BAB 1
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
AlQuran
adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, mengandung hal-hal
yang berhubungan dengan keimanan, ilmu pengetahuan, kisah-kisah, sejarah,
peraturan-peraturan yang mengatur seluruh kehidupan manusia seluruhnya. Apabila
peraturan tersebut diterapkan dalam kehidupan maka berbahagialah hidup di dunia
dan di akhirat.
Al-Quran
dalam menerangkan hal-hal tersebut ada yang dikemukakan secara terperinci,
seperti hubungan dengan hukum perkawinan, hukum waris dan sebagainya. Adapula
yang dijelaskan secara garis besar saja, dari yang diterangkan secara garis
besar akan dijelaskan oleh hadits-hadits Nabi Muhammad SAW, dan ada yang
diserahkan pada kaum muslimin sendiri yang disebut ijtihad.
Zaman
Nabi Muhammad ketika beliau masih hidup, para sahabat menanyakan
persoalan-persoalan yang tidak jelas langsung kepada beliau, maka setelah
beliau wafat mereka para sahabat
melakukan ijtihad. Pada konteks seperti inilah tafsir atas ayat-ayat
Al-Quran diperlukan.
Dalam
ulumul Quran atau dalam ilmu-ilmu Al-Quran ditemukan beberapa terminology
penafsiran yang sering digunakan yaitu tafsir Bi al-Ma’tsur dan tafsir Bi
al-Ra’yi. Yang dalam makalah ini akan dibahas lebih mendetail mulai dari
sejarah perkembangannya, sumber-sumber penafsirannya, mufassir-mufassir.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimanakah
sejarah perkembangan tafsir Bi al-Ma’tsur dan tafsir Bi al-Ra’yi?
2.
Apa
pengertian tafsir Bi al-Ma’tsur dan tafsir Bi al-Ra’yi?
3.
Bagaimanakah
metode tafsir Bi al-Ma’tsur dan tafsir bi al-Ra’yi?
4.
Apa
sajakah kelebihan dan kekurangan tafsir Bi al-Ma’tsur dan tafsir Bi al-Ra’yi?
5.
Apa
sajakah perbedaan tafsir Bi al-Ma’tsur dan tafsir Bi al-Ra’yi?
C.
TUJUAN
PENULISAN
1.
Mengetahui
bagaimana sejarah perkembangan tafsir Bi al-Ma’tsur dan tafsir Bi al-Ra’yi
2.
Mengetahui
pengertian tafsir Bi al-Ma’tsur dan tafsir Bi al-Ra’yi
3.
Mengetahui
bagaimana metode tafsir Bi al-Ma’tsur dan tafsir Bi al-Ra’yi
4.
Mengetahui
kelebihan dan kekurangan tafsir Bi al-Ma’tsur dan tafsir Bi al-Ra’yi
5.
Mengetahui
apa perbedaan tafsir Bi al-Ma’tsur dan tafsir Bi al-Ra’yi
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Perkembangan Tafsir Bi al-Ma’tsur dan Bi al-Ra’yi
Sejarah
munculnya Tafsir Bi al-Ma’tsur telah ada sejak zaman sahabat. Pada zaman ini
tafsir bi al-ma’tsur dilakukan dengan cara menukil penafsiran dari Rasulullah
SAW, atau dari sahabatoleh sahabat, serta dari sahabat oleh tabi’in dengan tata
cara yg jelas perwayatannya, cara seperti ini biasanya dilakukan secara lisan. Setelah
itu ada periode dimana penukilannya menggunakan penukilan pada zaman sahabat
yang telah dibukukan dan dikodifikasikan, pada awalnya kodifikasi ini
dimasukkan dalam kitab- kitab hadits, namun setelah tafsir menjadi disiplin
ilmu tersendiri, maka ditulis dan terbitlah buku – buku yang memuat khusus
tafsir bil ma’tsur lengkap dengan jalur sanad kepada nabi muhammad Saw, para
sahabat, tabi’in al tabi’in.
Semua
kitab tafsir ini biasanya memuat hanya tentang tafsir bil ma’tsur kecuali kitab
yang dikarang Ibn Jarir yang menyertakan pendapat dan menganalisannya serta
mengambil istinbath yang mungkin ditarik dari ayat al-qur’an. Pada perkembangan
selanjutnya, ada banyak tokoh yang mengkodifikasikan tafsir bil ma’tsur tanpa
mengemukakan periwayatan sanadnya dan hanya mengemukakan pendapat – pendapatnya
sendiri serta tidak membedakan periwayatn yang shahih atau tidak. Karena adanya
kecurigaan pemalsuan, muncullah studi – studi kritis yang berhasil menemukan
dan menyingkap sebagian riwayat palsu sehingga para mufasir dapat berhati
–hati.
Namun
perlu kita diingat juga bahwa dalam perkembangan tafsir bil ma’tsur sendiri,
tidak bisa terlepas dari unsur ra’yi. Walaupun pada masa ini belum begitu
dikenal adanya tafsir bil ra’yi tetapi mereka dalam melakukan penafsiran bil
ma’tsur tidak bisa lepas dari unsur ra’yi secara tidak langsung. Begitupun
dalam penafsran bil ra’yi mereka tidak bisa lepas dari tafsir bil ma’tsur.
