METODE PENAFSIRAN
(Tafsir Ijmali, Tafsir Tahlili, Tafsir Muqaran, Tafsir Maudhu’i )
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Tafsir Hadist
Yang dibina oleh Ustad Yusuf Hanafi
oleh
Achmad Nazilul Chaqqi (150231604243)
Fitri Nabilatul Islamiyah (150231602810)
Himmatus Tsuroyya (150231601000)
Muhammad Taufik (150231602412)
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SASTRA ARAB
S1 PENDIDIKAN BAHASA ARAB
Februari 2018
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim puja dan puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebatas pengetahuan dan kemampuan yang kami miliki, dan juga kami berterima kasih kepada Ustad Yusuf Hanafi, selaku Dosen pengampu mata kuliah Tafsir Hadist yang telah membimbing kami dengan sebaik-baiknya.
Dalam penyusunan makalah ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi, namun kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak lain berkat bantuan dan dorongan dari teman-teman kami maka, tak lupa ucapan terimakasih kami kepada dosen dan teman-teman yang telah berkenan membantu menyelesaikan tugas makalah ini, sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Kami sangat berharap makalah ini akan berguna untuk menambah wawasan dan pengetahuan kami mengenai Macam-macam Metode Penafsiran. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat banyak kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran, dan usulan bagi para pembaca demi perbaikan yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Malang, 8 Februari 2018
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Rumusan Masalah 1
1.3 Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Munculnya Macam-Macam Metode Penafsiran Al-Qur’an 3
2.2 Macam-macam Metode Penafsiran 5
2.2.1 Tafsir Ijmali 5
2.2.1.1 Pengertian 5
2.2.1.2 Langkah-Langkah Penafsiran 7
2.2.1.3 Kelebihan 7
2.2.1.4 Kelemahan 8
2.2.2 Tafsir Tahlili 8
2.2.2.1 Pengertian 8
2.2.2.2 Langkah-Langkah Penafsiran 10
2.2.2.3 Kelebihan 10
2.2.2.4 Kelemahan 11
2.2.3 Tafsir Muqaran 11
2.2.3.1 Pengertian 11
2.2.3.2 Langkah-Langkah Penafsiran 14
2.2.3.3 Kelebihan 14
2.2.3.4 Kelemahan 15
2.2.4 Tafsir Maudhu’I 15
2.2.4.1 Pengertian 15
2.2.4.2 Langkah-Langkah Penafsiran 17
2.2.4.3 Kelebihan 18
2.2.4.4 Kelemahan 18
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan 19
DAFTAR RUJUKAN 20
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Al-Qur’an Al-Karim adalah kalamuAllah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai petunjuk bagi umat manusia, penjelasan-penjelasan terhadap petunjuk tersebut dan sebagai Al-Furqon. Dengan begitu maka Al-Qur’an haruslah dipahami dengan tepat dan benar. Uapaya dalam memahami Al-Qu’an disebut dengan istilah tafsir, yang mana akitivitas penafsiran Al-Qur’an tidaklah mudah dan dapat dilakukan oleh setiap orang karena kompleksnya persoalan yang dikandung di dalam Al-Qur’an serta kerumitan persoalan yang digunakannya. Setiap redaksi yang ditulis di dalam Al-Qur’an tidaklah mudah untuk kita pahami maksudnya secara pasti kecuali oleh pemilik Al-Qur’an itu, namun upaya dalam menafsirkan Al-Qur’an tetaplah dilakukan karena dirasa penting dan perlu memahaminya.
Penafsiran terhadap Al-Qur’an telah tumbuh dan perkembang pada saat masa-masa awal pertumbuhan islam, dan hal ini juga pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dalam menjelaskan segala persoalan umat yang mana pada saat sahabat tidak mengetahui dan memahami maksud dari kalam Allah maka, seorang sahabat menanyakannya kepada Nabi Muhammad SAW. Seiring berjalannya waktu dan sepeninggal Nabi, aktifitas penafsiran terus dilakukan karena munculnya persoalan-persoalan baru dalam dinamika kehidupan. Dan dalam menafsirkan Al-Qur’an terdapat banyak metode atau cara yang dilakukan oleh seorang mufassir anatara lain metode tahlili, metode ijmali, metode maudhu’i, dan metode muqaran.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah munculnya metode penafsiran Al-Qur’an?
