MENGARIFI KANDUNGAN HADIST (ANTARA SUNNAH
TASYRI’IYYAH DAN SUNNAH GHOIRU TASYRI'IYYAH
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Tafsir Hadits
Yang Dibina Oleh Ustadz. Dr. Yusuf Hanafi,
S.Ag., M.Fil.I.
Oleh:
Muhammad taufik (150231602412)
Abdul aziz waliyul haq (140231605850)
ridail (150231602687)
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SASTRA ARAB
MEI 2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Nabi Muhammad SAW adalah seorang Nabi dan Rasul yang
membawa risalah dari Allah SWT kepada manusia. Sebagai seorang Nabi dan Rasul
beliau merupakan Uswatun Hasanah. Beliau wajib untuk dita’ati
sehingga apa yang datang dari beliau hendaklah diterima dengan ketaatan sepenuh
hati. Sebagai salah satu bukti bahwa seseorang benar-benar beriman dan
mencintai Allah adalah dengan cara mentaati dan mengikuti perintah Rasulullah
SAW dan menjauhi larangannya..
Dalam praktiknya, sunnah merupakan tafsir Al-Qur’an
dan suri teladan bagi umat Islam. Pengertian ini telah diketahui oleh ummul
mukminin Siti Aisyah r.a. berdasarkan ilmu fikih yang dikuasainya dan pandangan
hatinya yang terang, serta pergaulannya sebagai istri Rasulullah SAW, sehingga
dapat mengungkapkan hal tersebut dengan kalimat yang fasih dan sarat makna.
Rasulullah SAW adalah orang yang
menjelaskan makna Al-Qur’an dan memperagakan Islam melalui ucapan dan
perbuatannya serta semua tindakannya, baik secara individu maupun berkelompok,
berada di tempat maupun dalam perjalanan, atau dalam keadaan bangun maupun
tidur.Begitu pula mengenai hubungannya dengan Allah dan manusia, seperti
hubungan dengan kaum kerabat, orang lain, orang-orang yang dikasihinya dan
musuh-musuhnya, baik dalam keadaan damai maupun perang, dan keadaan suka maupun
duka.Itulah akhlak beliau yang merupakan teladan bagi kita semua.
Disamping itu Nabi Muhammad SAW juga sebagai manusia
biasa sebagaimana manusia yang lain sebagaimana banyak sekali ayat-ayat Al
Qur’an yang menjelaskannya. Beliau juga memiliki kebutuhan jasmani dan ruhani,
memiliki keinginan dan selera dan memiliki kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan
sehari-hari beliau. Ketetapan beliau dalam kapasitas beliau sebagai Rasul merupakan sumber
syariat yang tidak diperdebatkan, namun apakah segala yang datang dari beliau
sebagai manusia biasa dalam konteks bahwa sebagian perbuatan dan perkataan
beliau yang muncul dari sifat kemanusiannya (Jibillatul Basyariyah)juga
merupakan sumber syari'at yang mengikat? Banyak umat Islam, yang tidak memahami
secara utuh tentang perbuatan Rasulullah SAW.Mereka menganggap bahwa setiap
yang dikerjakan oleh Rasulullah SAW wajib atau disunnahkan untuk diikuti.
Padahal kalau kita kaji secara seksama masalah tersebut, ternyata para ulama
merincinya dan sampai pada kesimpulan bahwa tidak setiap apa yang dikerjakan
oleh Rasulullah SAW, kita serta harus mengikutinya, baik yang bersifat wajib
maupun sunnah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian sunnah tasyri’iyyah?
2.
Apa pengertian sunnah ghoiru tasyri’iyyah?
3. Apa sajakah kriteria sunnah tasyri’iyyah dan sunnah ghoiru
tasyri’iyyah
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui
pengertian sunnah tasyri’iyyah
2.
Mengetahui
pengertian sunnah ghoiru tasyri’iyyah
3.