Sedangkan
sejarah munculnya Tafsir Bi al-Ra’yi menurut (Mawardi, 2011:157) Tafsir bi
al-Ra’yi muncul sejak abad ke-5 karena munculnya kebutuhan dan tuntunan zaman.
Ada juga yang mengatakan munculnya Tafsir Bi al-Ra’yi setelah berakhirnya masa
salaf sekitar abad 3H dan peradaban islam semakin maju dan berkembang, sehingga
berkembanglah berbagai madzhab dan aliran dikalangan umat islam. Masing-masing
golongan berusaha meyakinkan umat islam dalam rangka mengembangkan paham
mereka. Didukung dengan banyaknya para ahli tafsir yang telah menguasai
berbagai disiplin ilmu, maka pada proses penafsiran mereka cenderung memasukkan
hasil pemikiran serta pembahasan tersendiri yang berbeda dengan penafsir lain.
Contohnya ada yang cenderung pada ilmu balagh (imam al Zamakhsyari) ,
pembahasan aspek hukum syariah (imam al-Qurtuby) karena individulisme seperti
inilah banyak penafsir yang sampai mengesampingkan tafsir yang sesungguhnya
karena sibuk memasukkan ide nya masing- masing.
B.
Pengertian
1.
Tafsir
Bi al-Ma’tsur
Al-Ma’sur menurut bahasa adalah isim maf‘ul
dari kata أثرت
الحديث أثراً من باب نقل نقلته ، , yang
bermakna sisa/bekas
dari sesuatu, sebagaimana dalam firman Allah Swt dalam surah yasin
ayat 12 : (ونكتب ما قدموا وآثارهم) kata al-Ma’sur
juga berarti al-Manqul. Oleh karena itu maka
tafsir bi
al-Ma’sur
adalah tafsir yang bersumber dari allah Swt yang terdapat di dalam
al-Qur’an, Nabi Muhammad Saw, sahabat dan tabi’in. al-Ma’sur dalam makna lugah juga
dipakai atas perkataan yang diberitakan dari orang lain.
Menurut
Al-Qatthan (1973:347) tafsir bi al-Ma’tsur yaitu tafsir yang bertumpu pada
dalil “naqli” yang shahih dengan tingkatan-tingkatan yang telah disebutkan
sebelumnya pada syarat-syarat mufassir, seperti tafsir Al-Quran dengan
Al-Quran, Tafsir Al-Quran dengan As-Sunnah, tafsir Al-Quran dengan perkataan
sahabat, tafsir Al-Quran dengan perkataan tabi’in.
Fuad
Effendy juga mengungkapkan dalam bukunya “sudahkah kita mengenal Al-Quran”
(2013;161) Tafsir bi al-Ma’tsur sama dengan tafsir bir-Riwayah yaitu
menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, As-Sunnah, dan perkataan Nabi sebagai
rujukan dalam menerangkan makna atau maksud dari suatu ayat.
a.
Penafsiran
Al-Quran oleh Al-Quran itu misalnya dalam bentuk: mengkhususkan yang umum,
merinci yang global, memberikan definisi, menjelaskan indikator-indikator, dan
sebagainya. Contohnya dalam Al-Quran surat Al-Baqarah:2
|
الذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ في
السَرَّآءِ و الضَرَّآءِ و الكَظِمِيْنَ الغَيْظَ و العافينَ عن الناس، و
اللهُ يحب المُحسنين (البقرة:134)
Artinya: “(yaitu)
orang-orang yang menafakahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun
sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan)
orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”
|
|
وسارِعوا
إلى مغفرةٍ من رّبكم و جنة عرْضُها السموات و الأرض أعدت للمتتقين (البقرة:133)
Artinya :
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang
bertaqwa”
|
Yang dimaksud (المتتقين)
pada ayat 123 dijelaskan pada ayat berikutnya (134) dalam satu surat yang sama.
Bahwa Al-Muttaqin ialah orang-oarang yang beriman kepada yang ghaib, mendirikan
sholat, menafkahkan sebagian pemberian Allah,
beriman kepada Al-Quran dan kitab=kitab Allah sebelumnya, dan meyakini adanya
akhirat.
Penafsiran
Al-Quran dengan Al-Quran adalah yang yang pasti benar dan dapat
dipertanggungjawabkan karena Allah AWT sendirilah yang yang paling mengetahui
apa yang menjadi maksud dan firman-Nya. Namun tidak setiap ayat pasti ada
penjelasannya pada ayat yang lain. Sebagian dari ayat-ayat itu dijelaskan oleh
Rasulullah SAW.
b.
Penafsiran
Al-Quran dengan As-Sunnah
Tafsir Al-Quran
dengan As-Sunnah ini memperoleh pembenaran dari firman Allah “Kami turunkan
kepadamu Al-Quran agar kamu terangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada
mereka” (Q.S.16.44).
Penafsiran
As-Sunnah terhadap Al-Quran antara lain dalam bentuk memberikan rincian ayat
yang masih glonal, mengkhususkan yang umum, menjelaskan ayat yang maknanya
pelik, menegaskan maksud ayat yang diperselisihkan para sahabat dan sebagainya.