2. Apa yang dimaksud dengan metode penafsiran ijmali?
3. Apa yang dimaksud dengan metode penafsiran tahlili?
4. Apa yang dimaksud dengan metode penafsiran muqaran?
5. Apa yang dimaksud dengan metode penafsiran maudhu’i?
6. Bagaimana langkah-langkah dalam menafsirkan Al-Qur’an di setiap metode penafsiran?
7. Apa saja kelebihan dan kekurangan setiap metode penafsiran Al-Qur’an?
1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui sejarah awal munculnya metode penafsiran
2. Untuk mengetahui macam-macam metode penafsiran Al-Qur’an
3. Untuk mengetahui langkah-langkah setiap metode penafsiran Al-Qur’an
4. Untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan setiap metode penafsiran Al-Qur’an .
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 SEJARAH MUNCULNYA MACAM-MACAM METODE PENAFSIRAN AL-QUR’AN
Sejarah perkembangan tafsir dimulai pada masa Nabi Muhammad SAW dan para sahabat yaitu sekitar abad ke 1 H. Penafsiran ayat Al-Qur’an pada masa itu secara ijmali, artinya tidak memberikan rincian yang memadai. Metode ijmali ini kemudian diterapkan oleh Al-Suyuthi di dalam kitabnya al-jalalain, al-mirghami, di dalam kitabnya taj al-tafsir. Kemudian pada abad 3 H diikuti oleh metode tahlili dengan mengambil bentuk al-ma’tsur, kemudian tafsir ini berkembang dan mengambil bentuk al-ra’y. tafsir dalam bentuk ini kemudian berkembang terus dengan pesat sehingga mengkhususkan kajiannya dalam bidang-bidang tertentu seperti fikih, tasawuf, bahasa, dan sebagainya. Seiring perkembangan zaman para ulama tafsir berusaha menafsirkan Al-Qur’an lebih spesifik lagi, lalu mereka mengkhususkan tafsirannya pada bidang-bidang tertentu, maka lahirlah tafsir fikih, tasawuf, teologi, bahasa, dan sebagainya itulah yang kemudian diistilahkan dengan corak tafsir. Kemudian pada abad ke 5 H lahirnya metode muqaran (komparatif). Dapat dikatakan bahwa corak-corak serupa inilah di abad modern, tepatnya di abad ke 13 H yang mengilhami lahirnya tafsir maudhu’I atau disebut juga dengan (metode tematik)
Lahirnya metode-metode tersebut disebabkan oleh tuntutan perkembangan masyarakat yang selalu dinamis. Pada zaman Nabi dan sahabat pada umumnya mereka adalah ahli bahasa Arab dan mengetahui secara baik latar belakang turunnya ayat (Asbabun nuzul), serta mengalami secara langsung situasi dan kondisi ketika ayat-ayat Al-Qur’an turun. Dengan demikian mereka relative dapat memahami ayat-ayat Al-Qur’an secara benar, akurat, dan tepat. Dan umat pada zaman dahulu tidak membutuhkan uraian yang rinci namun hanya dengan isyarat dan penjelasan secara global, maka dari itu Nabi tidak perlu memberikan tafsir secara detail.
Berdasarkan kenyataan tersebut, dapat dikatakan bahwasannya kebutuhan umat islam saat itu terpenuhi oleh penafsiran yang singkat (global) karena mereka tidak memerlukan penjelasan yang rinci dan mendalam. Maka tidak dapat dipungkiri bahwa pada abad pertama berkembang metode global (ijmali) dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an, bahkan para ulama yang datang kemudian melihat bahwa metode global terasa lebih praktis dan mudah dipaham, kemudian metode ini banyak diterapkan. Ulama yang menggunakan dan menerapkan metode ijmali pada periode awal seperti: al-suyuthi dan al-mahalli di dalam kitab tafsir yang monumental yaitu al-jalalain, al-mirghami di dalam kitab Taj al-tafsir. Tetapi pada periode berikutnya, setelah islam mengalami perkembangan lebih luas sampai di luar Arab, dan banyak bangsa non Arab yang masuk islam membawa konsekuensi logis terhadap perkembangan pemikiran islam. Maka, konsekuensi dari perkembangan ini membawah pengaruh terhadap penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan kehidupan umat yang semakin kompleks dan beragam. Kondisi inilah yang mendorong lahirnya metode analisis (tahlili), sebagaimana yang tertuang di dalam kitab-kitab tafsir tahlili seperti: tafsir At-Thabrani, metode penafsiran serupa itu terasa cocok di masa itu karena dapat memberikan pengertian dan penjelasan yang rinci terhadap pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an. Maka pada perkembangan berikutnya, metode penafsiran serupa juga diikuti oleh para ulama-ulama tafsir yang datang kemudian dan bahkan berkembang dengan sangat pesat dalam dua bentuk penafsiran yaitu, al-ma’tsur dan al-ra’y dengan berbagai corak yang dihasilkannya seperti: fiqih, tasawuf, falsafi, ilmi, adabi, dan ijtima’i.
