Sponsor

Ilmu penting

Wednesday, March 28, 2018

Tafsir ibnu katsir, tafsir al-maragi, dan tafsir al-misbah

TELAAH KITAB TAFSIR 
(TAFSIR IBNU KATSIR, TAFSIR AL-MARAGI, DAN TAFSIR AL-MISBAH) 

MAKALAH 

Untuk memenuhi tugas mata kuliah 
Tafsir Hadits 
Yang dibimbing oleh Ustadz Yusuf Hanafi 

Oleh : 
Aimmatul Mufidah               150231600149 
Nur Muhammad Izzzudin Al-Qossam 150231603929 
Yayuk Farkhatul Muthoharoh 150231602738 




UNIVERSITAS NEGERI MALANG 
FAKULATAS SASTRA 
JURUSAN SASTRA ARAB 
MALANG 
Maret  2018 

KATA PENGANTAR 
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang, kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya. Yang melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Telaah Kitab Tafsir. 
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu pembuatan makalah ini. 
Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasa yang kami gunakan. Oleh karena itu, kami mengharapkan pembaca dapat memberikan saran dan kritik agar kami dapat memperbaiki makalah ini. 

Malang, 11 Maret 2018 


Tim penyusun 













DAFTAR ISI 
KATA PENGANTAR 
DAFTAR ISI 
BAB I PENDAHULUAN 
A. Latar Belakang 
B. Rumusan Masalah 
C. Tujuan 
BAB II PEMBAHASAN 
A. Tafsir Ibnu Katsir 
B. Tafsir Al-Maraghi 
C. Tafsir Al-Misbah 
BAB III PENUTUP 
A. Kesimpulan 
DAFTAR RUJUKAN 














BAB I 
PENDAHULUAN 
A. Latar Belakang 
Tafsir merupakan kajian Islam tertua dan utama dalam upaya memahami teks suci Al-Qur’an. Sebagai sebuah Kitab pedoman, Al-Qur’an melahirkan banyak wilayah kajian lainnya, baik dari segi ibadah, muamalah, hukum, politik, pendidikan, sosial dan kemasyarakatan. Masyarakat kembali pada Al-Qur’an dan penafsiran Nabi terhadapnya untuk menjawab persoalan dan problematika yang terjadi. 15 abad yang lalu, Rasulullah saw sebagaimubayyin (pemberi penjelasan) telah menjelaskan arti dan kandungan Al-Qur’an kepada sahabat-sahabatnya. Seiring dengan waktu, para sahabat juga mulai menjelaskan dan merevitalisasi pemaknaan atas teks dan konteks masa. Karenanya tafsir berkembang sedemikian rupa. Berbagai metode penafsiran dan corak bermunculan. Namun apakah tiap intepretasi yang dibangun para mufassir merupakan makna sesungguhnya dari Al-Qur’an? Sejauh mana keabsahan penafsiran/tafsir dengan maksud sesungguhnya yang terkandung didalam Al-Qur’an. 
Adalah kewajiban para ulama untuk memperkenalkan al-Qur’an dan meyuguhkan pesan-pesannya sesuai dengan kebutuhan dan harapan itu. Memang para pakar al-Qur’an telah berhasil melahirkan sekian banyak metode dan cara menghidangkan pesan-pesan al-Qur’an. Salah satu diantaranya adalah dengan adanya metode maudhu’iatau metode tematik sebagai tuntutan bahwa al-Qur’an merupakan sumber jawaban atas segala permasalahan di waktu dan tempat dimana pun (Shohih likulli zaman wal makan). 
Indonesia sebagai salah satu bagian terpenting dalam sejarah perkembangan Islam, tak luput dari sentuhan tafsir. Sehingga lahirlah berbagai karya tafsir dalam kurun waktu yang berbeda dengan corak, metode, dan subtansinya juga berbeda. Seiring dengan latarbelakang tokoh atau penciptanya serta diwarnai dengan alasan dibuatnya karya tersebut yang beragam pula maka perlu ditarik sebuah garis panjang yang menghubungkan antara satu karya tafsir dari awal hingga karya tafsir kontemporer. 

B. Rumusan Masalah 
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut: 
1. Siapa penulis kitab tafsir (Ibnu Katsir, Al-Maragi, dan Al-Misbah)? 
2. bagaimana metodologi yang digunakan penulis dalam menafsirkan Al-Qur’an? 
C. Tujuan 
1. Pembaca mengetahui biografi penulis kitab tafsir 
2. Pembaca mengetahui isi kandungan, metode, dan sistematika penulisan kitab tafsir 

  
BAB II 
PEMBAHASAN 
1. TAFSIR IBNU KATSIR 
Tafsir ibnu katsir atau biasa disebut dengan nama tafsir al-Qurân al-Azhîm muncul pada abad ke VIII H, yang merupakan salah satu kitab termasyhur, kitab yang paling banyak diterima dan tersebar di tengah umat islam. Penafsiran beliau sangat kaya dengan riwayat, baik hadis maupun atsar, sehingga sangat bermanfaat dalam berbagai displin ilmu agama, seperti aqidah, fiqh, dan lain sebagainya.  Sampai imam as-Suyuti berkata “belum pernah ada kitab tafsir yang semisal dengannya”. 