Sebagai contoh (1) ayat berisi perintah sholat dan zakat yang sifatnya masih
global, kemudian As-Sunnah menjelaskan tata cara sholat dan jenis zakat serta
besar zakat. (2) penjelasan Rasulullah SAW terhadap firman Allah “Peliharalah
segala shalatmu dan peliharalah shalat wustho” (Q.S.2:238). sholat
wustho dalam ayat ini menurut penjelasan Rasulullah adalah ashar. Maka
tidak diragukan lagi bahwa penafsiran Al-Quran dengan hadits -sepanjang hadis
itu sahih dan mutawatir memiliki kedudukan dan tingkat kesahihan yang tinggi.
Namun tidak semua ayat diberi penafsiran atau penjelasan oleh Rasulullah,
karena sebagian sudah cukup jelas, sebagian telah dijelaskan oleh Al-Quran dan
sebagiannya lagi dibiarkan terbuka untuk medan tadabbur dan ijtihad bagi umat
islam.
c.
Penafsiran
Al-Quran Oleh Para Sahabat Nabi
Penafsiran ini
juga patut dijadikan pegangan, karena mereka hidup bersama Nabi, menyerap
langsung pengetahuan dari Rasulullah, menyaksikan turunnya wahyu, dan
mengetahui konteks atau latar belakang turunnya ayat, didukung pula oleh
kebersihan jiwa dan kemampuan berbahasayang tinggi. Namun kekuatannya tetap
berada dibawah hadits-hadits Rasulullah SAW.
Salah satu
sahabat Nabi yang terkemuka sebagai mufassir adalah Ibnu Abbas. Salah satu
penafsirannya mengenai ayat 59 surat Maryam:
|
فخلف
من بعدهم خلف أضاعوا الصلوة و اتبضعوا
الشهوات فسوف يلقون غيا (مريم:59)
Artinya : “
Maka datanglah sesudah mereka pengganti yang menyia-nyiakan shalat dan
memeperturutkan hawa nafsunya. Maka mereka kelak akan menemui kesesatan”(Maryam:59)
|
Kata kesesatan
adalah terjemahan ghayyan yang maknanya memang kesesatan. Akan tetapi
beliau menafsirkan dengan khusranan yang artinya kerugian. Beliau
memaknai ghayyan dengan lompatan dari sebab ke akibat “at-ta’bir ‘an
asy-syai bi sababih” Kesesatan adalah sebab, sedangkan kerugian adalah
akibatnya.
Namun
pengutipan dari para sahabat menuntut kehati-hatian dan ketelitian, karena apa
yang disebutkan dengan “penafsiran para sahabat” ini memiliki kelemahan dari
beberapa segi. (1) bercampurnya yang shahih dengan yang dhoif. Banyak pendapat
yang dinisbatkan kepada para sahabat tanpa didukung sanad yang kuat. (2)
banyaknya cerita israiliyat yang penuh dengan khurafat yang bertentangan dengan
aqidah islamiyah. (3) adanya aliran-aliran yang ekstrim yang sengaja melansir
pendapat-pendapat yang dinisbatkan kepada para sahabat untuk memperkuat faham
aliran mereka. (4) adanya kaum zindiq yang anti islam sengaja menghancurkan
islam dari dalam melalui pembuatan hadis-hadis palsu dan aqwal sahabat yang
palsu pula.
Az-Zarqani
dalam kitab Manahilul irfan membagi tafsir bi al-Ma’tsur kedalam 2
kategori. (1) yang memiliki cukup bukti atau dalil untuk kesahihannya dan
keberterimaannya ini harus diterima dan tidak boleh ditolak. (2) yang tidak
sahih karena alasan-alasan diatas atau alasan lainnya ini harus ditolak sebagai
rujukan.
2.
Tafsir
Bi al-Ra’yi
Fuad Effendy
(2013:164) menjelaskan tafsir bid-Dirayah atau bir-Ra’yi adalah tafsir yang
bertumpu pada ijtihad mufasir bukan pada pendapat para sahabat dan tabi’in. Yang menjadi patokan adalah pemakaian bahasa
arab dalam arti luas, termasuk gaya bahasa atau stylistik, semantik dan
pragmatiknya serta ilmu-ilmu lain yang menjadi prasyarat bagi ilmu tafsir.
Penafsiran yang bertumpu pada ijtihad ini berhadapan dengan sabda Rasul “
barangsiapa menafsirkan Al-Quran berdasarkan pendapat pribadinya maka
bersiap-siaplah ia untuk menghuni neraka”. Akan tetapi Al-Qurtubi memaknai
hadits Rasulullah tersebut adalah “Barang siapa menyatakan suatu pendapat
mengenai makna ayat Al-Quran, padahal dia tahu bahwa yang benar adalah pendapat
orang lain, maka bersiap-siaplah ia untuk menghuni neraka”.