Dengan munculnya dua bentuk penafsiran dan didukung dengan berbagai corak tersebut, umat islam ingin mendapatkan informasi yang lebih jauh berkenaan dengan kondisi dan kecenderungan serta keahlian para pakar tafsir. Selain itu umat juga ingin mengetahui pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an yang terlihat mirip padahal pengertiannya berbeda, kondisi ini mendorong para ulama khususnya mufassir untuk melakukan perbandingan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang pernah diberikan oleh mufassir sebelumnya dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan demikian lahirlah tafsir dengan metode perbandingan (muqaran) seperti yang diterapkan oleh al-Iskaf di dalam kitabnya Darrat al-Tanzil wa Ghurrat al-Ta’wil dan oleh Karmani di dalam kitabnya al-Burhan fi Taujih Mutasyabah Al-Qur’an.
Perkembangan selanjutnya pada abad modern, untuk menanggulangi permasalahan yang dihadapi umat pada abad modern yang mana pada abad ini jauh lebih kompleks dibandingkan dengan generasi terdahulu, ulama tafsir menawarkan tafsir Al-Qur’an yang disesuaikan dengan realitas kehidupan masyarakat dengan metode baru yang disebut dengan metode tematik (maudhu’i).
2.2 MACAM-MACAM METODE TAFSIR AL-QUR’AN
Kata “metode” berasal dari bahasa yunani methodos yang berarti “cara” atau “jalan”. Dalam bahasa inggris ditulis method. Dalam bahasa Indonesia kata tersebut mengandung arti, cara yang teratur dan berfikir baik untuk mancapai maksud dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya, cara kerja ynag sistematis untuk memudahkan pelaksanna suatu kegiatan guna mencapai suatu yang ditentukan. Dalam bahasa Arab manhaj berarti jalan yang terang.
Dapat dirumuskan bahwa metode tafsir adalah suatu cara yang teratur dan terfikir baik, untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa metode tafsir Al-Qur’an terdiri dari kumpulan kaidah dan aturan yang harus diindahkan oleh seorang mufassir ketika menafsirkan Al-Qur’an. Dalam kurun waktu yang terbentang sejak diutusnya Nabi Muhammad hingga kini telah lahir empat macam metode tafsir. metode-metode tersebut adalah :
2.2.1 METODE IJMALI
2.2.1.1 Pengertian
Tafsir Ijmli adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan cara menjelaskan maksud Al-Qur’an secara global, tidak terperinci seperti tafsir tahlili, atau menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan menggunakan bahasa yang popular, mudah dimengerti,dan enak dibaca. Sistematika tulisannya menurut susunan ayat-ayat yang terdapat dalam mushaf. Selain itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih mendengarkan al-Qur’an, padahal yang didengarnya adalah tafsirannya.
Tafsir dengan metode ini ditetapkan secara khusus bagi orang awam agar mudah memahami maksud yang terkandung dalam Al-Qur’an. Karena dengan menggunakan metode ini, seorang mufassir berbicara kepada pembacanya dengan cara yang termudah, singkat, tidak berbelit-belit yang dapat menjelaskan arti suatu ayat sebats artinya tanpa menyinggung hal-hal lain dari arti yang dikehendaki, dengan target pihak pembaca memahami kandungan pokok Al-Qur’an. Ciri-ciri penafsiran yang dilakukan terhadap ayat-ayat al-Qur’an ,ayat demi ayat,surat demi surat,sesuai dengan urutannya dalam mushaf. Kadangkala mufassir menafsirkan al-Qur’an dengan lafadh al-Qur’an , sehingga pembaca merasa bahwa uraian tafsirnya tidak jauh dari konteks al-Qur’an dengan penyajiannya yang mudah dan indah. Metode tafsir ijmali hampir sama dengan metode tafsir Tahlili, tetapi penafsirannya tidak secara terperinci seperti tafsir Tahlili, hanya secara ringkas dan umum.
Sebagai contoh dari tafsir ijmali ini adalah kitab tafsir jalalain yangsangat terkenal di Indonesia. Dalam kitab ini Al—Qur’an ditafsirkan secara berurutan dari Al- Fatihah sampai dengan An-Nas, ayat per ayat, bahkan kata perkata. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh dibawah ini:
(الم) الله أعلم بمراده بذلك (ذلك) أي هذا (الكتاب) الذي يقرؤوه محمد (لا ريب) لا شكّ (فيه) أنه من عند الله وجملة النفي خبر مبتدؤه ذلك والإشارة به للتعظيم (هدًى) خبر ثان أي هاد (للمتّقين) الصائرين إلى التقوى بامتثال الأوامر واجتناب النواهي لا تقائهم بذلك النار.
(Alif lam Mim) Allah yang paling mengetahui apa yang dimaksudnya. (Dzalika/itulah) maksudnya inilah, (al-Kitab) yang dibaca oleh Muhammad, (La raiba/ tidak ada keraguan) tidak ada syak ( fihi/di dalamnya) bahwa ia berasal dari Allah, dan kalimat negative ini berkedudukan sebagai mubtada, sedangkan khabarnya ada dzalika. Pengguna dzalika ini untuk pengagungan (Hudan/petunjuk) berkedudukan sebagai khobar kedua, maksudnya pemberi petunjuk. (lil muttaqiina/untuk orang-orang yang bertakwa) orang-orang yang menuju ketakwaan dengan menaati perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan Allah karena mereka takut kepada neraka.
