Sponsor

Ilmu penting

Tuesday, March 12, 2019

mengarifi kandungan hadist antara sunnah tasyri'iyyah dan ghoiru tasyri'iyyah


MENGARIFI KANDUNGAN HADIST (ANTARA SUNNAH TASYRI’IYYAH DAN SUNNAH GHOIRU TASYRI'IYYAH
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Tafsir Hadits
Yang Dibina Oleh Ustadz. Dr. Yusuf Hanafi, S.Ag., M.Fil.I.

Oleh:
Muhammad taufik                                         (150231602412)
Abdul aziz waliyul haq                                  (140231605850)
  ridail                                              (150231602687)







UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SASTRA ARAB
MEI 2018
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Nabi Muhammad SAW adalah seorang Nabi dan Rasul yang membawa risalah dari Allah SWT kepada manusia. Sebagai seorang Nabi dan Rasul beliau merupakan Uswatun Hasanah. Beliau wajib untuk dita’ati sehingga apa yang datang dari beliau hendaklah diterima dengan ketaatan sepenuh hati. Sebagai salah satu bukti bahwa seseorang benar-benar beriman dan mencintai Allah adalah dengan cara mentaati dan mengikuti perintah Rasulullah SAW dan menjauhi larangannya..
Dalam praktiknya, sunnah merupakan tafsir Al-Qur’an dan suri teladan bagi umat Islam. Pengertian ini telah diketahui oleh ummul mukminin Siti Aisyah r.a. berdasarkan ilmu fikih yang dikuasainya dan pandangan hatinya yang terang, serta pergaulannya sebagai istri Rasulullah SAW, sehingga dapat mengungkapkan hal tersebut dengan kalimat yang fasih dan sarat makna.
Rasulullah SAW adalah orang yang menjelaskan makna Al-Qur’an dan memperagakan Islam melalui ucapan dan perbuatannya serta semua tindakannya, baik secara individu maupun berkelompok, berada di tempat maupun dalam perjalanan, atau dalam keadaan bangun maupun tidur.Begitu pula mengenai hubungannya dengan Allah dan manusia, seperti hubungan dengan kaum kerabat, orang lain, orang-orang yang dikasihinya dan musuh-musuhnya, baik dalam keadaan damai maupun perang, dan keadaan suka maupun duka.Itulah akhlak beliau yang merupakan teladan bagi kita semua.
Disamping itu Nabi Muhammad SAW juga sebagai manusia biasa sebagaimana manusia yang lain sebagaimana banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an yang menjelaskannya. Beliau juga memiliki kebutuhan jasmani dan ruhani, memiliki keinginan dan selera dan memiliki kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari beliau. Ketetapan beliau dalam kapasitas beliau sebagai Rasul merupakan sumber syariat yang tidak diperdebatkan, namun apakah segala yang datang dari beliau sebagai manusia biasa dalam konteks bahwa sebagian perbuatan dan perkataan beliau yang muncul dari sifat kemanusiannya (Jibillatul Basyariyah)juga merupakan sumber syari'at yang mengikat? Banyak umat Islam, yang tidak memahami secara utuh tentang perbuatan Rasulullah SAW.Mereka menganggap bahwa setiap yang dikerjakan oleh Rasulullah SAW wajib atau disunnahkan untuk diikuti. Padahal kalau kita kaji secara seksama masalah tersebut, ternyata para ulama merincinya dan sampai pada kesimpulan bahwa tidak setiap apa yang dikerjakan oleh Rasulullah SAW, kita serta harus mengikutinya, baik yang bersifat wajib maupun sunnah.

B.      Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian sunnah tasyri’iyyah?
2.      Apa pengertian sunnah ghoiru tasyri’iyyah?
             3.   Apa sajakah kriteria sunnah tasyri’iyyah dan sunnah ghoiru tasyri’iyyah
C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui pengertian sunnah tasyri’iyyah
2.      Mengetahui pengertian sunnah ghoiru tasyri’iyyah
3.      Mengetahui apa saja kriteria-kriteria sunnah tasyri’iyyah dan sunnah ghoiru tasyri’iyyah







BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian sunnah tasyri’iyyah
Sunnah Tasyri’iyah adalah sunnah yang berkaitan dengan risalah kenabian sehingga umatnya berada pada garis keniscayaan untuk menerimanya. Dalam pendapat lain dikatakan bahwa sunnahTasyri’iyah adalah sunnah yang muncul dari kapasitas Nabi Muhammad SAW sebagai penyampai risalah.[1]
Pada umumnya Sunnah Rasul itu terdiri dari ucapan, perbuatan dan ketetapannya yang mempunyai hukum yang mesti diikuti (Sunnah Tasyri’iyah). Umpamanya, perbuatan yang muncul dari beliau dalam bentuk penyampaian risalah dan penjelasannya terhadap Al-Qur’an tentang beberapa masalah ibadah yang bersifat umum dan mutlak, seperti menjelaskan bentuk dan tata cara shalat dan lainnya. Karena itu, apa yang datang dari beliau hendaklah diterima dengan ketaatan sepenuh hati sebagai bukti seseorang dianggap beriman pada Rasul SAW dan apa yang beliau larang haruslah dihindari.
Sunnah pada dasarnya berarti perilaku teladan dari seseorang tertentu. Dalam konteks Islam, ia merujuk kepada model perilaku Islam, ia merujuk kepada model perilaku Rasul. Konsep Islam tentang sunnah bersumber dari apa diutusnya Rasul, karena Al-Quran memerintahkan kepada kaum muslimin untuk mencontoh perilaku rasul, dinyatakan sebagai teladan dan agung, maka perilaku Rasul lalu menjadi “ideal” bagi kaum muslimin dan muslimat dengan dasar wahyu. Otoritas pokok bagi umat Islam adalah Al-Quran. Meskipun demikian, Al-Quran juga menyatakan bahwa Rasulullah adalah penafsir ayat-ayat Al-Quran.[2]
Sunnah Tasyri’iyah adalah Sunnah yang mengandung unsur pensyariatan bersifat abadi, dan berlaku untuk semua ruang dan waktu (‘am) serta tidak terpengaruh dengan perubahan zaman.[3]
Dengan demikian menurut penulis yang seperti di terangkan ustad kami, ustad munjin, menyatakan bahwasaannya sunnah Tasyri’iyah adalah Apa saja  yang berasal dari Nabi dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah SAW yang bertugas menyampaikan risalah kenabiannya yang bersifat religious kepada hamba Allah yang ada di muka bumi ini bukan halnya sebagai insan biasa.

B. sunnah ghoiru tasyri’iyyah
Al-Qaradhawi mendefinisikan Sunnah Ghairu Tasyri’iyah adalah Sunnah yang tidak ada maksud untuk diteladani.[7] Sunnah Ghairu Tasyri’iyah adalah sunnah yang tidak mengandung unsur syariat karena terikat dengan situasi, kondisi dan konteks saat di mana NabiMuhammad SAW mengeluarkan sabda tersebut (ghairu Tasyri’iyah) bersifat temporal (khas) dan situasional (hal mu’ayyan).
Sunnah Ghairu Tasyri’iyah, yaitu Sunnah yang tidak mesti diikuti dan tidak mengikat.Misalnya ucapan atau perbuatan Nabi Muhammad SAW yang timbul dari hajat insani dalam kehidupan keseharian beliau, seperti makan, cara berpakaian, urusan pertanian dan lainnya. Kalau perbuatan tersebut memberi suatu petunjuk tentang tata cara makan dan minum, berpakaian dan lainnya, maka menurut pendapat jumhur ulama hukum mengikutinya adalah sunnat.
Menurut Musa Syahin, pencetus dari pemetaan Sunnah Tasyri’iyyah dan ghairu tasyri’iyyah adalah Syaikh Muhammad Syaltut. Beliau membahas permasalahan ini secara khusus sehingga menjadi rujukan ulama dan pemikir setelahnya. Syaltut adalah orang pertama yang membuat diskusi tasyri’iyyah dan ghairu tasri’iyyah ini.[8]
Menurut Dr. Tarmizi M. Ja'far, dalam memahami pendapat Abdul Wahhab Khallaf tentang hadis atau sunnah nabi yang tidak termasuk kedalam katagori sunnah Ghairu Tasyri’iyah yang wajib untuk di ikuti adalah sebagai berikut:
 1. Apa yang datang dari Nabi Muhammad SAW yang berasal dari tabi'at kemanusiaan, seperti duduk, berjalan, tidur, makan, minum, semua itu bukan merupakan Tasyri’iyah. Kenapa? Karena ia berasal dari sumber kemanusiaannya bukan risalah. Namun apabila ia datang dari sifat kemanusiaan dan ada dalil yang menunjukkan sebagai teladan, ia berubah menjadi Tasyri’iyah disebabkan adanya dalil ini.
  2. Apa yang datang dari nabi yang berupa pengetahuan (alkhibrah al-insaniyyah), keahlian, dan eksperimen dalam urusan keduniawian, misalnya adalah perdagangan, pertanian, pengaturan pasukan tentara dan peperangan, pemberian resep obat-obatan tertentu bagi orang sakit dan sejenisnya, semua itu juga bukan Tasyri’iyah, karena ia berasal dari bukan ruang lingkup risalah, melainkan hasil dari pengetahuan keduniawian dan penilaian Nabi Muhammad SAW yang bersifat pribadi.
 3. Apa yang berasal dari Nabi dan ada dalil syari'at yang menunjukkan bahwa itu khusus berlaku baginya, maka itu bukan tasyri'iyyah umum.[9]