Sedangkan
menurut (Ali As-Shobuni:2003:155) dalam kitabnya At-Tibyan Fi Ulum Al-Quran,
tafsir bi al-Ra’yi adalah cara penafsiran Al-Quran dengan jalan ijtihadi yang
didasarkan pada dasar-dasar yang shahih, kaidah-kaidah yang yang murni dan
tepat bisa diikuti dan sewajarnya diambil oleh orang yang hendak mendalami
tafsir Al-Quran atau mendalami pengertiannya. Penafsiran Al-Quran dengan jalan
ijtihadi ini tidak semata-mata berdasarkan kata hati atau kehendaknya sendiri,
lebih-lehib penafsirannya dipengaruhi oleh hawa nafsu. Dengan demikian tafsir
bi al-Ra’yi bertitik tolak pada pendapat atau ijtihad, tidak berdasarkan
Al-Quran, hadist Nabi, atsar para sahabat dan riwayat para tabiin. Bahkan tafsir
bi al-Ra’yi banyak bertumpu pada bahasa Arab dari semua seginya.
Ada 2 pendapat
dari para ulama mengenai keabsahan Tafsir bi Al-Ra’yi ini, ada yang menilaknya
dan ada yang menerimanya, tentu dengan segala persyaratannya yang harus dipenuhi.
Dalam buku “Sudahkah kita mengenal Al-Quran?” karangan Fuad Effendy (2013:165)
menjelaskan alasan sebagian ulama menolak Tafsir bi al-Ra’yi ini (1) Tidak
seorangpun mengetahui kehendak Allah. Maka menafsirkan makna ayat berdasarkan
pendapat pribadi adalah terlarang. (2) Hanya Rasulullah yang diberi wewenang
menjelaskan Al-Quran (Q.S.16:44). (3) penegasan Rasulullah dalam hadits di muka
tidak bisa ditawar-tawar dan tidak perlu ditafsir-tafsirkan lagi. (4)
Kehati-hatian para sahabat dan Tabi’in untuk mengemukakan pendapat pribadi
mengenai tafsir Al-Quran, sampai-sampai Abu Bakar berkata “Langit mana yang
akan melindungiku, bumi mana yang akan menampungku, kalau aku sampai berkata
tentang Al-Quran dengan pendapatku, atau mengatakan sesuatu tentang Al-Quran
yang tidak aku tahu.
Sedangkan ulama
yang menerima, alasannya sebagai berikut, (1) Allah menyuruh kita untuk
merenung dan berfikir. Firman Allah
“Apakah mereka tidak memikirkan (tadabbur) Al-Quran ataukah hati mereka
terkunci ?” (Q.S 47:24) (2) Manusia ada yang awam dan yang alim, Allah
memerintahkan yang awam untuk bertanya pada yang alim yang mana diberi tugas
dan “kewenangan” untuk menafsirkan Al-Quran. (3) seandainya tafsir dengan
ijtihad tidak diperbolehkan maka ijtihad secara umum pun dilarang padahal
ijtihad itu dilakukan untuk menemukan sebuah kebenaran. (4) sahabat semasa
Rasullah pun melakukan ijtihad dan diantara mereka pun terjadi perbedaan
pendapat dalam memahami beberapa ayat Al-Quran.
Meskipun jumhur
Ulama memperbolehkan tafsir bi al-Ra’yi, namun mereka menetapkan prasyarat yang
ketat, antara lain penguasaan ilmu-ilmu prasyarat yang meliputi bahasa Arab dan tata bahasanya,
ilmu balaghah, ushul fikh, asbabun nuzul, nasikh-mansukh dan ilmu qiraat. Dalam
bukunya Fuad Efffendy (2013:166) As-Suyuti menukil dari Az-Zarkasyi 4
persyaratan diperbolehkannya tafsir bi al-Ra’yi, yaitu (1) tetap merujuk pada
hadits-hadits shahih. (2) memperhatikan pendapat para sahabat Nabi. (3)
mengutamakan pengambilan makna bahasa yang lazim dalam bahasa Arab, dan (4)
mengambil makna yang sesuai dengan ketentuan dasar syariat islam.
Perlu dijelaskan, meskipun mufassir dalam hal ini
menggunakan pemikiran, namun ia tidaklah bebas mutlak. Mufassir harus bertolak
dari pemahamannya terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah
Nabi SAW. Akan tetapi pemahaman tersebut tidak cukup untuk menjamin penafsiran
cara ini. Karena itu, dalam menggunakan corak tafsir ini diberlakukan
syarat-syarat mufassir dan kaedah-kaedah penafsiran yang ketat. Ada 15 ilmu yang harus dikuasai
oleh seseorang jika ingin menafsirkan Al-Quran berdasarkan Ra’yi (Ali
As-Shobuni:2003:159) antara
lain:
1. Memiliki
pengetahuan bahasa Arab dan segala seluk beluknya.
2.
Menguasai ilmu-ilmu al-Qur’an.
3.
Menguasai ilmu- ilmu yang berhubungan dengan ilmu-ilmu
al-Qur’an, seperti hadis, Ushul fiqh dan lain sebagainya.
4.
Beraqidah yang benar.
5.
Mengetahui prinsip-prinsip pokok agama Islam.
6.
Menguasai ilmu yang berhubungan dengan pokok bahasan
ayat yang ditafsirkan.