Dari contoh di atas kita dapat mengetahui bahwa penafsir syekh Jalaludin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan syekh Jalaluddin Abdurrohman bin Abu Bakara As-Suyuti, yang tafsirnya dikenal dengan sebutan tafsir jalalain menafsirkan ayat satu sampai dua surat Al-Baqoroh dengan cara memberikan penjelasan kata per kata, kadang dengan memberikan sinonim, definisi atau makna terminologisnya, dan kadang dengan menjelaskan posisi atau fungsi gramatikalnya. Yang pasti bahwa jenis tafsir ini tidak memberikan analisis dan uraian yang panjang.
2.2.1.2 Langkah-Langkah Penafsiran
Langkah-langkah yang harus ditempuh oleh seorang mufassir apabila ia ingin menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan metode ijmali:
1. Menentukan ayat Al-Qur’an yang akan ditafsirkan menurut urutannya dalam mushaf atau menurut urutan turunnya.
2. Menjelaskan makna mufrodat (kosa kata) dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami.
3. Menjelaskan makna ayat-ayat tersebut berdasarkan kaidah-kaidah bahasa arab, seperti menjelaskan hukum dhamir dan susunan kalimatnya.
4. Dan menjelaskan asbabun nuzulnya dan munasabahnya.
5. Dalam penafsirannya dijelaskan dengan hadist, atsar para sahabat, dan orang-orang shaleh terdahulu atau pendapat penafsir sendiri.
2.2.1.3 Kelebihan
1. Praktis dan mudah dipahami
Dalam penafsiran metode ijmali ini tidak berbelit-belit, sehingga dapat diserap dan dipahami oleh pembacanya. Penafsiran metode ini lebih memudahkan bagi pemula/ orang yang baru belajar tafsir al-Qur’an dan mereka yang ingin memperoleh pemahaman al-Qur’an dalam waktu yang singkat.
2. Bebas dari penafsiran israiliyyat
Metode penafsiran ini memberikan penafsiran yang umum dan ringkas, sehingga relatife lebih murni dan terbebas dari pemikiran-pemikiran israiliyyat. Maka pemahaman al-Qur’an dapat dijaga dari intervensi pemikiran-pemikiran israiliyyat yang terkadang tidak sejalan dengan martabat al-Qur’an.
3. Akrab dengan baghasa al-Qur’an
Cara penyampaian penafsirannya singkat dan padat, bahsanya un tidak jauh dari bahasa al-Qur’an. Karena pada metode ini seorang mufassir langsung menjelaskan pengertian kata atau ayat dengan sinonimnya.
2.2.1.4 Kelemahan
1. Menjadikan petunjuk al-Qur’an bersifat parsial
Semua ayat-ayat al-Qur’an merupakan kesatuan yang utuh dan tidak bisa dipisahkan. Seringkali suatu ayat al-qur’an masih bersifat samar-samar, maka jawaban atas ayat tersebut tedapat pada ayat yang lain.
2. Tidak ada ruangan untuk mengemukakan analisis ilmu madani
Tafsir dengan metode ini tidak memberikan kesempatan kepada mufassirnya untuk menuangkan ide atau analisisnya dalam menafsirkan al-Qur’an
2.2.2 METODE TAHLILI
2.2.2.1 Pengertian
Penafsiran yang dilakukan oleh seorang mufassir ayat demi ayat sevara rinci dan disertai penjelasan yang ditinjau dari aspek-aspek kebahasaan, gramatika, gaya bahasa, aqidah, hukum, sejarah, dan aspek yang dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam metode tahlili segala sesuatu yang dianggap perlu oleh seoramg mufassir diuraikan baik bermula dari penjelasan makna lafadz-lafadz tertentu, ayat per ayat, surat per surat, dan asbabun nuzul.
Menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dari seagala segi dan maknanya, ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai dengan urutan dalam mushaf (Mawardi, Abdullah 2011:167)
Contoh menafsirkan Al-Qur’an dengan metode tahlili:
Firman Allah dalam surat Al-Bayyinah ayat 1 (Madaniyyah)
لم يكن الذين كفروا من أهل الكتاب والمشركين منفكين حتى تأتيهم البيّنة
Orang-orang kafir dari golongan Ahli kitab dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan (agama mereka) sampai datang kepada mereka bukti yang nyata.
Ayat tersebut menjelaskan bahwasannya orang-orang yang mengingkari risalah Muhamad SAW dan meragukan kenabiannya yakni kaum musyrikin dan nasrani, selamanya tidak akan mau meninggalkna pegangan mereka karena kekafiran yang sudah keterlaluan. Mereka telah meninggalkan kebenaran dan lebih menyukai pegangan yang diwariskan nenek moyang mereka. Sekalipun pada kenyataannya nenek moyang itu tidak mengerti sama sekali permasalahan agama.