Mengetahui
apa saja kriteria-kriteria sunnah tasyri’iyyah
dan sunnah ghoiru tasyri’iyyah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian sunnah tasyri’iyyah
Sunnah Tasyri’iyah adalah sunnah yang
berkaitan dengan risalah kenabian sehingga umatnya berada pada garis
keniscayaan untuk menerimanya. Dalam pendapat lain dikatakan bahwa sunnahTasyri’iyah adalah
sunnah yang muncul dari kapasitas Nabi Muhammad SAW sebagai penyampai risalah.[1]
Pada umumnya Sunnah
Rasul itu terdiri dari ucapan, perbuatan dan ketetapannya yang
mempunyai hukum yang mesti diikuti (Sunnah Tasyri’iyah). Umpamanya,
perbuatan yang muncul dari beliau dalam bentuk penyampaian risalah
dan penjelasannya terhadap Al-Qur’an tentang beberapa masalah ibadah yang
bersifat umum dan mutlak, seperti menjelaskan bentuk dan tata cara
shalat dan lainnya. Karena
itu, apa yang datang dari beliau hendaklah diterima dengan ketaatan
sepenuh hati sebagai bukti seseorang dianggap beriman pada Rasul SAW dan apa yang beliau larang haruslah dihindari.
Sunnah pada dasarnya berarti
perilaku teladan dari seseorang tertentu. Dalam konteks Islam, ia merujuk
kepada model perilaku Islam, ia merujuk kepada model perilaku Rasul. Konsep
Islam tentang sunnah bersumber dari apa diutusnya Rasul, karena Al-Quran
memerintahkan kepada kaum muslimin untuk mencontoh perilaku rasul, dinyatakan
sebagai teladan dan agung, maka perilaku Rasul lalu menjadi “ideal” bagi
kaum muslimin dan muslimat dengan dasar wahyu. Otoritas pokok bagi umat Islam
adalah Al-Quran. Meskipun demikian, Al-Quran juga menyatakan bahwa Rasulullah
adalah penafsir ayat-ayat Al-Quran.[2]
Sunnah Tasyri’iyah adalah Sunnah yang
mengandung unsur pensyariatan bersifat abadi, dan berlaku untuk semua ruang dan
waktu (‘am) serta tidak terpengaruh dengan perubahan zaman.[3]
Dengan demikian menurut penulis yang
seperti di terangkan ustad kami, ustad munjin, menyatakan bahwasaannya sunnah Tasyri’iyah adalah
Apa saja yang berasal dari Nabi dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah SAW
yang bertugas menyampaikan risalah kenabiannya yang bersifat religious kepada hamba
Allah yang ada di muka bumi ini bukan halnya sebagai insan biasa.
B. sunnah ghoiru tasyri’iyyah
Al-Qaradhawi mendefinisikan
Sunnah Ghairu Tasyri’iyah adalah Sunnah yang tidak ada maksud
untuk diteladani.[7] Sunnah Ghairu Tasyri’iyah adalah
sunnah yang tidak mengandung unsur syariat karena terikat dengan situasi,
kondisi dan konteks saat di mana NabiMuhammad SAW mengeluarkan
sabda tersebut (ghairu Tasyri’iyah) bersifat temporal (khas)
dan situasional (hal mu’ayyan).
Sunnah Ghairu Tasyri’iyah,
yaitu Sunnah yang tidak mesti diikuti dan tidak mengikat.Misalnya ucapan
atau perbuatan Nabi Muhammad SAW yang timbul dari hajat
insani dalam kehidupan keseharian beliau, seperti makan,
cara berpakaian, urusan pertanian dan lainnya. Kalau perbuatan tersebut memberi suatu
petunjuk tentang tata cara makan dan minum, berpakaian dan lainnya,
maka menurut pendapat jumhur ulama hukum mengikutinya adalah sunnat.
Menurut Musa Syahin, pencetus
dari pemetaan Sunnah Tasyri’iyyah dan ghairu
tasyri’iyyah adalah Syaikh Muhammad Syaltut. Beliau membahas
permasalahan ini secara khusus sehingga menjadi rujukan ulama dan pemikir
setelahnya. Syaltut adalah orang pertama yang membuat diskusi tasyri’iyyah dan ghairu
tasri’iyyah ini.[8]
Menurut Dr. Tarmizi M. Ja'far,
dalam memahami pendapat Abdul Wahhab Khallaf tentang hadis atau sunnah nabi
yang tidak termasuk kedalam katagori sunnah Ghairu Tasyri’iyah yang
wajib untuk di ikuti adalah sebagai berikut:
1. Apa yang datang dari Nabi Muhammad SAW yang berasal
dari tabi'at kemanusiaan, seperti duduk, berjalan, tidur, makan, minum, semua
itu bukan merupakan Tasyri’iyah. Kenapa? Karena ia berasal dari
sumber kemanusiaannya bukan risalah. Namun apabila ia datang dari
sifat kemanusiaan dan ada dalil yang menunjukkan sebagai teladan, ia berubah
menjadi Tasyri’iyah disebabkan adanya dalil ini.