Yang
dimaksud ar-ra’yi di sini adalah “ijtihad” yang berdasarkan pada
prinsip-prinsip yang benar, dan kaidah-kaidah yang benar yang umum berlaku,
yang wajib dimiliki oleh siapa saja yang mau terjun langsung kedalam dunia
penefsiran Al-Qur’an, atau siapa saja yang mau menyingkap keterangan artinya. Dan
maksudnya dalam hal ini bukan bukan hanya semata-mata ijtihad, atau karna
hobbi, atau hanya cukup dengan apa yang terdidik di benaknya, atau semaunya
sendiri.
Dalam
tafsir bi al-Ra’yi terbagi menjadi 2 dilihat dari baik tidaknya, diterima atau
tidaknya tafsir bi al-Ra’yi tersebut (Ali As-Shobuni:2003:157) yaitu:
1.
Tafsir bi al-ra’yi yang terpuji (mahmud) yaitu tafsir yang memiliki ciri-ciri sebagai
berikut :
a. Sesuai dengan tujuan al-Syari’
(Allah SWT)
b. Jauh atau terhindar dari
kesesatan
c. Dibangun atas dasar
kaidah-kaidah kebahasaan (bahasa Arab)
yang tepat dengan mempraktekkan gaya bahasa (uslubnya ) dalam memahami
nash-nash Al-Quran.
d. Tidak mengabaikan (
memperhatikan) kaidah-kaidah penafsiran yang sangat penting seperti
memperhatikan asbabun nuzul, ilmu munasabah dan lain-lain saran yang dibutuhkan
oleh mufassir.
Tafsir bi al-ra’yi seperti inilah yang
tergolong tafsir yang baik lagi terpuji dna layak digunakan. Karenanya maka
tafsir mahmud juga sering dijuluki dengan al-Tafsir al-Masyru’ (tafsir
yang disyari’atkan.
2.
Adapun tafsir bi al-ra’yi yang tercela (madzmum)
yaitu tafsir bi al-ra’yi yang ciri-ciri penafsirannya sebagai berikut :
a. Mufassirnya tidak mempunyai
keilmuan yang memadai (bodoh).
b. Tidak didasarkan pada
kaidah-kaidah keilmuan
c. Menafsirkan Alquran dengan
semata-mata mengandalkan kecenderungan hawa nafsu.
d. Mengabaikan aturan-aturan
bahasa Arab dan aturan syari’ah yang menyebabkan penafsirannya menjadi rusak,
sesat dan menyesatkan.
Itulah sebabnya mengapa tafsir
seperti ini disebut pula dengan al-tafsir al-bathil. Bahkan
tidak jarang digabung menjadi tafsir madzmum yang bathil.
Contohnya: (يوم
تدعو كل أناس بإمامهم) mereka menafsiri bahwa Allah memanggil manusia pada hari kiamat
dengan nama-nama ibu mereka. Mereka mengira bahwa الإمام adalah jamak dari أم padahal dalam firman Allah jamak dari أم dalam firmannya (و أمهاتكم الآتي أرضعنكم) maka dari itu jamak dari الإمام adalah أم maka salah secara bahasa
dan syara’. Dan tafsir dari الإمام ialah النبي yang diikuti oleh umatnya.
C.
Kaidah-kaidah
Tafsir Bi al-Ma’tsur
Sebelum tafsir
bi al-ma’tsur menemukan konsep istidlal, penafsirannya bertumpu pada riwayat.
Ini berarti kaidah pertama yang harus dipegang adalah bahwa untuk memperoleh
penafsiran yang benar, maka riwayat yang dinukilkan harus benar. Dalam buku Ulumul
Quran karangan (Mawardi:2011:161) menerangkan dari Ibn Taimiyah, beliau
menawarkan beberapa kaidah yang harus digunakan dalam tafsir bi al-ma’tsur
sebagai berikut:
1.
Riwayat
Israiliyat yang tidak ada manfaatnya tidak perlu diperbincangkan lebih jauh,
kecuali bila ada hujjah yang mendukung.
2.
Riwayat
yang berkaitan dengan masalah agama sehingga perlu untuk diketahui, maka
kesa’ian riwayat itu dapat diukur berdasarkan beberapa kriteria sebagai
berikut: (1) riwayat itu dikemukakan oleh banyak orang dari jalan yang
berbeda-beda atau oleh satu orang yang Hafidz yang terkenal akurat dalam
menyampaikan riwayat. (2) orang-orang yang mengemukakan riwayat tersebut adalah
orang-orang yang kredibilitasnya diakui secara luas sehingga tidak mungkin
mereka-reka kebohongan dengan sengaja. (3) riwayat itu diterima dan diamalkan
secara luas oleh kaum muslimin. Apabila riwayat-riwayat tersebut memenuhi salah
satu kriteria tersebut maka informasi tersebut tergolong benar.
D.
Kaidah-kaidah
Tafsir Bi al-Ra’yi
Muhammad Husein
al-Dzahabi dalam bukunya berjudul Al-Tafsir wa al-Mufassirin
mengungkapkan 8 hal yang harus diperhatikan oleh seorang mufassir yang ingin
menafsirkan Ak-Quran dengan al-Ra’yi:
1.
Tafsir
harus relevan dengan ayat yang ditafsirkan, tidak dikurangi dan tidak
ditambahi.
2.
Memilah
dengan teliti kapan harus menafsirkan ungkapan suatu ayat secara hakiki dan
kapan pula harus menafsirkan secara majazi.