Rasulullah hadir di tengah-tengah mereka dengan membawa ajaran yang menggoncangkan terhadap ajaran yang sudah berakar di dalam keyakinan mereka, di samping sudah menjadi kebiasaan yang membudaya. Karenanya, mereka berupaya terus mencari alasan karena didorong oleh sikap ingkar mereka. Mereka mengemukakan hujjah yang mengatakan bahwa apa yang didatangkan Muhammad adalah dengan yang ada di tangan mereka dan bukan merupakan kebaikan jika apa yang didatangkan itu diikuti. Menurut mereka, dengan berpegang pada apa yang ada pada mereka dan berjalan sesuai dengan tata aturan nenek moyang mereka adalah lebih baik dan patut, bahkan lebih disukai oleh perasaan mereka karena dianggap akan membawa perasan.
Firman Allah dalam surat At-Taubah ayat 28-29
يآيها ال1ين آمنوا أنّها المشركون نجث فلا يقربوا المسجد الحرام بعد عامهم هذا وإن خفتم عليه فسوف يغنيكم الله من فضله
Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini. Dan jika kalian khawatir menjadi miskin maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepada kalian dari karuniaNya.
قاتلوا الذين لا يؤمنون باالله ولا باليوم الآخر ولا يرحمون ما حرم الله ورسوله ولا يدينون الحق من الالذين أوتوا الكتاب حتى يعطوا الجزية عن يد وهم صاغرون
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari kemudian dan mereka mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan RasulNya, serta tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah) yaitu orang-orang yang diberikan Al-Kitab kepada mereka sampai mereka mebayar jizyah dengan patuh dan mereka tunduk.
2.2.2.2 Langkah-Langkah Penafsiran
Langkah-langkah yang ditempuh seorang mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an metode tahlili:
1. Memberikan keterangan tentang status ayat surat yang sedang ditafsirkan dari segi makkiyah dan madaniyah.
2. Menjelaskan munasabah ayat atau surat.
3. Menjelaskan asbab Al-Nuzul apabila terdapat riwayat mengenainya.
4. Menjelaskan makna al-mufrodat dari masing-masing ayat, serta unsur-unsur bahasa arab lainnya, seperti dari segi I’rob dan balaghohnya, fashohah, bayan, dan I’jaznya.
5. Menguraikan kandungan ayat secara umum dan maksudnya.
6. Merumuskan dan menggali hukum-hukum yang terkandung di dalam ayat-ayat tersebut.
2.2.2.3 Kelebihan
1. Mempunyai ruang lingkup yang amat luas.
Dengan ruang lingkup yang amat luas ini, seorang mufassir dapat menggunakan dalam dua bentuk yaitu: ma’tsur dan ra’y.
2. Penafsir tahlili mempunyai peluang yang luas dalam menuangkan ide-ide dan gagasannya dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an.
3. Metode ini memiliki corak dan orientasi dibandingkan dengan metode yang lain.
2.2.2.4 Kelemahan
1. Metode ini tidak mampu menyelesaikan satu pokok bahasan secara komperehensif, karena sering kali satu sisi pokok bahasan diuraikan sedang yang lainnya tidak.
2. Para mufassir tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat Al-Qur’an.
• Kitab-kitab tafsir yang menggunkan metode tahlili diantaranya adalah:
a. Tafsir Al-Qur’an Al-‘azhim karya Ibnu Katsir.
b. Tafsir Al-Munir karya Syaikh Nawawy al-Bantany.
- ada yang ditulis dengan sangat panjang seperti kitab tafsir karya al-Lusi, Fakhr al-Din, dan Ibnu Jarir al-Thabari.
- ada yang ditulis sedang seperti kitab Tafsir Imam al-Baidhawi dan al-Naisabury.
Dan ada pula yang ditulis secara ringkas tetapi jelas dan padat, seperti kitab tafsir Al-Jalalayn karya jalal al-din suyuthi dan jalal al-din al-mahalli dan kitab tafsir yang ditulis Muhammad Farid Wadji.
2.2.3 METODE MUQARAN
2.2.3.1 Pengertian
Metode yang menekankan kajiannya terhadap aspek perbandingan (komparasi) tafsir Al-Qur’an mengenai suatu topic dari tema-tema keimanan, fiqih, kebahasaan, dan sebagainya. Dalam hal ini seorang penafsir juga melakukan analisis dan penilaian terhadap tafsir-tafsir tersebut mengenai metode dan sumber-sumber penafsirannya.