A. Biografi Ibnu Katsir 
Penulis kitab tafsir ini adalah Imad ad-Dîn Ismail ibn Umar ibn Katsir al-Qurasyî al-Dimasyqî. Ia biasa dipanggil dengan sebutan Abu al-Fidâ’, Namun beliau dikenal dengan julukan Ibn Katsîr, yaitu julukan yang disandarkan pada kakeknya (Katsîr). 
Ia lahir di desa mijdal yang berada di Bashra, tahun 700 H/1300 M. Ayahnya berasal dari Bashra, bernama Syihâb al-Dîn Abu Hafsh Umar ibn Katsîr, adalah salah seorang alim di kotanya, imam dan khatib di kampungnya.  Ayahnya wafat ketika Ibn Katsîr berumur tiga tahun. Selanjutnya kakaknya bernama Abdul Wahâb yang mendidik dan mengasuh Ibn Katsîr kecil, dan membawanya ke Damaskus. Pada saat itu, beliau berguru pada ulama-ulama besar di Damaskus. 
Pendidikan dan Aktivitas Keilmuan Ibn Katsir 
Ketika berumur 6 tahun Ibnu Katsir pergi dan menetap di kota Damaskus, ibu kota Syiria. Ia mendalami ilmu fiqh kepada Syaikh Burhan al-Dîn Ibrâhim Ibn Abdi al-Rahman al-Fazzari (w. 729) yang biasa dikenal dengan sebutan Ibn al-Farkah. Kemudian, belajar ilmu ushul fiqh ibn Hâjib kepada Syaikh Kamal al-Dîn bin Qodi Syuhbah. 
Ibn Katsîr berhasil menghafal al-Quran di usia 11 tahun, dibawah bimbingan Syaikh Ghailan al-Ba’labaki. Dalam bidang hadits, ia banyak belajar dari ulama-ulama Hijaz, Ibn Katsîr mempelajari Sahîh Muslim berguru kepada Syaikh Nazmu al-Dîn bin al-Asqalâni, dan Ia memperoleh ijazah dari al-Wani. Ia juga dididik oleh pakar hadis terkenal di Suriah yakni Jamal ad-Dîn al-Mizzi (w. 742 H/1342 M), al-Mizzi kagum dengan beliau sehingga menikahkan Ibn Katsîr dengan anak perempuannya (Zainab). 
Pada tahun 748 H/1341 M ia menggantikan gurunya Muhammad ibn Muhammad al-Dzahabi di sebuah lembaga pendidikan Turba Umm Sâlîh. Selanjutnya ia juga diangkat menjadi kepala lembaga pendidikan hadis di Dâr al-Hadîs al-Asyrafiyah setelah  Hakim Taqiuddin al-Subkî wafat yaitu kepala terdahulu yang ia gantikan. Kemudian di tahun 768 H/1366 M ia diangkat menjadi guru besar oleh Gubernur Mankali Buga di Masjid Umayah Damaskus. 
Beberapa guru yang mempunyai pengaruh besar terhadap Ibn Katsir: 
a. Ibn Taymiyyah (728 H). 
Banyak sekali sikap Ibn Katsîr yang terwarnai dengan Ibn Taymiyah, baik itu dalam berfatwa, cara berpikir juga dalam metode karya-karyanya. Dan hanya sedikit sekali fatwa beliau yang berbeda dengan Ibn Taymiyyah. 
b. Syaikh Abû Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi 
c. Syaikh Abû Abbâs Ahmad al-Hijar (Ibn al-Syahnah) 
d. Syaikh Abu Ishâq Ibrâhim al-Fazarî 
e. Syaikh al-Hâfidz Kamal al-Diîn Abdul Wahhâb 
f. Kamal al-Dîn Abû Ma’ali Muhammad bin Zamalkanî 
g. Imâm Muhyiyu al-Dîn Abû Zakariyâ Yahya al-Syaibanî 
h. Imâm Muhammad Qosim al-Barzalî 
i. Syaikh Syamsu al-Dîn Abû Nashr Muhammad al-Syirazi, dan lain-lain. 
Selain memiliki banyak guru, Ibn Katsîr  juga memiliki banyak murid, diantaranya: 
a. Muhammad bin Muhammad bin Khodri al-Quraysî 
b. Mas’ûd al-Anthâki al-Nahwi 
c. Muhammad ibn Abî Muhammad al-Juzri (Syaikh Ilmu Qirâat) 
d. Muhammad ibn Ismâil 
e. Imâm Ibn Abî ‘Uzz al-Hanafi, dan lain-lain 
Karya-karya Ibn Katsîr 
Sosok ulama seperti Ibn Katsîr, memang jarang kita temui, ulama yang lintas kemampuan dalam disiplin ilmu. Spesialisasinya tidak hanya satu jenis ilmu saja. Selain itu, ia juga sangat produktif dalam karya, telah banyak karya-karya yang lahir dari tangan dan ketajaman berpikirnya. Diantara karya-karya beliau adalah: 
a. Ilmu tafsir 
Ibnu Katsir menulis tafsir Qur'an yang terkenal yang bernama Tafsir Ibnu Katsir. Hingga kini, tafsir Alquran al-Karim sebanyak 10 jilid ini masih menjadi bahan rujukan dalam dunia Islam. Di samping itu, ia juga menulis buku Fada'il Alquran (Keutamaan Alquran), berisi ringkasan sejarah Alquran. 
b. Ilmu hadits 
1. Jami al-Masanid wa as-Sunan (Kitab Penghimpun Musnad dan Sunan) sebanyak delapan jilid, berisi nama-nama sahabat yang banyak meriwayatkan hadis; 
2. Al-Kutub as-Sittah (Kitab-kitab Hadis yang Enam) yakni suatu karya hadis; 
3. At-Takmilah fi Mar'ifat as-Sigat wa ad-Dhua'fa wa al-Mujahal (Pelengkap dalam Mengetahui Perawi-perawi yang Dipercaya, Lemah dan Kurang Dikenal); 
4. Al-Mukhtasar (Ringkasan) merupakan ringkasan dari Muqaddimmah-nya Ibn Salah; dan 
5. Adillah at-Tanbih li Ulum al-Hadits (Buku tentang ilmu hadis) atau lebih dikenal dengan nama Al-Ba'its al-Hadits. 
c. Ilmu sejarah 
1. Al-Bidayah wa an Nihayah (Permulaan dan Akhir) atau nama lainnya Tarikh ibnu Katsir sebanyak 14 jilid, 
2. Al-Fusul fi Sirah ar-Rasul (Uraian Mengenai Sejarah Rasul), dan 
3. Tabaqat asy-Syafi'iyah (Peringkat-peringkat Ulama Mazhab Syafii). 

