x
MADZHAB-MADZHAB FIQIH DAN POKOK-POKOK ISTINBATH HUKUM
(IMAM SYAFI’I)
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Ilmu Fiqh
Yang Dibina Oleh Ustadz. Ahmad Munjin Nasih
Oleh:
Ahmad Nazilul Khaqqi (15023160)
Rasydiana (150231602687)
UNIVERSITAS
NEGERI MALANG
FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SASTRA
ARAB
MARET 2018
A. Biografi
Imam Syafi’i
·
Para
sejarawan sepakat bahwa Imam Asy-syafi’i lahir di Ghaza pada tahun 150 H (767
M) yang merupakan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah.dan wafat di Mesir tahun 204
H (822 M).
·
Nama
lengkap Imam Syafi’I adalah Muhammad ibn Idris ibn Abbas ibn Ustman ibn Syafi’I
ibn al-Sa’ib ibn ‘Ubaid ibn Abd Yazid ibn Hasyim ibn ‘Abd al-Muthalib ibn ‘Abd
Manaf.
·
Ayah
Imam Syafi’i tinggl di tanah Hijaz dan dia adalah keturunan Arab dari kabilah
Quraisy
·
Ibu
Imam Syafi’I yang bernama fathimah
al-azdiyyah adalah berasal dari salah satu
kabilah di yaman, yang hidup dan menetap di hijaz.
·
Ayahnya
meninggal, saat umur Imam syafi’i belum menginjak dua tahun. Keudian ia
dibesarkan dan dididik oleh ibunya.
·
Imam
Syafi’i dibesarkan dalam kondisi yatim dan fakir
B. Masa
pertumbuhan Imam Syafi’i dalam menuntut ilmu
·
Di
kota Hijaz, Pada usia 7 tahun Imam Syafi’i telah berhasil merampungkan
hafalan Al-Qur’annya
·
Pada
usia 10 tahun, Imam Syafi’I juga telah menghafal kitab al-Muwatta’ (karya Imam Malik)
·
Pada
usia 15 tahun (ada yang mengatakan 18 tahun), imam syafi’i berfatwa setelah
mendapat izin dari syaikhnya yang bernama muslim bin khalid az-zanji.
C. Perjalanan
Imam Syafi’i dalam menuntut ilmu
·
Di
Mekkah, Imam Sayfi’i belajar Fiqh dan Hadits
·
Di
Madinah, Imam Syafi’i belajar dengan Imam Malik hingga Imam Malik wafat
·
Di
Irak, Imam Syafi’i belajar fiqh dengan Muhammad ibn al-Hasan yang beraliran
Hanafi (murid Imam Abu Hanifah)
·
Imam
Syafi’i kembali ke Mekah dengan membawa pengetahuan tentang fiqh Irak
·
Di
Masjidil Haram, Imam Syaf’i mengajarkan fiqh dalam dua corak, yaitu Madinah dan
corak Irak, beliau mengajar di Masjidil Haram selama 9 tahun.
·
Imam
Syafi’i kembali ke Baghdad pada tahun 195 H. Imam
Syafi’i memasuki baghdad seraya mengumumkan ijtihadnya, dengan bekal ilmu,
argumen yang kuat, serta kemampuan untuk menjelaskan ide-idenya.
·
Abdurrahman bin
Mahdi, ulama inilah meminta syafi’i untuk menulis bukunya yang terkenal “ar
risalah “ buku yang memuat gagasan fiqih
Imam Syafi’i.
D.
Guru dan Murid Imam Syafi’i
·
Gurunya
di Makkah : Muslim bin Khalid az-Zinji, Sufyan bin Uyainah, Said bin al-Kudah, Daud
bin Abdur Rahman, al-Attar dan Abdul Hamid bin Abdul Aziz bin Abi Daud.
·
Gurunya
di Madinah : Malik bin Anas, Ibrahim bin Sa’ad al-Ansari, Abdul ‘Aziz bin Muhammad
ad-Dawardi, Ibrahim bin Yahya, al Usami, Muhammad Said bin Abi Fudaik dan Abdullah
bin Nafi’ as-Saigh.
·
Gurunya
di Yaman : Matraf bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Kadhi bagi kota San’a, Umar bin Abi
Maslamah, dan al-Laith bin Sa’ad.
·
Gurunya
di Iraq : Muhammad bin al Hasan, Waki’bin al-Jarrah al-Kufi, Abu Usamah Hamad
bin Usamah al-Kufi, Ismail bin Attiah al-Basri dan Abdul Wahab bin Abdul Majid
al-Basri.
·
Gurunya
di Baghdad : Muhammad bin al-Hasan.
Murid-murid Imam Syafi’i
·
Di Makkah
: Abu Bakar al-Humaidi, Ibrahim bin Muhammad al-Abbas, Abu Bakar Muhammad bin Idris,
Musa bin Abi al-Jarud
·
Di Baghdad
: Al-Hasan as-Sabah az-Za’farani, al-Husin bin Ali al Karabisi, Abu Thur al-Kulbi
dan Ahmad bin Muhammad al-Asy’ari al-Abasri
·
Di Mesir
: Hurmalah bin Yahya, Yusuf bin Yahya al-Buwaiti, Ismail bin Yahya al-Mizani, Muhammad
bin Abdullah bin Abdul Hakam dan ar-Rabi’bin Sulaiman al-Jizi.