3.
Memperhatikan
dengan seksama konteks kalimat dan jaringan kata-kata dari ayat-ayat Al-Quran.
4.
Memperhatikan
munasabah antara satu ayat dengan ayat Al-Quran lainnya.
5.
Memperhatikan
asbabun nuzulnya
6.
Membahas
ayat-ayat Al-Quran secara seksama mulai dari unit terkecil yaitu mufradatnya,
tarkibnya, lalu balaghahnya lalu isi kandungannya kemudian ditarik kesimpulan
yang diambil dari ayat-ayat tersebut.
7.
Tidak
berpendapat atau berkeyakinan bahwa dalam Al-Quran ada pengulangan kata-kata
atau ungkapan yang sia-sia.
8.
Mamapu
mentarjih berbagai pendapat yang berbeda sehingga satu kesatuan yang harmonis.
Banyak sekali
ulama’ -ulama’ yang memakai menggunakan Tafsir Bil-Ma’tsur untuk menafsirkan
Al-Quran Karim. Akan tetapi disini hanya akan dijelaskan 3 tokoh ulama yang
termasyhur dalam menafsirkan Al-Quran dengan Tafsir Bil-Ma’tsur, mereka adalah:
1. Tafsir
Jami’ul Bayan ( Ibnu Jarir Ath Thabary)
Beliau menafsirkan ayat al-Qur’an dengan jelas
dan ringkas dengan menukil pendapat para sahabat dan tabi’in
disertai sanadnya. Jikalau dalam ayat tersebut ada dua pendapat atau lebih,
disebutkan satu persatu dengan dalil dan riwayat dari sahabat maupun tabi’in
yang mendukung dari tiap-tiap pendapat kemudian mentarjih (memilih) diantara
pendapat tersebut yang lebih kuat dari segi dalilnya. Dan juga dalam
penafsiran beliau juga menggunakan riwayat Israiliyat. Oleh karena itu Beliau
menggunakan tafsir bil matsur dalam kitab tafsirnya .
2. Tafsir Al– Qur- anul ‘Adhim ( Al
Hafidh ibnu Katsir)
Beliau sangat teliti dalam mentafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menukil
perkataan para sahabat. Beliau juga menafsirkan ayat dengan ibarat yang
jelas dan mudah dipahami. Menerangkan ayat dengan ayat yang lainnya dan
membandingkannya agar lebih jelas maknanya. Beliau juga menyebutkan hadits-hadits yang berhubungan dengan ayat tersebut
dilanjutkan dengan penafsiran para sahabat dan para tabi’in .
3. Tafsir Ad
Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur (As Suyuthy)
Tafsir Ad-Dur Mantsur fi Tafsir bil Ma’tsur atau
yang lebih dikenal Tafsir Imam Suyuthi. Kitab Tafsir tersebut terdiri dari 6
Jilid. Kitab Tafsir Al-Dur Al-Manstur Fi Tafsir bil Ma’tsur karya Imam
Jalaluddin As-Suyuthi merupakan salah satu karya tafsir bi matsur. Hal tersebut
terlihat dalam penafsiran yaitu dalam Q.S.Al-Baqarah:30. Ketika dalam
menafsirkan ayat tersebut Imam Suyuthi
mengutip hadits Rasullulah dan perkataan sahabat, diantaranya Ibnu Abbas
dan Mujahid. Di samping itu dalam menafsirkannya juga mengaitkan dengan ayat
yang lain dam juga beliau menafsirkan berdasarkan tartin mashafi dari Surat
Al-Fatihah sampai Surat An-Nas.Dengan langkah-langkah tersebut dapat
digolongkan tafsir tersebut kitab tafsir bil ma’tsur .
F.
Mufassir
Beserta Kitab Tafsir bil-Ra’yi
Berikut
ini dipaparkan beberapa kitab-kitab tafsir bir-ra’yi yang termasyur, yang
dikemukakan oleh M. Aly as-Shabuny, beserta uraian ringkas mengenai isinya:
|
No.
|
Nama Kitab
|
Nama Pengarang
|
Tahun Wafat
|
Nama Populer
|
|
1
|
Mafatih al-Ghaib
|
Muhammad bin Umar bin Husain al-Rozy
|
606 H
|
Tafsir al-Rozy
|
|
2
|
Anwar at-Tanzil wa Asroru at-Ta’wil
|
Abdullah bin Umar al-Baidhawi
|
685 H
|
Tafsir al-Baidhawi
|
|
3
|
Lubab at-Ta’wil fi Ma’ani at-Tanzil
|
Abdullah bin Muhammad Khazin
|
741 H
|
Tafsir Khazin
|
|
4
|
Madarik at-Tanzil wa Haqoiq at-Ta’wil
|
Abdullah bin Ahmad an-Nasafy
|
701 H
|
Tafsir an-Nasafy
|
|
5
|
Gharaib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan
|
Muhammad an-Naisaburi
|
728 H
|
Tafsir an-Naisaburi
|
|
6
|
Irsyad al-‘Aqli as-Salim
|
Muhammad bin Muhammad Musthafa
at-Thathawy
|
952 H
|
Tafsir Abi Sa’ud
|
|
7
|
Al-Bahru al-Muhit
|
Muhammad al-alusy al-Baghdady
|
745 H
|
Tafsir Abi Hayyan
|
|
8
|
Ruh al-Ma’ani
|
Muhammad al-alusy al-Baghdady
|
1270 H
|
Tafsir Al-Alusy
|
|
9
|
As-Siraj al-Munir
|
M. Asy-Syarbaini al-Khathib
|
977 H
|
Tafsir al-Khathib
|
|
10
|
Tafsir Jalalain
|
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin
as-Suyuthi
|
864 H
|
Tafsir Jalalain
|
Tabel 1.1 Mufassir beserta Kitabnya Tafsir Bi-Ra’yi
Pemamaparan ringkas dari
Mufassir-Mufassir yang oaling masyhur yang menafsirkan Al-Quran dengan Tafsi
Bi-Ra’yi yaitu:
1.