d. Ilmu fiqih 
Dalam ilmu fiqih, Ibnu Katsir juga tidak diragukan keahliannya. Oleh para penguasa, ia kerap dimintakan pendapat menyangkut persoalan-persoalan tata pemerintahan dan kemasyarakat yang terjadi kala itu. Misalnya saja saat pengesahan keputusan tentang pemberantasan korupsi tahun 1358 serta upaya rekonsiliasi setelah perang saudara atau peristiwa Pemberontakan Baydamur (1361) dan dalam menyerukan jihad (1368-1369). Selain itu, ia menulis buku terkait bidang fiqih didasarkan pada Alquran dan hadis. 
Aliran Ibn Katsîr 
Ibn Katsîr adalah seorang ulama yang beraliran Ahlu al-Sunnah wa al-Jamâ’ah dan mengikuti manhaj Salafu al-Salih dalam beragama, baik itu dalam masalah aqidah, ibadah maupun akhlak. Kesimpulan seperti itu dapat dibuktikan melalui hasil karyanya yang banyak, termasuk di dalamnya kitab Tafsîr Ibn Katsîr. 
Kondisi Sosial Pada Masa Ibn Katsîr 
Kondisi pada saat itu, dunia Islam tengah diliputi tragedi yang sangat memilukan, yaitu dengan dihadapkannya mereka pada sifat biadab dari Bangsa Tartar, di mana banyak ulama dan kaum Muslimin yang dibantai, buku-buku penting dimusnahkan, dan pusat-pusat peradaban lslam dihancurkan, semua itu tidak pernah mematikan semangatnya untuk menuntut ilmu. Di antara ketakutan demi ketakutan yang terus meneror, dia mengayuhkan langkahnya untuk menuntut ilmu kepada para ulama yang masih tersisa.  
Ibn Katsîr adalah seorang pemikir dan ulama Muslim. Tercatat, guru pertamanya adalah Syaikh Burhan al-Dîn Ibrâhim Ibn Abdi al-Rahman al-Fazzari (w. 729), seorang ulama penganut mazhab Syâfi’î. Ia berguru kepada Ibnu Taymiyyah di Damaskus, Suriah dan kepada Ibn al-Qayyim. 
Pada akhir usianya beliau diuji dengan kehilangan pandangan (buta). Ibn al-Juzri salah seorang murid dari Ibn Katsîr berkata, Ibn Katsîr berkata kepadanya: Aku masih tetap menulis kitab (Jami’ al-Masânid) pada waktu malam dengan cahaya yang semakin meredup sehingga mengakibatkan pandanganku semakin melemah. 
Akhirnya, pada bulan Sya’ban 774 H/Februari 1373 M, mufasir ini wafat di Damaskus. Jenazahnya dimakamkan di samping makam Ibnu Taymiyah, di Sufiyah Damaskus. 
B. Metodologi Penafsiran. 
Kitab ini dapat dikategorikan sebagai salah satu kitab tafsir dengan corak dan orientasi (al-laun wa al-ittijah) tafsir bi al-ma’sur atau tafsir bi al-riwayah karena beliau sangat dominan dalam tafsirannya memakai riwayah atau hadits, dan pendapat sahabat dan tabi’in. 
Metode Penafsiran 
Metode penafsiran adalah metode tertentu yang digunakan oleh mufasir dalam penafsirannya. Pada umumnya metode ini terbagi menjadi empat, yaitu metode tahlîlîy (analitis), ijmâlîy (global), muqârin(perbandingan), dan mawdhû’iy (tematik). Dan setiap metode yang digunakan pasti memiliki suatu ciri dan spesifikasi masing-masing. 
Adapun manhaj yang ditempuh oleh Ibnu Kasir dalam menafsirkan al-Qur’an dapat dikategorikan sebagai manhaj tahlili (metode analitis). Karena dalam menafsirkan setiap ayat, Ibn Katsîr menjelaskannya secara rinci dengan mencantumkan beberapa periwayatan yang lalu digunakan sebagai pendukung dari argumentasinya. Namun Ibnu Kasir pun terkadang menggunakan rasio atau penalaran ketika menafsirkan ayat. 
Dalam menerapkan metode ini biasanya mufasir menguraikan makna yang dikandung oleh al-Quran, ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutannya dalam mushaf. Uraian tersebut menyangkut beberapa aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian kosakata, konotasi kalimatnya, latar belakang turun ayat, kaitannya dengan ayat-ayat yang lain, baik sebelum maupun sesudahnya (munasâbat), dan tak ketinggalan pendapat-pendapat yang telah dikeluarkan berkenaan dengan tafsiran ayat tersebut baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, maupun para tabi’in, dan tokoh tafsir lainnya. 
Adapun corak penafsiran dalam Tafsîr Ibn Katsîr adalah menitikberatkan kepada masalah fiqh. Beliau mengetengahkan perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh dan menyelami madzhab-madzhab serta dalil-dalil yang dijadikan pegangan oleh mereka, manakala membahas tentang ayat yang berkaitan dengan masalah hukum. Tetapi meski demikian, beliau mengambil cara yang pertengahan, singkat, dan tidak berlarut-larut sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan ulama fiqh ahli tafsir dalam tulisan-tulisan mereka. 