2. Apa yang datang
dari nabi yang berupa pengetahuan (alkhibrah al-insaniyyah), keahlian,
dan eksperimen dalam urusan keduniawian, misalnya adalah perdagangan,
pertanian, pengaturan pasukan tentara dan peperangan, pemberian resep
obat-obatan tertentu bagi orang sakit dan sejenisnya, semua itu juga
bukan Tasyri’iyah, karena ia berasal dari bukan ruang lingkup
risalah, melainkan hasil dari pengetahuan keduniawian dan penilaian Nabi
Muhammad SAW yang bersifat pribadi.
3. Apa yang berasal dari
Nabi dan ada dalil syari'at yang menunjukkan bahwa itu khusus berlaku baginya,
maka itu bukan tasyri'iyyah umum.[9]
c. kriteria sunnah tasyri’iyyah
Banyak
sekali hadits atau sunnahTasyri’iyah yang ditemukan dalam hadis.
Yang termasuk sunnah Tasyri’iyah adalah Apa saja yang berasal
dari Nabi dalam kapasitasnya sebagai Rasul yang bertugas menyampaikan
risalah kenabiannya, seperti penjelasan beliau terhadap maksud al-Qur’an,
tentang hukum halal dan haram, tentang aqidah dan ahlak atau hal-hal yang
berkaitan dengannya. Sunnah Nabi yang demikian ini mengikat secara umum
kepada setiap individu muslim sampai hari qiyamat:[5]
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى
الله عليه وسلم : لاَ يَحِلُّدَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُوْلُ اللهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ :
الثَّيِّبُالزَّانِي، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ
الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ (رواه بحر ومسلم(
Artinya: Dari Ibnu Mas’ud radiallahuanhu dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Tidak
halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan
bahwa saya (Rasulullah) adalah utusan Allah kecuali dengan tiga sebab: Orang
tua yang berzina, membunuh orang lain (dengan sengaja), dan meninggalkan
agamanya berpisah dari jamaahnya. (Riwayat Bukhori dan Muslim).[6]
D. kkriteria sunnah ghoiru tasyri’iyyah
Berangkat dari perkataan Nabi “أنتم أعلم بأمر دنيكم ”, (kalian lebih
mengetahui dengan urusan dunia kalian), mengindikasikan bahwa hanya persoalan
dunia saja yang termasuk sunnahGhairu Tasyri’iyah. Menurut Tarmizi
M. Jakfar sebagaimana hasil telaah dari
buku Al-Qardhawi bahwasanya ada 5 (lima) kriteria yang termasuk
kedalam sunnah Ghairu Tasyri’iyah, yaitu:
a. Perbuatan
dan perkataan Nabi berdasarkan keahlian eksperimental dan aspek-aspek
teknisnya.
Kriteria ini sebagaimana yang terdapat dalam hadis
tentang penyerbukan kurma diatas. Nabi menjelaskan kepada penduduk Madinah
mengenai pendapatnya yang bersifat dugaan tidak perlu menyerbuki kurma yang
beliau tidak memiliki pengalaman tentangnya, yang kemudian menyebabkan kualitas
hasil kurma penduduk madinah menjadi rendah, karena mengikuti anjuran Rasul
yang mereka anggap sebagai agama dan hokum syari'at yang harus mereka ikuti.
Karena itu, Nabi bersabda, "Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia
kalian".[12]
Jadi yang termasuk ke dalam persoalan eksperimental
ini, misalnya pertanian, industri, kedokteran, persoalan perang dan
penemuan-penemuan lain
yang bersifat teknis dan tergolong kedalam urusan dunia, bukan persoalan religius.
b. Perbuatan dan
perkataan Nabi sebagai kepala Negara dan hakim
Kriteria untuk membedakan sunnah yang lahir dari Nabi Muhammad sebagai seorang penyampai
risalah dan sunnah yang muncul dari beliau sendiri sebagai pemimpin Negara
hanya dengan memahami konteks dan konsideran yang melatarbelakangi lahirnya
sunnah tersebut. Di
samping itu, topik masalah dalam sunnah itu merupakan kemaslahatan yang berkaitan
dengan dengan urusan politik, ekonomi, militer, administrasi dan sebagainya.