Berikut ini adalah contoh metode penafsiran muqaran:
a. Tafsir muqaran yang membahas kasus yang sama dengan redaksi yang berbeda
Firman Allah dalam surat Al-An’am ayat 151 dengan surat Al-Isra’ ayat 31:
Surat Al-An’am ayat 151
قل تعالوا أتل ما حرّم ربّكم عليكم الّا تشركوا به شيئا و بالوالدين احسانا ولا تقتلوا أولادكم من إملاق نحن نرزقكم وإيّاهم ولا تقربوا الفواحش ما ظهر منها وما بطن ولا تقتلوا النفس التي حلرم الله إلا بالحقّ ذلكم وصاكم به لعلّكم تعقلون
Katakanlah (Muhammad), “marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu. Jangan mempersekutanNya dengan apapun, berbuat baik kepada ibu bapak, janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; janganlah kamu mendekati perbuatan yang keji, baik yang terlihat ataupun yang tersembunyi, janganlah kamu membunuh ornag yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu mengerti.”
Surat Al-Isra’ ayat 31
ولا تقتلوا أولادكم خشية إملاق نحن نرزقهم وإيّاكم إنّ قتلهم كان خطئا كبيرا
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu Karen takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu, membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang besar.
Dua ayat tersebut membahas kasus yang sama, yaitu larangan membunuh anak-anak karena alasan kemiskinan, namun redaksinya terlihat berbeda. Perbedaan itu bisa dilihat dari segi mukhatab (objek) nya. Mukhatab pada auat pertama adalah orang miskin, sehingga redaksi yang digunakan adalah (من إملاق) yang berarti karena alasan kemiskinan. Tegasnya, “janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena kamu miskin”. Sementra itu, mukhatab pada ayat kedua adalah orang kaya sehingga redaksi yang digunakan adalah (خشية إملاق) yang berarti karena takut menjadi miskin. Tegasya, “janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena kamu takut menjadi miskin”. Selanjutnya pada ayat pertama dhamir mukhatabnya didahulukan dengan maksud untuk menghilangkan kekhawatiran si miskin bahwa ia tidak mampu memberikan nafkah kepada anaknya, sebab Allah akan memberikan rezeki kepadanya. Jad kedua ayat itu menumbuhkan optimism kepada si kaya maupun si miskin.
b. Tafsir muqaran yang beredaksi mirip namun membahas kasus yang berbeda
Firman Allah dalam surat Al-Anfal ayat 10 dan surat Ai Imran ayat 126:
Surat Al-Anfal ayat 10
وما جعله الله إلّا بشرى ولتطمئنّ به قلوبكم وما النصر إلّا من عند الله إنّ الله عزيو حكيم
Dan tidaklah Allah menjadikannya melainkan sebagai kabar gembira agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah di sisi Allah. Sungguh Allah Mahapekasa, Mahabijaksana.
Surat Ali Imran ayat 126
وما جعله الله إلّا بشرى اكم ولتطمئن قلوبكم به وما النصر إلّا من عند الله العزيز الحكيم
Dan Allah tidak menjadikannya (pemberian bala-bantuan itu) melainkan sebagai kabar gembira bagi (kemenangan)mu, dan agar hatimu tenang karenanya. Dan tidak ada kemenangan itu, selain dari Allah ynag Mahaperkasa, Mhabijaksana.
Dua ayat tersebut redaksinya terlihat mirip, bahkan sama-sama menjelaskan pertolongan Allah kepada kaum muslimin dalam bertempur melawan musuh. Variasi yang dapat dilihat adalah:
1. Surat Al-Anfal mendahulukan kata (bihi) daripada (quluubukum).
2. Surat Al-anfal menggunakan kata (inna), sedangkan Ali Imran tidak.
3. Surat Ali Imran menggunakan kata (lakum), sedangkan surat Al-Anfal tidak.
4. Surat Al-Anfal berbicara mengenai perang badar, sedangkan surat Ali Imran berbicara tentang perang uhud. Variasi keterdahuluan bihi dan penambahan inna dalam ayat pertama dimaksudkan sebagai penekanan atau penegasan kandungan utama ayat tersebut saat berlangsungnya perang badar. Pada ayat kedua, hal tersebut diduga tidak lagi diperlukan.
2.2.3.2 Langkah-Langkah Penafsiran
Langkah-langkah yang harus dilakukan apabila seseorang ingin menggunakan metode muqaran:
1. Seorang mufassir memilih tema berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dan setelah melakukan study pendahuluan terhadap berbagai kitab tafsir.
2. Membuat rancangan penulisan berdasarkan metodologi penulisan ilmiah dan menyusun sistematika yang tepat, runtut, padu, dan logis.
3. Mengumpulkan data berupa materi yang diambil dari kitab-kitab tafsir yang dikomparasikan, kemudian menulisnya secara cermat dan jujur.