c. kriteria sunnah tasyri’iyyah
Banyak sekali hadits atau sunnahTasyri’iyah yang ditemukan dalam hadis. Yang termasuk sunnah Tasyri’iyah adalah Apa saja yang berasal dari Nabi dalam  kapasitasnya sebagai Rasul yang bertugas menyampaikan risalah kenabiannya, seperti penjelasan beliau terhadap maksud al-Qur’an, tentang hukum halal dan haram, tentang aqidah dan ahlak atau hal-hal yang  berkaitan  dengannya. Sunnah Nabi yang demikian ini mengikat secara umum kepada setiap individu muslim sampai hari qiyamat:[5]
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : لاَ يَحِلُّدَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُوْلُ اللهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ : الثَّيِّبُالزَّانِي، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ (رواه بحر ومسلم(
Artinya:    Dari Ibnu Mas’ud radiallahuanhu dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan bahwa saya (Rasulullah) adalah utusan Allah kecuali dengan tiga sebab: Orang tua yang berzina, membunuh orang lain (dengan sengaja), dan meninggalkan agamanya berpisah dari jamaahnya. (Riwayat Bukhori dan Muslim).[6]
 
D. kkriteria sunnah ghoiru tasyri’iyyah
Berangkat dari perkataan Nabi “أنتم أعلم بأمر دنيكم ”,  (kalian lebih mengetahui dengan urusan dunia kalian), mengindikasikan bahwa hanya persoalan dunia saja yang termasuk sunnahGhairu Tasyri’iyah. Menurut Tarmizi M. Jakfar sebagaimana hasil telaah dari buku Al-Qardhawi bahwasanya ada 5 (lima) kriteria yang termasuk kedalam sunnah Ghairu Tasyri’iyah, yaitu:
a.       Perbuatan dan perkataan Nabi berdasarkan keahlian eksperimental dan aspek-aspek teknisnya.
            Kriteria ini sebagaimana yang terdapat dalam hadis tentang penyerbukan kurma diatas. Nabi menjelaskan kepada penduduk Madinah mengenai pendapatnya yang bersifat dugaan tidak perlu menyerbuki kurma yang beliau tidak memiliki pengalaman tentangnya, yang kemudian menyebabkan kualitas hasil kurma penduduk madinah menjadi rendah, karena mengikuti anjuran Rasul yang mereka anggap sebagai agama dan hokum syari'at yang harus mereka ikuti. Karena itu, Nabi bersabda, "Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian".[12]
            Jadi yang termasuk ke dalam persoalan eksperimental ini, misalnya pertanian, industri, kedokteran, persoalan perang dan penemuan-penemuan    lain yang bersifat teknis dan tergolong kedalam urusan dunia, bukan persoalan         religius.
b.      Perbuatan dan perkataan Nabi sebagai kepala Negara dan hakim
            Kriteria untuk membedakan sunnah yang lahir dari Nabi Muhammad sebagai seorang penyampai risalah dan sunnah yang muncul dari beliau sendiri sebagai pemimpin Negara hanya dengan memahami konteks dan konsideran yang melatarbelakangi lahirnya sunnah tersebut. Di samping itu, topik masalah dalam sunnah itu merupakan kemaslahatan yang berkaitan dengan dengan urusan politik, ekonomi, militer, administrasi dan sebagainya. Diantara bukti yang menunjukkan suatu pesan hadis merupakan keputusan seorang kepala Negara adalah adanya sebuah teks (nash) lain, atau beberapa teks lain yang bertentangan dengan teks yang ada karena perbedaan tempat, waktu atau keadaan yang menunjukkan bahwa hal itu dilakukan untuk menjaga kemaslahatan parsial dan temporer yang sifatnya kondisional, tidak dimaksudkan sebagai hukum syari'ah yang abadi dan berlaku umum.[13]Untuk mengetahui tentang hadis tersebut sangat diperlukan mempelajari asbabul wurud dari suatu hadis.