Diantara bukti yang menunjukkan suatu pesan hadis merupakan keputusan seorang
kepala Negara adalah adanya sebuah teks (nash) lain, atau beberapa teks lain
yang bertentangan dengan teks yang ada karena perbedaan tempat, waktu atau
keadaan yang menunjukkan bahwa hal itu dilakukan untuk menjaga kemaslahatan
parsial dan temporer yang sifatnya kondisional, tidak dimaksudkan sebagai hukum
syari'ah yang abadi dan berlaku umum.[13]Untuk
mengetahui tentang hadis tersebut sangat diperlukan mempelajari asbabul wurud
dari suatu hadis.
c. Perintah
dan larangan Nabi yang bersifat Anjuran
Perintah atau larangan tersebut harus berkaitan dengan kemaslahatan atau
kemanfaatan duniawi.Hal ini dapat dilihat dimana para sahabat tidak merasa
keberatan meninggalkan sebagian perintah Nabi manakala perintah atau larangan
tersebut menurut mereka hanya bersifat anjuran atau penyuluhan untuk mencari
kemaslahatan atau kebaikan duniawi. Seperti: perintah nabi untuk menyemir
uban.[14]
d. Perbuatan Murni
Nabi (al-fi'l al-mujarrad)
Perbuatan murni Nabi yang dimaksudkan disini adalah perbuatan yang tidak ada
indikasi ibadahnya, seperti masalah makan, Nabi makan dengan tangan kanan dan
tidak menggunakan sendok, makan pun dengan menggunakan tiga jari serta duduk
lesehan di lantai, maka jika tidak ada sunnah qauliyah yang menegaskan harus
makan demikian, berarti ia tergolong sebagai perbuatan murni dan bukan syari'at
yang harus diikuti (Ghairu Tasyri’iyah).[15] Maka dalam hal ini bukanlah bid'ah (melawan
sunnah) jika kita makan dengan sendok dan duduk di meja makan. Akan tetapi
makan dan minum dengan tangan kanan itu adalah syari'at yang harus di ikuti
karena ada hadis qauliyah mengenai hal ini, yaitu Dari Ibnu Umar Radliyallaahu
'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila
seseorang di antara kalian makan hendaknya ia makan dengan tangan kanan dan
minum hendaknya ia minum dengan tangan kanan, karena sesungguhnya setan itu
makan dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya." Riwayat
Muslim.
e. Perbuatan
Nabi sebagai Manusia (al-fi'l al-jibillyy)
Beberapa contoh perbuatan Nabi sebagai manusia yang disebutkan oleh
al-Qardhawi sebagai mana yang disebutkan oleh Dr. Tarmizi M. Ja'far adalah
adanya riwayat shahih bahwa beliau senang makan sampil kamping dan suka kepada
sayur dubba' (sejenis sayuran buah labu).
Sebagaimana Hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik
ra.:
"Seorang penjahit mengundang Rasulullah SAW.
untuk menghadiri suatu jamuan makan. Kata Anas: Aku berangkat bersama
Rasulullah SAW. menghadiri jamuan makan tersebut. Kepada Rasulullah SAW. tuan
rumah menghidangkan roti dari gandum serta kuah berisi labu dan dendeng. Anas
berkata: Aku melihat Rasulullah SAW. Mencari labu dari seputar mangkuk kuah
itu. (Shahih Muslim No.3803)
Dengan demikian lanndasan utama dari adanya sunnahGhairu Tasyri’iyah ini
adalah sunnah Nabi sendiri yang mengatakan bahwa dirinya adalah manusia biasa
dan alasan pendukung adalah amalan atau praktik para sahabat, kebolehan Nabi
untuk berijtihad sunnah nabi sebagai Ijtihad atau sunnah atau hadis nabi yang
bukan berasal dari wahyu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sunnah Tasyri’iyah adalah
Apa saja yang berasal dari Nabi dalam kapasitasnya
sebagai Rasul yang bertugas menyampaikan
risalah kenabiannya yang bersifat religius. Sunnah tersebut tidak ada maksud untuk
diteladani. Akan tetapi bila diteladani atas dasar kecintaan yang teramat
sangat kepada Nabi, hal ini sifatnya boleh (ibahah) dan mudah-mudahan mendapat
pahala disisi Allah karena kecintaannya. Akan tetapi yang ingin ditekankan
disini adalah tidak kemudian menjadi bid'ah bagi orang yang melakukan dengan
cara berbeda dari apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW yang
berasal dari sifat kemanusiaannya itu. Adapaun
yang juga termasuk sunnah Tasyri’iyah juga
seperti tugas beliau dalam menyampaikan risalah
kenabiannya, seperti penjelasan beliau terhadap maksud al-Qur’an,
tentang hukum halal dan haram, tentang aqidah dan
ahlak atau hal-hal yang berkaitan dengannya.