Langkah-langkah/sumber penafsiran: 
Ibn Katsîr menafsirkan al-Quran dengan al-Quran, al-Quran dengan sunnah, dengan perkataan sahabat, perkataan tabi’in dan bahasa Arab, kemudian menyimpulkan hukum-hukum dan dalil-dalil dari ayat al-Quran. 
1. Menafsirkan al-Quran dengan al-Quran 
Contoh: 
وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ 
Artinya: “Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan Maka berlindunglah kepada Allah.” (QS. al-A’raf: 200 
وَقُلْ رَبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ 
Artinya: “Dan Katakanlah: Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan syetan.” (QS. al-Mukminûn: 97) 
وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ 
“Dan jika syetan mengganggumu dengan suatu gangguan, Maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Fushilat: 36) 

Inilah tiga ayat yang tidak ada pertentangan di dalam maknanya, yang saling menjelaskan, ayat yang satu dengan yang lainnya, dan di dalam ayat Allah Swt  memerintahkan untuk berlindung dari kejahatan syaitan. 

2. Menafsirkan al-Quran dengan sunnah 
Metode atau langkah ini dipakai ketika penjelasan dari ayat lain tidak ditemukan atau di ayat lain ada tapi hadits dimaksudkan untuk melengkapi penjelasan. Misalnya: 
Ayat tentang ghibah dalam Q.S. al-Hujurat (49): 12, وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ia menegaskannya dengan sabda rasul ذكرك اخاك بما يكره  yaitu kamu membicarakan saudaramu, dengan perkataan yang tidak disenanginya. 

3. Menafsirkan al-Quran dengan perkataan sahabat dan tabi’in 
Hal ini karena para sahabat terutama tokoh-tokohnya adalah orang yang lebih mengetahui penafsiran al-quran, karena mereka mengalami dan menyaksikan langsung proses turunnya ayat-ayat al-Qur`an. 
Tafsir Ibnu Katsîr memasukkan perkataan sahabat di dalam kitab tafsirnya seperti; perkataan al-Khulafâ’ al-Rasyidîn, Ibn ‘Abbâs, Ibn Mas’ûd, Abû Ibn Ka’ab, Abdullah ibn Umar, Abdullah ibn ‘Amr, Abû Hurairah, Abû Darda’, Mu’az ibn Jabâl, Qatâdah dan lain-lain. 
4. Menafsirkan al-Quran dengan perkataan ulama 
Untuk perkataan ulama tafsir dari tabi’in, seperti; Mujâhid, Atha’ Ibn Abî Rabah, ‘Akramah, Thawas al-Yamanî, Abû Aliyah, Zaid ibn Aslam, Sa’id ibn Musayyab, Muhammad ibn Ka’ab al-Qarzhî, Sa’id ibn Jubair, Hasan al-Bashrî, Masruq ibn al-Ajda’, Abu Wa’il, Muqâtil ibn Hayyân, Muqâtil ibn Sulaiman al-Balakhî, Rabi’ ibn Anas, dll. 
5. Menafsirkan al-Quran dengan pendapatnya sendiri 
Adapun untuk membedakan antara pendapatnya sendiri dengan pendapat ulama-ulama lainnya, dapat diketahui dari pernyataannya: “menurut pendapatku....” (qultu...) 