4. Melakukan perbandingan, menguji, dan mendiskusikan secara objektif pendapat dan argumentasi setiap tafsir.
5. Menyimpulkan dengan mengemukakan pandangan penulis mengenai hal-hal yang dikomparasikan.
2.2.3.3 Kelebihan
1. Dapat memusatkan perhatian pada penggalian hikmah dibalik redaksi ayat untuk kasus yang sama dan pemilihan redaksi yang mirip untuk kasus yang berbeda.
2. Mengaitkan hubungan Al-Qur’an dengan hadist yang dibandingkan.
3. Mengetahui orisinalitas penafsiran seorang mufassir, serta memungkinkan mufassir pendatang meminjam penafsiran pendahulunya sehingga dapat mengungkap kecenderungan mufassir.
2.2.3.4. Kelemahan
1. Metode tafsir muqaran tidak bisa diberikan kepada pemula.
2. Kurang bisa diandalkan untuk menjawab permasalahan-permasalahan social yang tumbuh di masyarakat, karena metode ini lebih mengutamakan perbandingan pendapat ulama tafsir daripada memecahkan problema yang ada di masyarakat.
3. Terkesan lebih mengutamakan penafsiran-penafsiran ulama terdahulu daripada mengemukakan penafsiran-penafsiran yang baru.
2.2.4 METODE MAUDHU’I
2.2.4.1 Pengertian
Metode tafsir maudhu’i disebut juga dengan metode tematik, metode penafsiran ini dilakukan oleh seorang mufassir dalam mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dalam satu tema yang mana ayat-ayat tersebut mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara pengertian yang umum dan khusus, antara yang muthlak dan muqoyyad, dan menjelaskan ayat nasikh dan mansukh.
Istilah tafsir maudhu’I dikenal pada masa modern, oleh karena itu banyak definisi yang banyak dirumuskan oleh para ahli sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Antara lain :
a. Tafsir maudhu’I adalah tafsir yang mengkaji tema tertentu dengan mengambil semua ayat al-Qur’an berkaitan dengan tema tersebut, sehingga terbangun satu pandangan Al- Qur’an yang integral mengenai tema tersebut ( Sa’id, 1986)
b. Tafsir yang menghimpun ayat-ayat yang bertebaran dalam Al-Qur’an berkaitan dengan tema tertentu, kemudian menyusunnya berdasarkan kronologi dan sebab turunnya, setelah itu menafsirkan, menjelaskan, dan mengambil kesimpulan (Al-Farmawy dalam Basir, 2006)
c. Tafsir yang membahas berbagai permaslahn berdasarkan tujuan-tujuan Al-Qur’an dalam satu surat atau lebih (AL-Khalidy,1997).
Berikut ini akan ditunjukkan contoh-contoh penafsiran maudhu’i:
1. Tafsir dari Nabi
الذّيْنَ ءامنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم أولئك لهم الأمن وهم مهتدون
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampradukkan iman mereka dengan kedholiman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itulah orang yang mendapat petunjuk.
Ketika turun ayat ini para sahabat merasa sangat berat, maka mereka pun bertanya, “adakah diantara kita yang tidak pernah berbuat dholim ya Rasul?” seperti yang kalian sangka”, lalu beliau membaca ayat 13 surat Luqman:
و إذ قال لقمان لابنه وهو يعظه يابني لا تشرك بالله إن الشرك لظلم عظيم
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, diwaktu ia memberi pelajaran kepadanya: “hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, karena mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedholiman yang besar”
Ayat ini membatasi makna kedholiman dengan kemusyrikan, dan makna inilah yang digunakan untuk memaknai kata dholim dalam ayat sebelumnya. Dengan demikian, Rasulullah SAW menerapkan penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, dan penafsiran semacam ini disebut sebagai embrio atau batu fondasi untuk tafsir tematik.
2. Tafsir ibnu Abbas
فإذا نفخ في الصور فلا أنساب بينهم يومئذ ولا يتساءلون
Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak pula mereka saling bertanya
Sedangkan dalam surat As-Shofat ayat 50 dinyatakan bahwa mereka saling bertanya
فأقبل بعضهم على بعض يتسألون
Lalu sebagian mereka menghadap kepada sebagian yang lain sambil bercakap-cakap
Ibnu Abbas memberikan penjelasan bahwa ayat pertama (tidak ada percakapan) berlaku pada tiupan sangkakala yang pertama, sedangkan ayat kedua (ada percakapan) berlaku pada tiupan sangkakala yang kedua.
Firman Allah dalam surat Al-An’am dan surat An-Nisa’ mengenai harta anak yatim:
Surat Al-An’am ayat 152
ولا تقربوا مال اليتيم إلا بالتي هي أحسن حتى يبلغ أشدّه
Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim kecuai dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga ia dewasa.
Surat An-Nisa’ ayat 2
وآتوا اليتامى أموالهم ولا تبدلوا الخبيث بالطّيّب
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk.