·
Diantara
para muridnya yang termasyhur sekali adalah Ahmad bin Hanbal, yang mana beliau
telah memberi jawaban kepada pertanyaan tentang imam syafi’i dengan katanya : Allah
ta’ala telah memberi kesenangan dan kemudahan kepada kami melalui Imam Syafi’i.
E. Kitab-Kitab Karangan Imam Syafi’i Yang Terkenal
1. Kitab al-Umm
2. Kitab ar-Risalah
F. Metode Istinbath Imam
Syafi’i
1. Al Qur'an dan Sunnah
Syafi'i meletakkan sunnah sejajar dengan al Qur'an dalam hal
sebagai hujjah karena sunnah juga berasal dari wahyu. Syafi'i tidak menyamakan
al Qur'an dan sunnah dalam segala aspek, menurutnya perbedaannya paling tidak
bahwa al Qur'an mutawatir dan merupakan ibadah bagi yang membacanya sedangkan
kebanyakan sunnah tidak mutawatir juga membacanya tidak dinilai pahala. Kedua,
al Qur'an adalah kalam Allah, sedangkan sunnah adalah perkataan nabi SAW.
Syafi'i juga menjelaskan bahwa sunnah tidak semartabat dengan al Qur'an dalam
masalah aqidah.
a. Al Qur'an
Menurut Syafi'i al Qur'an itu maknan dan lafdzon. Seluruh al Qur'an
terdiri atas bahasa Arab, tidak satu katapun di dalamnya yang bukan bahasa
Arab. Maka sejalan dengan itu ia mengatakan bahwa setiap umat Islam diharuskan
mempelajari bahasa Arab sedapat mungkin (Mabalagahu juhduh) sehingga ia dapat
mengucapkan syahadat, membaca al Qur'an, dan mengucapkan dzikir. Tuntutan itu
merupakan fardhu ain yang berlaku secara umum, sedangkan penguasaan bahasa Arab
secara mendalam diwajibkan secara terbatas (fardhu kifayah) atas para ulama'.
Syafi'i menekankan pentingnya penguasaan bahasa Arab karena tidak mungkin bisa
memahami kandungan al Qur'an tanpa penguasaan terhadap bahasa Arab.
b. Sunnah
Syafi'i menegaskan bahwa sunnah merupakan hujjah yang wajib diikuti
sama halnya dengan al Qur'an. Untuk mendukungnya dia mengajukan beberapa dalil,
baik dalil naqli maupun dalil aqli. Sejalan dengan pandangan tentang kokohnya
kedudukan sunnah, Syafi'i menegaskan bila telah ada hadits yang shohih (tsabit)
dari Rosulullah SAW, maka dalil dalil berupa perkataan orang lain tidak diperlukan
lagi. Jadi bila seseorang telah menemukan hadits shohih, ia tidak lagi
mempunyai pilihan kecuali menerima dan dan mengikutinya. Tentang hubungan
antara sunnah dengan al Qur'an, Syafi'i mengemukakan bahwa fungsi sunnah
sebagai berikut:
a) Sebagai penguat dalil dalil dalam al Qur'an
b) Sebagai penjelas dari ayat ayat al Qur'an yang masih global
c) Sebagai tambahan; artinya mengatur hukum yang belum diatur dalam
al Qur'an
Syarat syarat penerimaan sunnah :
Syafi'i membagi hadits menjadi dua, yaitu kabar ammah (hadits
mutawatir) dan kabar khashah (hadits ahad). Ia memandang hadits mutawatir itu
pasti, sehingga hadits tersebut mutlak harus diterima sebagai dalil. Akan
tetapi hadits ahad hanya wajib diamalkan apabila hadits tersebut shohih. Pada
pokoknya, persyaratan yang ditetapkan oleh Syafi'i agar suatu hadits dapat
diamalkan sama dengan yang dikemukakan oleh para ahli hadits dan ahli ushul
fiqh pada masa kemudian, yakni menyangkut tsiqoh (adalah dan dhobith) yang
harus terpenuhi pada setiap perawi dan kesinambungan sanad yang diriwayatkannya
serta tidak adanya cacat atau kelainan dalam hadits tersebut.[4]
2. Ijma'
Ijma yang dipakai Imam Syafi’I sebagai dalil hukum itu adalah ijma
yang disandarkan kepada nash atau ada landasan riwayat dari Rasulullah saw. Secara
tegas ia mengatakan, bahwa ijma yang berstatus dalil hukum itu adalah ijma
sahabat.