C. Sistematika Kitab Tafsir Ibnu Katsir 
Tafsir ini disusun oleh Ibnu Katsir berdasarkan sistematika tertib susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf Al-Qur’an, yang lazim disebut sebagai sistematika tartib mushafi. Meski demikian, metode penafsiran kitab ini pun dapat dikatakan semi tematik (maudu’i), karena ketika menafsirkan ayat ia mengelompokkan ayat-ayat yang masih dalam satu konteks pembicaraan ke dalam satu tempat baik satu atau beberapa ayat, kemudian ia menampilkan ayat-ayat lainnya yang terkait untuk menjelaskan ayat yang sedang ditafsirkan itu. 
Tafsîr Ibn Katsîr adalah salah satu kitab tafsir yang terkenal dengan menggunakan pendekatan periwayatan atau yang biasa disebut tafsîr bi al-ma’tsûr. Dalam kitab tafsirnya, Ibn Katsîr lebih banyak mencantumkan periwayatan baik dari hadis-hadis Nabi, perkataan para sahabat dan tabi’in sebagai sumber dari  argumentasinya, tak jarang Ibnu Katsir juga memberikan penjelasan tentang jarh wa ta’dil pada periwayatan, mensahihkan dan mendhaifkan hadits. 
Adapun sistematika penulisan kitab tafsir ini adalah:    
pada permulaan tafsir ini diawali dengan muqadimah yang panjang, di dalam muqadimah ini berisikan tentang banyak hal yang berhubungan dengan al-Quran dan tafsirnya. Akan tetapi kebanyakan dari isi muqadimahnya merupakan saduran dari perkataan Ibnu Taimiyah yang diambil dari Muqadimah kitab beliau, yakni kitab usûl al-tafsîr. 
Ayat al-Quran ditulis lengkap, baru kemudian diberikan penafsiran. Dan seringkali di dalam penafsirannya disertakan ayat lain untuk menafsirkan ayat tadi. 
Ibnu Katsir menggunakan hadis dan riwayat, menggunakan ilmu jarh wa ta’dil, melakukan komparasi berbagai pendapat, dan mentarjih sebagiannya, serta mempertegas kualitas riwayat-riwayat hadis yang sahih dan yang dhaif. 
Ibn Katsîr menyebutkan hadis-hadis marfu’ yang berkaitan denga ayat itu, serta menyertakan pendapat-pendapat para sahabat dan para tabi’in. Beliau tidak hanya menyertakan pendapat dari para sahabat dan tabi’in saja, akan tetapi beliau juga mentarjih diantara pendapat mereka. Melemahkan pendapat yang lemah dan mensahihkan pendapat yang sahih serta melakukan jarh wa ta’dilterhadap para rawi hadis tersebut. 
Kebanyakan penafsiran dari Ibn Katsîr mengutip dari tafsirnyaIbn Jarîr al-Thabariy,  tafsir Ibn Abî Hâtim, tafsirnya Ibn A’thiyyah. Akan tetapi tafsir Ibn Katsir ini berbeda dengan kitab tafsir lainnya. Hal ini dikarenakan di dalam tafsirnya beliau menjelaskan tentang kemunkaran israiliyat. Kadang kala beliau menjelaskan secara umum dan kadangkala menjelaskannya secara khusus. 
Selain itu, beliau juga selalu memaparkan masalah-masalah hukum yang ada dalam berbagai madzhab, kemudian mediskusikannya secara komprehensif. 