2.2.4.2 Langkah-Langkah Penafsiran
Langkah-langkah yang harus dilakukan apabila seseorang ingin menggunakan metode maudhu’i:
1. Memilih atau menetapkan masalah Al-Qur’an yang akan dikaji secara maudhu’i.
2. Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan, ayat Makkiyah dan Madaniyah.
3. Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa turunnya, disertai pengetahuan mengenai latar belakang turunnya atau sabab Al—nuzul.
4. Mengetahui hubungan (munasabah)ayat-ayat tersebut dalam masing-masing surahnya.
5. Menyusun tema bahasan dalam kerangka yang pas, utuh, sempurna, dan sistematis.
6. Melengkapi uraian dan pembahasan dengan hadist bila dipandang perlu, sehinnga pembahasan semakin sempurna dan jelas.
2.2.4.3 Kelebihan
1. Cara yang paling efektif untuk mengkaji maksud ayat-ayat Al-Qur’an secara utuh.
2. Menjawab tantangan zaman, ia membawa pembaca kepada petunjuk Al-Qur’an atau cepat dalam menjawab persoalan hidup manusia secara konseptual dan praktis.
3. Praktis dan sistematis dalam menyelesaikan masalah yang timbul dalam masyarakat, dan kondisi semacam ini amat cocok dengan keadaan umat manusia yang semakin modern dan mempunyai mobilitas yang tinggi.
4. Dinamis dan selalu sesuai dengan tuntutan zaman, karena penyampaiannya yang mudah dipahami dan utuh dalam menjawab setiap persoalan sehingga metode ini selalu actual dan tidak pernah ketinggalan zaman.
2.2.4.4 Kelemahan
1. Memenggal ayat Al-Qur’an
Metode penafsiran maudhu’I hanya mengambil satu ayat atau lebih yang mana di dalamnya mengandung banyak permasalahan yang berbeda.
2. Membatasi pemahaman ayat
Metode ini menetapkan judul yang akan dibahas, sehingga pemahaman menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penafsiran terhadap Al-Qur’an telah tumbuh dan perkembang pada saat masa-masa awal pertumbuhan islam, dan hal ini juga pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dalam menjelaskan segala persoalan umat. kebutuhan umat islam saat itu terpenuhi oleh penafsiran yang singkat (global) karena mereka tidak memerlukan penjelasan yang rinci dan mendalam. Maka tidak dapat dipungkiri bahwa pada abad pertama berkembang metode global (ijmali) dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an, bahkan para ulama yang datang kemudian melihat bahwa metode global terasa lebih praktis dan mudah dipahami. Tetapi pada periode berikutnya, setelah islam mengalami perkembangan lebih luas sampai di luar Arab dan tuntutan kehidupan umat yang semakin kompleks dan beragam. Kondisi inilah yang mendorong lahirnya metode analisis (tahlili).
Dengan munculnya dua bentuk penafsiran dan didukung dengan berbagai corak tersebut, umat islam ingin mendapatkan informasi yang lebih jauh berkenaan dengan kondisi dan kecenderungan serta keahlian para pakar tafsir. Selain itu umat juga ingin mengetahui pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an yang terlihat mirip padahal pengertiannya berbeda, kondisi ini mendorong para ulama khususnya mufassir untuk melakukan perbandingan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan demikian lahirlah tafsir dengan metode perbandingan (muqaran)
Perkembangan selanjutnya pada abad modern, untuk menanggulangi permasalahan yang dihadapi umat pada abad modern yang mana pada abad ini jauh lebih kompleks dibandingkan dengan generasi terdahulu, ulama tafsir menawarkan tafsir Al-Qur’an yang disesuaikan dengan realitas kehidupan masyarakat dengan metode baru yang disebut dengan metode tematik (maudhu’i).
DAFTAR PUSTAKA
Salim, Abdul. 2010. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras.
Wahid, Marzuqi. 2005. Studi al-Qur,an Kontemporer Perspektif Islam dan Barat. Bandung: Pustaka Setia.
Saifullah dkk. 2004. Ummul Qur’an. Ponegoro: Prodial Pratama sejati.
Effendy, Ahmad. 2013. Sudahkah Anda Mengenal Al-Qur’an. Landungsari: Misykat Indonesia.
Abdullah, Mawardi. 2011. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Al-Qatthan, Manna. 2017. Dasar-Dasar Ilmu Al-Qur’an. Jakarta Timur: Ummul Qura
أحمد بن عثمان رحماني. ۲٠٠٨. مناهج التفسير الموضوعي وعلافتها بالتفسير الشفاهي. الأردن: عالم الكتب الحديث.
السعيد، عبد التارفتح. ۱٩٨٦. المدخل إلى التفسير الموضوعي.
مناع، القطان. ۲٠۱٧. القواعد الأساسية في علوم القرآن الكريم. جاكرتا الشرقي: أمّ القرى.

No comments:
Post a Comment