Imam Syafi’I hanya mengambil ijma sharih sebagai dalil hukum dan
menolak ijma sukuti menjadi dalil hukum. Alasannya menerima ijma sharih, karena
kesepakatan itu disandarkan kepada nash dan berasal dari semua mujtahid secara
jelas dan tegas sehingga tidak mengandung keraguan. Sementara menolak ijma
sukuti, karena tidak merupakan kesepakatan semua mujtahid. Diamnya sebagian
mujtahid menurutnya belum tentu menunjukkan setuju.
Syafi'i menyepakati bahwa ijma' merupakan hujjah agama
(hujjatudin). Ijma' menurut Syafi'i adalah kesepakatan para ulama' pada suatu
masa tentang hukum syara'. Kedudukan ijma' sebagai hujjah adalah setelah al
Qur'an dan sunnah. Sehingga ijma' diakhirkan dari pada al Qur'an dan sunnah.
Oleh karena itu, ijma' yang menyelisihi al Qur'an dan sunnah bukan merupakan
hujjah dan dalam kenyataannya tidak mungkin ada ijma' yang menyelisihi al
Qur'an dan sunnah.
3. Qoul Shohaby
Qoul Shohaby ialah fatwa fatwa yang dikeluarkan oleh sahabat nabi
SAW, menyangkut hukum masalah masalah yang tidak diatur di dalam nash, baik
kitab maupun sunnah. Walaupun pada dasrnya para sahabat sama dengan umat Islam
dari generasi lainnya, namun dalam banyak hal mereka mempunyai kelebihan
tersendiri sehubungan dengan kebersamaannya dengan Rosulullah SAW. Mereka
banyak mengetahui kondisi yang melatar belakangi turunnya (asbabun nuzul) ayat
ayat tertentu. Selain itu, karena pergaulan mereka dengan Nabi SAW, maka
kualitas akhlak mereka sangat tinggi, sehingga para ulama' sepakat mengakui
bahwa pada dasarnya mereka semua bersifat adil. Walaupun pada dasarnya para
sahabat sama dengan umat Islam dari generasi lainnya, namun dalam banyak hal
mereka mempunyai kelebihan tersendiri sehubungan dengan kebersamaannya dengan
Rosulullah SAW. Mereka banyak mengetahui kondisi yang melatar belakangi
turunnya (asbabun nuzul) ayat ayat tertentu. Selain itu, karena pergaulan
mereka dengan Nabi SAW, maka kualitas akhlak mereka sangat tinggi, sehingga
para ulama' sepakat mengakui bahwa pada dasarnya mereka semua bersifat adil.
Imam Syafi'i membagi qoul shohaby menjadi tiga:
a) Pendapat yang memperoleh kesepakatan (ijma') di kalangan mereka.
Ini jelas mengikat dan harus dijadikan hujjah.
b) Pendapat yang beragam dan tidak mencapai kesepakatan. Tentang
ini, menurut Syafi'i harus dilakukan tarjih dengan mempedomani dalil dalil dari
al Qur'an dan sunnah. Yang harus diambil ialah pendapat yang sesuai dengan
kitab, sunnah, atau ijma'.
c) Pendapat yang dikeluarkan oleh seorang sahabat saja tanpa
dukungan ataupun bantahan dari sahabat lainnya. Mengenai pendapat ini dalam
kitabnya "Risalah", Syafi'i mengatakan bahwa ia mendapatkan dari ahli
ilmu ada yang mengambilnya dan ada yang tidak mengambilnya. Ia mengambilnya
jika tidak ditemukan dalam al Kitab, sunnah, maupun ijma'.
Penggunakan qoul shohaby sebagai hujjah oleh Syafi'i dapat dijumpai
di beberapa kitabnya, seperti ketika berbicara peperangan melawan kaum musyrik,
ia mengatakan bahwa orang yang bersembunyi di bawah biara tidak boleh dibunuh
karena mengikuti perkataan Abu bakar. Ia mengatakan:" kami mengatakan ini
hanyalah karena ittiba' (mengikuti pendapat Abu bakar), bukan berdasarkan
qiyas.
4.Qiyas
Imam Syafi’I adalah mujtahid pertama yang membicarakan qiyas dengan
patokan kaidahnya dan menjelaskan asas-asasnya. Sedangkan mujtahid sebelumnya
sekalipun telah menggunakan qiyas dalam berijtihad, namun belum membuat rumusan
patokan kaidah dan asas-asasnya, bahkan dalam praktik ijtihad secara umum belum
mempunyai patokan yang jelas, sehingga sulit diketahui mana hasil ijtihad yang
benar dan mana yang keliru. Di sinilah Imam Syafi’I tampil ke depan memilih
metode qiyas serta memberikan kerangka teoritis dan metodologinya dalam bentuk
kaidah rasional namun tetap praktis.
Sebagai dalil penggunaan qiyas, Imam Syafi’I mendasarkan pada
firman Allah dalam Al Qur’an surah An Nisa’ ayat 59 yang artinya:
“Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya”
Imam Syafi’I menjelaskan, bahwa maksud “kembalikan kepada Allah dan
Rasul-Nya” itu ialah qiyaskanlah kepada salah satu, dari Al Qur’an atau Sunnah.
No comments:
Post a Comment