D. Kelebihan Dan Kekurangan Tafsir Ibnu Katsir 
Kelebihan: 
1. Teliti dalam sanadnya, sederhana ungkapannya, dan kejelasan ide pemikirannya. 
2. Penafsiran ayat dengan ayat atau ayat dengan hadis tersusun secara semi tematik. 
3. Dalam tafsir ini banyak memuat informasi dan kritik tentang riwayat Israilliyyat, dan mengindari kupasan-kupasan linguistik yang cendrung bertele-tele, karena itulah al-Suyûthî (w. 911) memujinya sebagai kitab tafsir yang tiada tandingannya. 
Imâm al-Suyûthî dan al-Zarqâni menyanjung tafsir ini dengan berkomentar; “Sesungguhnya belum ada ulama’ yang mengarang dalam metode seperti ini”. 
Dalam hal ini Rasyid Ridha berkomentar; “Tafsir ini merupakan tafsir paling masyhur yang memberian perhatian besar pada riwayat-riwayat dari para mufasir salaf, menjelaskan mana-mana ayat dan hukumnya, menjauhi pembahasan masalah i’rab dan cabang-cabang balâghah yang pada umumnya dibicarakan secara panjang lebar oleh kebanyakan mufasirin, menghindar dari pembicaraan yang melebar pada ilmu-ilmu lain yang tidak diperlukan dalam memahami al-Quran secara umum atau hukum dan nasihat-nasihatnya secara khusus.” 

Kekurangan: 
1. masih ada juga memuat hadis yang sanadnya dhaif dan kontradiktif. 
2. secara teknis ia terkadang hanya menyebutkan maksud hadisnya tanpa menampilkan matan/redaksi hadisnya, dengan menyebut fî al-Hadîs (dalam suatu hadis) atau fî al-Hadîs al-akhar (dalam hadis yang lain). Seperti, ketika ia menafsirkan surah al-Isrâ’ (17): 36. 

E. Sikap Penafsiran Ibnu Katsir 
a. Sikapnya terhadap Israiliyat 
Ibn Katsir menggunakan daya kritisnya yang tinggi terhadap cerita-cerita Israiliyat. 
Demikian juga terhadap riwayat-riwa¬yat Israiliyat yang dinilainya tidak dapat dicerna oleh akal sehat, ia terkadang meriwayatkannya disertai peringatan atau membantahnya dengan keras.  
Adakalanya  riwayat-riwayat Israiliyat yang ia pakai hanyalah sekedar “aksesoris” untuk menambah penjelasan, seperti tentang nama-namaashâb al-kahf, jumlah dan warna anjing mereka, dan tentang jenis kayu yang menjadi bahan baku tong¬kat Nabi Musa As. Tetapi, riwayat Isrâiliyat yang nyata-nyata tidak sejalan atau bertentangan dengan ajaran Islam tidaklah  dipakai oleh Ibn Katsîr. 
b. Tentang ayat-ayat hukum 
Ketika menafsir¬kan ayat-ayat yang bernuansa hukum, Ibn Katsîr memberikan penjelasan yang relatif lebih luas, apalagi ketika menafsirkan ayat-ayat yang dipahami secara berbeda-beda di kalangan para ulama. Dalam hal ini, ia kerap kali menyajikan diskusi dengan menge¬mukakan argumentasi masing-masing, termasuk pendapatnya sendiri. Dari penafsiran-penafsirannya dalam masalah-masalah fiqh ini, terlihat bahwa ia adalah seorang yang moderat dan toleran. 
c. Tentang naskh (penghapusan). 
Dalam masalah ini, Ibn Kasîr termasuk yang berpendapat bahwa naskh dalam al-Quran itu ada. Adanya penghapusan ini merupakan kehendak Allah sesuai kebutuhan demi kemaslahatan, sebagaimana al-Quran banyak me-naskh  ajaran-ajaran sebelumnya. Contohnya ialah penghapusan hukum pernikahan antara saudara kandung sebagaimana yang dilakukan oleh putra-putri Nabi Adam As., penghapusan penyem¬belihan Ibrâhim As. atas putranya yakni Ismâil As., dan sebagainya. 
d. Tentang  muhkam dan mutasyâbih 
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa dalam hal ini beliau mengikuti pendapat Muhammad Ibn Ishâq ibn Yasar, yang ber¬pendapat bahwa ayat-ayat al-Quran yang muhkam merupakan argumentasi Tuhan, kesucian hamba, dan untuk mengatasi per¬selisihan yang batil. Pada ayat-ayat tersebut, tidak ada perubahan dan pemalsuan. Sedangkan pada ayat-ayat yang mutasyâbih tidak ada perubahan dan pentakwilan. Allah hendak menguji hamba-hambanya melalui ayat ini sebagaimana dalam hal halal dan haram; apakah dengannya akan berpaling kepada yang batil, dan berpaling dari kebenaran. 
e. Tentang ayat-ayat tasybîh (antropomorfis) 
Dalam mengartikan ayat-ayat semacam ini ia nampaknya mengikuti pendapat ulama salaf al-Sâlih yang berpendapat tidak adanya penyerupaan (tasybîh) perbuatan Allah dengan hamba-hamba-Nya. Dalam menafsirkan ayat-ayat semacam ini, ia menjelaskan dengan mengutip pendapat sejumlah ulama. Ia juga mengutip hadis-hadis. 