c.       Perintah dan larangan Nabi yang bersifat Anjuran
Perintah atau larangan tersebut harus berkaitan dengan kemaslahatan atau kemanfaatan duniawi.Hal ini dapat dilihat dimana para sahabat tidak merasa keberatan meninggalkan sebagian perintah Nabi manakala perintah atau larangan tersebut menurut mereka hanya bersifat anjuran atau penyuluhan untuk mencari kemaslahatan atau kebaikan duniawi. Seperti: perintah nabi untuk menyemir uban.[14]
d.      Perbuatan Murni Nabi (al-fi'l al-mujarrad)
            Perbuatan murni Nabi yang dimaksudkan disini adalah perbuatan yang tidak ada indikasi ibadahnya, seperti masalah makan, Nabi makan dengan tangan kanan dan tidak menggunakan sendok, makan pun dengan menggunakan tiga jari serta duduk lesehan di lantai, maka jika tidak ada sunnah qauliyah yang menegaskan harus makan demikian, berarti ia tergolong sebagai perbuatan murni dan bukan syari'at yang harus diikuti (Ghairu Tasyri’iyah).[15] Maka dalam hal ini bukanlah bid'ah (melawan sunnah) jika kita makan dengan sendok dan duduk di meja makan. Akan tetapi makan dan minum dengan tangan kanan itu adalah syari'at yang harus di ikuti karena ada hadis qauliyah mengenai hal ini, yaitu Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila seseorang di antara kalian makan hendaknya ia makan dengan tangan kanan dan minum hendaknya ia minum dengan tangan kanan, karena sesungguhnya setan itu makan dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya." Riwayat Muslim.
e.       Perbuatan Nabi sebagai Manusia (al-fi'l al-jibillyy)
Beberapa contoh perbuatan Nabi sebagai manusia yang disebutkan oleh al-Qardhawi sebagai mana yang disebutkan oleh Dr. Tarmizi M. Ja'far adalah adanya riwayat shahih bahwa beliau senang makan sampil kamping dan suka kepada sayur dubba' (sejenis sayuran buah labu).
Sebagaimana Hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik ra.:
            "Seorang penjahit mengundang Rasulullah SAW. untuk menghadiri suatu jamuan makan. Kata Anas: Aku berangkat bersama Rasulullah SAW. menghadiri jamuan makan tersebut. Kepada Rasulullah SAW. tuan rumah menghidangkan roti dari gandum serta kuah berisi labu dan dendeng. Anas berkata: Aku melihat Rasulullah SAW. Mencari labu dari seputar mangkuk kuah itu. (Shahih Muslim No.3803)
Dengan demikian lanndasan utama dari adanya sunnahGhairu Tasyri’iyah ini adalah sunnah Nabi sendiri yang mengatakan bahwa dirinya adalah manusia biasa dan alasan pendukung adalah amalan atau praktik para sahabat, kebolehan Nabi untuk berijtihad sunnah nabi sebagai Ijtihad atau sunnah atau hadis nabi yang bukan berasal dari wahyu.




























BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sunnah Tasyri’iyah adalah Apa saja  yang berasal dari  Nabi  dalam  kapasitasnya sebagai   Rasul   yang bertugas menyampaikan   risalah kenabiannya yang bersifat religius. Sunnah tersebut tidak ada maksud untuk diteladani. Akan tetapi bila diteladani atas dasar kecintaan yang teramat sangat kepada Nabi, hal ini sifatnya boleh (ibahah) dan mudah-mudahan mendapat pahala disisi Allah karena kecintaannya. Akan tetapi yang ingin ditekankan disini adalah tidak kemudian menjadi bid'ah bagi orang yang melakukan dengan cara berbeda dari apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW yang berasal dari sifat kemanusiaannya itu. Adapaun yang juga termasuk sunnah  Tasyri’iyah juga seperti tugas beliau dalam menyampaikan   risalah kenabiannya, seperti penjelasan beliau terhadap maksud al-Qur’an,  tentang  hukum  halal  dan  haram,  tentang aqidah dan ahlak atau hal-hal yang  berkaitan  dengannya.
Sedangkan Istilah Sunnah ghairu tasyri’iyyah masih diperdebatkan (ada yang pro dan ada yang kontra) dan tidak dikenal pada masa salaf al-shalih. Munculnya istilah sunnah ghairu tasri’iyyah pada akhir abad 14 H, di antara pencetusnya adalah Syeikh Muhammad Syaltut.
Sunnah Ghairu Tasyri’iyah adalah sunnah yang tidak mengandung unsur syariat karena terikat dengan situasi, kondisi dan konteks saat di mana Nabi SAW mengeluarkan sabda tersebut (ghairu Tasyri’iyah) bersifat temporal (khas) dan situasional (hal mu’ayyan). Apa yang datang dari Nabi Muhammad SAW yang berasal dari tabi'at kemanusiaan, seperti duduk, berjalan, tidur, makan, minum, Apa yang datang dari nabi yang berupa pengetahuan (alkhibrah al-insaniyyah), keahlian, dan eksperimen dalam urusan keduniawian, misalnya adalah perdagangan, pertanian. Bahkan ada perkara yang (khususiat), yaitu tertentu bagi Nabi Muhammad Saw sendiri dan bukan merupakan undang-undang yang berlaku bagi seluruh umat Islam, seperti Rasulullah Saw. diperbolehkan  mengawini wanita lebih dari 4 orang, wajib shalat Tahajud bagi Rasul dan lainnya. 
 B. Saran
Demikianlah makalah yang kami berisikan tentang spengertian dan kriteria sunnah tasyri’iyyah dan sunnah ghoiru tsyri’iyyah. Makalah ini pun tak luput dari kesalahan dan kekurangan maupun target yang ingin dicapai. Adapun kiranya terdapat kritik, saran maupun teguran digunakan sebagai penunjang pada makalah ini. Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan banyak terima kasih.





















DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahhab Khallaf, 'Ilm Ushul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, 1978.
Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung:Pustaka, 1984.
Ibn Qayyim Al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqqi’in, Juz. III, Beirut: Dar al-Fikr al-‘Ilmiyyah, 1991.
Imam An-Nawawi, Matn-Arba'in, Jakarta: Cahaya Ummat: 2008..
Mahmud Saltut, Al-Islam Aqidah wa Syari’ah, Dar al-Qalam, l966.
Syahin Lasyin, Musa,  Assunnah Kulluha Tasyri’, Qatar:Qatar University, t. Th.
Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: kencana, 2008.
Tarmizi, M. Jakfar, Otoritas Sunnah non Tasyri’iyah Menurut Yusuf Al-Qardhawi, Jokjakarta: Ar Ruzz Media, 2011.
Yusuf Al-Qardhawi, as-Sunnah Mashdaran li al-Ma'rifah wa al-Hadharh, Kairo: Dar al-Syuruq, 1998.

http://www.tuankumuhammad.com/2017/02/sunnah-tasyriiyyah-dan-ghairu.html





[1] Tarmizi, M. Jakfar, Otoritas Sunnah non Tasyri’iyah Menurut Yusuf Al-Qardhawi, (Jokjakarta: Ar Ruzz Media, 2011), hlm. 15.
                [2]  Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung:Pustaka, 1984), hal. 44.
[3] http://www. ulumulhadits.com. diakses pada selasa, 24 Januari 2016.
[4] Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: kencana, 2008),jilid I, hlm. 111.
[5] Mahmud Saltut, Al-Islam Aqidah wa Syari’ah, (Dar al-Qalam, l966), hlm. 508-509.
[6] Imam An-Nawawi, Matn-Arba'in, hlm. 31.
[7] Tarmizi M. Jakfar, otoritas…,  hlm. 421.
                [8] Musa Syahin Lasyin, Assunnah Kulluha Tasyri’, (Qatar:Qatar University, t. Th), hlm. 38.
[9] Tarmizi, M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non Tasyri'iyyah Menurut Yusuf Al-Qardhawi,(Jokjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 122. Lihat juga, Abdul Wahhab Khallaf, 'Ilm Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), hlm. 43-44.
[10] Tarmizi, M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non Tasyri'iyyah Menurut Yusuf Al-Qardhawi, (Jokjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 20.
[11] Ibn Qayyim Al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqqi’in, Juz. III, (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Ilmiyyah, 1991), hlm. 11.
[12]Tarmizi, M. Jakfar, Otoritas..., hlm. 278-279.
[13]Lihat penjelasan Tarmizi, M. Jakfar, Otoritas..., hlm. 284. dalam mengutip pendapat al-Qardhawi, lihat juga Al-Qardhawi, as-Sunnah Mashdaran li al-Ma'rifah wa al-Hadharh,(Kairo: Dar al-Syuruq, 1998), hlm. 60.
[14]Ibid., hlm. 258.
[15]Ibid., hlm. 286-287.

.





























No comments:

Post a Comment