tafsir Bi Ra’yi
1.      Karakteristik Tafsir Bi Ma’tsur
a.       Tafsir Al-Quran yang hanya dibatasi dengan Al-Quran, Hadits Nabi, Perkataan Sahabat dan Tabiin, serta pengikut tabiin.
b.      Sanad dan riwayatnya jelas.
c.       Bukan tafsiran setelah Tabiin, karena setelah itu telah bercampur dengan rasia manusia yang berijtihad dalam mentafsirkan Al-Quran.
2.      Karakteristik Tafsir Bi Ra’yi
a.       Tidak panjang lebar.
b.      Penafsirannya menggunakan atau bertitik tolak pada rasio.
c.       Lebih mudah dipahami bila dikatakan dengan zaman sekarang.
d.      Tafsirannya akan terus berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
e.       Tidak berdasarkan apa yang dinukilkan dari para sahabat dan tabiin.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari pembahasan di atas mengenai tafsir bi al-ma’tsur dan Tafsir bi al-ra’yi dapat disimpulkan bahwa tafsir bi al-ma’tsur adalah suatu usaha untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan al-Qur’an atau dengan al- Hadits bahkan perkataan para sahabat termasuk juga para tabi’in, dan penafsiran ini adalah merupakan jalan yang paling aman untuk menghindari terjadinya salah pemahaman terhadap makna ayat al-Qur’an yang maknanya kurang jelas, dan tafsir ini sudah dimulai dari masa sahabat dan mereka hanya menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami bagi orang yang semasa dengan mereka. Tidak mencakup semua ayat al-Qur’an, dan mereka juga menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami orang semasa dengan mereka.
Tafsir bi al-ma’tsur pada umumnya seragam, karena sumber yang dipakai adalah sama, yakni al-Qur’an, Sunnah, perkataan Sahabat dan seterusnya. Sedangkan tafsir bi al-ra’yi akan jauh dari seragam, keseragamannya hanya akan terlihat dalam menafsirkan kata-kata yang sudah sangat jelas tunjukannya, sedangkan pada hal-hal lain, maka penafsiran dengan rasio ini akan terpengaruh dengan cara seseorang berfikir, menganalisa, tempat, masa, kondisi dan situasi.
Tafsir bi al-ra’yi lebih tertutup peluangnya untuk tercampur dengan israiliyyat, karena tafsir ini tidak akan memakai sumber yang tidak jelas sumbernya dan yang tidak masuk akal. Sementara peluang itu relatif lebih besar pada tafsir bi al-ma’tsur.
Tafsir bi al-ra’yi terlihat lebih dapat dipahami bila dikaitkan dengan masa ke-sekarang, karena tafsir ini akan terus berubah sesuai dengan corak pemikiran dan zaman, sementara tafsir bi al-ma’tsur, karena sumbernya sudah tetap, maka sifatnya akan statis, intrepretasi terhadap sumber-sumber tafsirnyalah yang kemudian bisa berubah-ubah.

B.     Saran
Kami para penulis makalah telah berusaha semaksimalnya dengan kemampuan yang kita punya, tentu masih banyak kekurangan yang tanpa sengaja, untuk itu kami selalu terbuka untuk menerima kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan penulisan-penulisan makalah ini.


DAFTAR RUJUKAN


Abdullah, Mawardi. 2011. Ulumul Quran. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Effendy, Fuad. 2013. Sudahkah Kita Mengenal Al-Quran?.Malang:Misykat Indonesia
Fauziyah, Hidayati. 2013. Tafsir Bil Ma’tsur dan Tafsir Bil Ra’yi, (Online), (https://studipemikiranquranhadist.wordpress.com/2013/11/29/tafsir-bil-matsur-dan-tafsir-bil-rayi/), diakses 01 Februari 2018
Hafrinda, Muhammad. 2009. Metode Tafsir Bi Al-Ra’yi, (Online), (https://hafrinda212.wordpress.com/2009/05/27/metode-tafsir-bi-al-ra%E2%80%99yi/), diakses 01 Februaru 2018
Ghofir, Abdul. 2013. Tafsir Bil Ma’tsur dan Tafsir Bil Ra’yi, (Online), (https://alquranassyifa.wordpress.com/2013/10/24/tafsir-bi-al-matsur-dan-tafsir-bi-al-rayi/) , diakses 02 Februari 2018
Ilham, Muhammad. 2015. Metode Tafsir Bil Ma’tsur: Penafsiran Al-Qur’an Menggunakan Ayat Al-Qur’an, Hadis, Perkataan Sahabat & Tabi’in, (Online), (https://www.tongkronganislami.net/metode-tafsir-bil-matsur/ ) , diakses pada 02 Februari 2018
Nashir, Ja’Far. 2013. Macam-macam Metode Penafsiran Al-Quran, (Online). (https://bambies.wordpress.com/2013/04/23/macam-macam-metode-penafsiran-al-quran/), diakses 01 Februari 2018
Shobuni, Ali. 2003. At-Tibyan Fi Ulumil Quran.Jakarta:Darul Kutub Al-Islamiyah
Qatthan, Manna’. 1973. Mabahits Fi Ulumil Quran. Surabaya:Al-Hidayah









No comments:

Post a Comment