2. TAFSIR AL-MARAGHI 
Tafsir al-Maraghi pertama kali diterbitkan pada tahun 1951 di Kairo.Pada terbitan yang pertama ini, Tafsir al-Maraghi terdiri atas 30 juz atau dengan kata lain sesuai dengan pembagian juz Al-Qur’an. Kemudian, pada penerbitan yang kedua terdiri dari 10 jilid, di mana setiap jilid berisi 3 juz, dan juga pernah diterbitkan ke dalam 15 Jilid, di mana setiap jilid berisi 2 juz.Kebanyakan yang beredar di Indonesia adalahTafsir al-Maraghi yang diterbitkan dalam 10 jilid. 
A. Biografi Ahmad Musthafa al-Maraghi 
1. Kelahiran dan Keluarga 
Ahmad Musthafa al-Maraghi dilahirkan di Negara Mesir tepatnya di daerah Maragha. Suatu daerah di tepian sungai Nil berjarak sekitar 70 km di sisi selatan kota Kairo pada tahun 1300 H/1883 M. Nama kota kelahiran beliau menjadi nisbah (nama belakang) bagi beliau, bukan dari nama keluarga. Al-Maraghi berasal dari keluarga yang mapan di bidang ilmu pengetahuan, dan juga mengabdikan diri pada ilmu peradilan sehingga keluarga al-Maraghi dikenal sebagai keluarga hakim. 
Dikarenakan berasal dari kalangan ulama yang taat serta menguasai berbagai bidang ilmu agama, Dari 8 orang anak Syekh Mustafa al-Maraghi (ayah dari Ahmad Musthafa al-Maraghi), 5 orang diantaranya menjadi ulama besar yang cukup terkenal. Yaitu : 
1. Syeikh Muhammad Mustafa Al-Maraghi yang pernah menjadi Syekh al-Azhar dua periode, tahun 1928-1930 dan 1935-1945. 
2. Syeikh Ahmad Mustafa Al-Maraghi, pengarang Tafsir Al-Maraghi. 
3. Syeikh Abdul Aziz Mustafa Al-Maraghi, Dekan Fakultas Usuluddin Universitas AlAzhar dan Imam Raja Faruq. 
4. Syeikh Abdullah Mustafa Al-Maraghi, Inspektur Umum pada Universitas Al-Azhar. 
5. Syeikh Abul Wafa Mustafa Al-Maraghi, Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Universitas Al-Azhar. 
Di samping itu, ada 4 orang putra Ahmad Mustafa Al-Maraghi menjadi hakim, yaitu: 
1. M. Aziz Ahmad Al-Maraghi, Hakim di Kairo. 
2. A. Hamid Al-Maraghi, Hakim dan Penasehat Menteri Kehakiman di Kairo 
3. Asim Ahmad Al-Maraghi, Hakim di Kuwait dan di Pengadilan Tinggi Kairo. 
4. Ahmad Midhat Al-Maraghi, Hakim di Pengadilan Tinggi Kairo dan Wakil Menteri Kehakiman di Kairo. 
2. Rihlah Keilmuan 
Setelah menginjak usia sekolah, orang tua al-Maraghi memasukkan beliau ke madrasah al-Qur’an. Karena kecerdasannya, beliau mampu menghafal al-Qur’an sebelum usia 13 tahun. Selain itu beliau juga mempelajari ilmu Tajwid dan dasar-dasar ilmu Syari’ah di madrasah hingga lulus pendidikan tingkat menengah. Orang tua al-Maraghi meminta beliau untuk meninggalkan kota Maragh untuk menuntut ilmu di Kairo tepatnya di Universitas al-Azhar pada tahun 1314 H/ 1897 M. Di al-Azhar beliau mempelajari ilmu bahasa Arab, Balaghah, Tafsir, ilmu al-Qur’an, Hadits, ilmu Hadits, Fikih, ushul Fikih, Akhlak, ilmu Falak dan sebagainya. 
Beliau juga mengikuti kuliah di Darul Ulum Kairo (yang mana dulunya merupakan perguruan tinggi sendiri, sekarang menjadi bagian dari Universitas Kairo). Beliau berhasil menyelesaikan studinya di kedua perguruan tinggi tersebut pada tahun 1909. Setelah lulus beliau memulai karirnya menjadi guru di beberapa sekolah menengah. Kemudian beliau diangkat menjadi direktur Madrasah Mu’alimin di Fayum. Pada tahun 1916 beliau diangkat menjadi dosen utusan Universitas al-Azhar untuk mengajar ilmu-ilmu SYari’ah Islam di fakultas Ghirdun Sudan. Sekembalinya dari Sudan tahun 1920 beliau diangkat menjadi dosen Bahasa Arab di Universitas Darul Ulum dan dosen Balaghah dan Kebudayaan di Fakultas Bahasa Arab Universitas al-Azhar. Al-Maraghi juga menjadi guru di beberapa madrasah, diantaranya Ma’had Tarbiyah Mu’alimah dan diberikan kepercayaan untuk memimpin Madrasah Utsman Basya di Kairo. 
3. Guru al-Maraghi 
Guru yang pernah mengajar al-Maraghi saat beliau menuntut ilmu di Universitas al-Azhar dan Darul Ulum diantaranya adalah: 