Tafsir ar-Razy, ia memakai cara-cara ulama
mutakallimin dalam menafisirkan. Tafsirnya adalah tafsir yang luas dalam
pembahasan ilmu kalam, dan ia juga membahas tentang falak, buruj, langit dan
bumi, binatang, manusia, dan lain-lain dengan maksud menegakkan argumen atas
adanya Allah SWT.
2.
Tafsir al-Baidahawi, tafsir ini menggunakan
metode tafsir riwayah dan dirayah, serta menguatkan dalil-dalil ahli sunnah,
setiap surat selalu ditutup dengan hadits-hadits untuk menunjukkan keutamaan
surat tersebut.
3.
Tafsir Khazin, tafsir ini juga terkenal sebagai
tafsir bi al-Ma’tsur hanya saja tidak pernah menyebutkan sanad, redaksinya
gampang dan mudah difahami.
4.
Tafsir an-Nasafy, tafsir ini adalah tafsir yang
paling ringkas dan paling sempurna dibanding tafsir-tafsir bi Ra’yi yang lain,
mencakup segi i’rab dan qira’at, dan mengandung segala segi keindahan ilmu
badi’ dan isyarah, tafsir ini tidaklah panjang.
G.
Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Bi al-Ma’tsur
1.
Kelebihan Tafsir Bi al-Ma’tsur
Tafsir bil ma’tsur adalah tafsir yang
paling baik mengingat al-Qur’an ditafsirkan oleh al-Qur’an, hadits, serta
sahabat apabila riwayat tersebut benar-benar shahih dan sanadnya sampai kepada
Nabi Muhammad SAW.
2.
Kelemahan Tafsir Bi al-Ma’tsur
Menurut Ali As-Shobuni (2003:70) untuk mentafsiri
Al-Quran dengan Al-Quran dan Al-Quran dengan Sunnah Nabawiyah tidak ada
keraguan dalam penerimaannya dan tidak ada perbedaan dalam menafsirkannya. Akan
tetapi untuk pentafsiran Al-Quran dengan riwayat sahabat dan para tabiin
ditemui adanya kelemahan akan periwayatannya. Yaitu:
1.
Bercampurnya antara hadits yang shahih dengan yang ghoiru
shahih.
2. Tafsir bil ma'tsur ditengarai mengandung kisah Israiliyyat dan
khurafat di mana hal tersebut jelas tertolak berdasarkan dalil dan bertabrakan dengan Aqidah Islamiyah.
3. Pemberitaan palsu dari para golongan orang yang madzhab ekstrem
4. Penyelundupan tipu daya atau tipu muslihat para musuh Islam,
misalnya orang-orang Zindiq dari golongan Yahudi dan Persia. Pada saat mereka
tidak mampu untuk menghancurkan Islam dengan peperangan, mereka berupaya untuk
menyisipkan pendapat-pendapat melalui dalil, landasan, atau hujjah yang sarat
akan kepentingan politik mereka untuk menghancurkan Islam.
H.
Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Bi al-Ra’yi
Menurut Prof. Dr.
Amin Suma, dalam bukunya Ulumul Qur’an, tafsir bir-ra’yi memiliki kelebihan dan
kekurangan. Kelebihannya terletak pada kemungkinan mufassir dapat menafsirkan
seluruh komponen ayat Al-Qur’an secara dinamis sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sehingga dengan tafsir bir-ra’yi memungkinkan untuk
menjelaskan beberapa ayat yang sebelumnya dipahami secara sempit oleh mufassir,
menjadi luas dan dinamis, seperti halnya kata qalam yang awalnya hanya
di artikan sebagai pena, dapat di artikan sebagai teknologi di zaman modern
seperti mesin ketik atau komputer.
Adapun kelemahan
dari tafsir bir-ra’yi terletak pada kemungkinan penafsiran yang dipaksakan,
subjektif dan pada hal-hal tertentu mungkin sulit dibedakan antara pendekatan ilmiah
yang sesungguhnya dengan kecenderungan subjektivitas mufassirnya
I.
Perbedaan Antara Tafsir Bi Ma’tsur dengan Tafsir Bi Ra’yi
1.
Karakteristik Tafsir Bi Ma’tsur
a.
Tafsir Al-Quran yang hanya dibatasi dengan Al-Quran,
Hadits Nabi, Perkataan Sahabat dan Tabiin, serta pengikut tabiin.
b.