Sedangkan Istilah
Sunnah ghairu tasyri’iyyah masih diperdebatkan (ada yang pro dan
ada yang kontra) dan tidak dikenal pada masa salaf al-shalih. Munculnya
istilah sunnah ghairu tasri’iyyah pada akhir abad 14 H, di
antara pencetusnya adalah Syeikh Muhammad Syaltut.
Sunnah Ghairu
Tasyri’iyah adalah sunnah yang tidak mengandung unsur syariat karena
terikat dengan situasi, kondisi dan konteks saat di mana Nabi SAW mengeluarkan
sabda tersebut (ghairu Tasyri’iyah) bersifat temporal (khas) dan
situasional (hal mu’ayyan). Apa yang datang dari Nabi Muhammad SAW yang berasal
dari tabi'at kemanusiaan, seperti duduk, berjalan, tidur, makan, minum, Apa
yang datang dari nabi yang berupa pengetahuan (alkhibrah al-insaniyyah),
keahlian, dan eksperimen dalam urusan keduniawian, misalnya adalah perdagangan,
pertanian. Bahkan ada perkara yang (khususiat), yaitu tertentu bagi
Nabi Muhammad Saw sendiri dan bukan merupakan undang-undang yang berlaku bagi
seluruh umat Islam, seperti Rasulullah Saw. diperbolehkan mengawini
wanita lebih dari 4 orang, wajib shalat Tahajud bagi Rasul dan lainnya.
B. Saran
Demikianlah makalah yang kami
berisikan tentang spengertian dan kriteria sunnah
tasyri’iyyah dan sunnah ghoiru tsyri’iyyah. Makalah ini pun tak luput dari kesalahan
dan kekurangan maupun target yang ingin dicapai. Adapun kiranya terdapat
kritik, saran maupun teguran digunakan sebagai penunjang pada makalah ini.
Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan banyak terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Wahhab Khallaf, 'Ilm Ushul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, 1978.
Hasan, Ahmad, Pintu
Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung:Pustaka, 1984.
Ibn Qayyim Al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqqi’in, Juz. III, Beirut: Dar al-Fikr al-‘Ilmiyyah, 1991.
Imam
An-Nawawi, Matn-Arba'in, Jakarta: Cahaya Ummat: 2008..
Mahmud
Saltut, Al-Islam Aqidah wa Syari’ah, Dar al-Qalam, l966.
Syahin Lasyin, Musa, Assunnah Kulluha Tasyri’,
Qatar:Qatar University, t. Th.
Syarifuddin, Ushul
Fiqh, Jakarta: kencana, 2008.
Tarmizi,
M. Jakfar, Otoritas Sunnah non Tasyri’iyah Menurut Yusuf Al-Qardhawi,
Jokjakarta: Ar Ruzz Media, 2011.
Yusuf
Al-Qardhawi, as-Sunnah Mashdaran li al-Ma'rifah wa al-Hadharh,
Kairo: Dar al-Syuruq, 1998.
http://www.tuankumuhammad.com/2017/02/sunnah-tasyriiyyah-dan-ghairu.html
[1] Tarmizi, M. Jakfar, Otoritas Sunnah non
Tasyri’iyah Menurut Yusuf Al-Qardhawi, (Jokjakarta: Ar Ruzz Media, 2011),
hlm. 15.
[9] Tarmizi, M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non
Tasyri'iyyah Menurut Yusuf Al-Qardhawi,(Jokjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011),
hlm. 122. Lihat juga, Abdul Wahhab Khallaf, 'Ilm Ushul al-Fiqh,
(Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), hlm. 43-44.
[10] Tarmizi, M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non
Tasyri'iyyah Menurut Yusuf Al-Qardhawi, (Jokjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011),
hlm. 20.
[11] Ibn Qayyim Al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqqi’in, Juz. III, (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Ilmiyyah, 1991), hlm.
11.
[13]Lihat penjelasan Tarmizi, M. Jakfar, Otoritas..., hlm.
284. dalam mengutip pendapat al-Qardhawi, lihat juga Al-Qardhawi, as-Sunnah
Mashdaran li al-Ma'rifah wa al-Hadharh,(Kairo: Dar al-Syuruq, 1998), hlm.
60.
.

No comments:
Post a Comment