Sanad dan riwayatnya jelas.
c.
Bukan tafsiran setelah Tabiin, karena setelah itu telah
bercampur dengan rasia manusia yang berijtihad dalam mentafsirkan Al-Quran.
2.
Karakteristik Tafsir Bi Ra’yi
a.
Tidak panjang lebar.
b.
Penafsirannya menggunakan atau bertitik tolak pada rasio.
c.
Lebih mudah dipahami bila dikatakan dengan zaman
sekarang.
d.
Tafsirannya akan terus berubah sesuai dengan perkembangan
zaman.
e.
Tidak berdasarkan apa yang dinukilkan dari para sahabat
dan tabiin.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas mengenai tafsir
bi al-ma’tsur dan Tafsir bi al-ra’yi dapat disimpulkan bahwa tafsir
bi al-ma’tsur adalah suatu usaha untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan
al-Qur’an atau dengan al- Hadits bahkan perkataan para sahabat termasuk juga
para tabi’in, dan penafsiran ini adalah merupakan jalan yang paling aman
untuk menghindari terjadinya salah pemahaman terhadap makna ayat al-Qur’an yang
maknanya kurang jelas, dan tafsir ini sudah dimulai dari masa sahabat dan
mereka hanya menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami bagi orang yang
semasa dengan mereka. Tidak
mencakup semua ayat al-Qur’an, dan mereka juga menafsirkan bagian-bagian yang
sulit dipahami orang semasa dengan mereka.
Tafsir bi
al-ma’tsur pada umumnya seragam, karena sumber yang dipakai adalah sama,
yakni al-Qur’an, Sunnah, perkataan Sahabat dan seterusnya. Sedangkan tafsir bi
al-ra’yi akan jauh dari seragam, keseragamannya hanya akan terlihat dalam
menafsirkan kata-kata yang sudah sangat jelas tunjukannya, sedangkan pada
hal-hal lain, maka penafsiran dengan rasio ini akan terpengaruh dengan cara
seseorang berfikir, menganalisa, tempat, masa, kondisi dan situasi.
Tafsir bi
al-ra’yi lebih tertutup peluangnya untuk tercampur dengan israiliyyat, karena
tafsir ini tidak akan memakai sumber yang tidak jelas sumbernya dan yang tidak
masuk akal. Sementara peluang itu relatif lebih besar pada tafsir bi
al-ma’tsur.
Tafsir bi al-ra’yi terlihat
lebih dapat dipahami bila dikaitkan dengan masa ke-sekarang, karena tafsir ini akan terus berubah sesuai dengan corak pemikiran dan
zaman, sementara tafsir bi al-ma’tsur, karena sumbernya sudah tetap,
maka sifatnya akan statis, intrepretasi terhadap sumber-sumber tafsirnyalah
yang kemudian bisa berubah-ubah.
B.
Saran
Kami para penulis makalah telah berusaha semaksimalnya
dengan kemampuan yang kita punya, tentu masih banyak kekurangan yang tanpa
sengaja, untuk itu kami selalu terbuka untuk menerima kritik dan saran yang
membangun demi penyempurnaan penulisan-penulisan makalah ini.
DAFTAR RUJUKAN
Abdullah, Mawardi. 2011. Ulumul
Quran. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Effendy, Fuad. 2013. Sudahkah
Kita Mengenal Al-Quran?.Malang:Misykat Indonesia
Fauziyah, Hidayati. 2013. Tafsir
Bil Ma’tsur dan Tafsir Bil Ra’yi, (Online), (https://studipemikiranquranhadist.wordpress.com/2013/11/29/tafsir-bil-matsur-dan-tafsir-bil-rayi/), diakses 01 Februari 2018
Hafrinda,
Muhammad. 2009. Metode Tafsir Bi Al-Ra’yi, (Online), (https://hafrinda212.wordpress.com/2009/05/27/metode-tafsir-bi-al-ra%E2%80%99yi/), diakses 01 Februaru 2018
Ghofir,
Abdul. 2013. Tafsir Bil Ma’tsur dan Tafsir Bil Ra’yi, (Online), (https://alquranassyifa.wordpress.com/2013/10/24/tafsir-bi-al-matsur-dan-tafsir-bi-al-rayi/) , diakses 02 Februari 2018
Ilham,
Muhammad. 2015. Metode Tafsir Bil Ma’tsur:
Penafsiran Al-Qur’an Menggunakan Ayat Al-Qur’an, Hadis, Perkataan Sahabat &
Tabi’in, (Online), (https://www.tongkronganislami.net/metode-tafsir-bil-matsur/ ) , diakses pada 02 Februari 2018
Nashir, Ja’Far. 2013. Macam-macam
Metode Penafsiran Al-Quran, (Online). (https://bambies.wordpress.com/2013/04/23/macam-macam-metode-penafsiran-al-quran/), diakses 01 Februari 2018
Shobuni, Ali. 2003. At-Tibyan
Fi Ulumil Quran.Jakarta:Darul Kutub Al-Islamiyah
Qatthan, Manna’. 1973. Mabahits
Fi Ulumil Quran. Surabaya:Al-Hidayah
No comments:
Post a Comment