- Syekh Muhammad Abduh 
- Syekh Muhammad al-„Adawi 
- Syekh Muhammad Bhis al-Mut’i 
- Syekh Muhammad Rifa’i al-Fayumi 
4. Wafatnya al-Maraghi 
Dalam menjalankan tugas-tugasnya di Mesir, al-Maraghi tinggal di daerah Hilwan, sebuah kota yang terletak sekitar 25 Km sebelah selatan kota Kairo. Ia menetap di sana sampai akhir hayatnya. Ia wafat pada usia 69 tahun (1371 H./1952 M.). Namanya kemudian diabadikan sebagai nama salah satu jalan yang ada di kota tersebut. 
5. Karya-karya al-Maraghi 
Selama hidup, al-Maraghi telah mengabdikan diri pada ilmu pengetahuan dan agama. Selain mengajar di beberapa lembaga pendidikan, al-Maraghi juga mewariskan kepada umat ini karya ilmiyah. Salah satu di antaranya adalah Tafsir al-Maraghi, sebuah kitab tafsir yang muncul pada abad ke 14 dan beredar juga dikenal di seluruh dunia Islam sampai saat ini. Karya-karyanya yang lainnya adalah: 
- Al-Hisbat fi al-Islâm 
- Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh 
- Ulûm al-Balâghah 
- Muqaddimat at-Tafsîr 
- Ulum al-Balagah 
- Hidayah at-Talib 
- Tahzib at-Taudih 
- Tarikh ’Ulum al-Balagah wa Ta’rif bi Rijaliha 
6. Aliran al-Maraghi 
Di dalam bukunya, al-Mufassirun hayatuhum wa manhajuhum, syeikh Ali Iyazi menyebutkan bahwa Ahmad Musthafa Al-Maraghi memiliki madzhab Asy Syafii Al-Asy’ary. 
7. Motivasi penulisan dan Kondisi masyarakat 
Yang melatar belakangi penulisan tafsir ini adalah suatu kenyataan yang sempat disaksikan oleh al-Maraghi, bahwa kebanyakan orang enggan membaca kitab-kitab tafsir dengan alasan kitab-kitab tafsir yang ada sangat sulit dipahami, bahkan diwarnai dengan berbagai istilah yang hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang ahli dalam bidang ilmu tersebut. Karenanya itu, al-Maraghi termotivasi untuk menulis tafsir dengan sengaja merubah gaya bahasa dan menyajikannya dalam bentuk sederhana dan yang mudah dipahami. 
Masyarakat pada masa itu ingin memperluas pengetahuannya di bidang tafsir, namun merasa kesulitan dengan kitab yang mereka baca karena kebanyakan kitab tafsir telah dibumbui istilah istilah ilmiah akibat perkembangan dalam penemuan ilmiah. Ada pula kitab yang dibarengi dengan analisa ilmiah, selaras dengan perkembangan ilmu ketika penulisan tafsir tersebut. 
Masyarakat pun mulai mencoba mengemukakan metode baru dalam hal tulis menulis secara simple dan penggunaan bahasa efektif yang mudah dipahami, karena masyarakat membutuhkan kitab-kitab tafsir yang mampu memenuhi kebutuhan mereka, disajikan secara sistematis, diungkapkan dengan gaya bahasa yang mudah dimengerti, dan masalah-masalah yang dibahas benar-benar didukung dengan hujjah, bukti-bukti nyata serta berbagai percobaan yang diperlukan. Bisa pula dinukilkan pendapat-pendapat para ahli dalam berbagai cabang ilmu yang berkait erat dengan Al-Qur’an, selaras dengan syarat penyajian yang harus sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan modern. 
B. Metodologi Penafsiran 
Bagi sebagian pengamat tafsir, al-Maraghi adalah mufassir yang pertama kali memperkenalkan metode tafsir yang memisahkan antara uraian global dan uraian rincian, sehingga penjelasan ayat-ayat di dalamnya dibagi menjadi dua kategori, yaitu makna Ijmali dan makna Tahlili. Kemudian, dari segi sumber yang digunakan selain menggunakan ayat dan atsar, al-Maraghi juga menggunakan ra’yi (nalar) sebagai sumber dalam menafsirkan ayat-ayat. 
Namun perlu diketahui, penafsirannya yang bersumber dari riwayat (relatif) terpelihara dari riwayat yang lemah (dhaif) dan susah diterima akal atau tidak didukung oleh bukti-bukti secara ilmiah. Hal ini diungkapkan oleh al-Maraghi sendiri pada muqaddimahnya tafsirnya ini. Al-Maraghi sangat menyadari kebutuhan kontemporer. Dalam konteks kekinian, merupakan keniscayaan bagi mufassir untuk melibatkan dua sumber penafsiran (aql dan naql). Karena memang hampir tidak mungkin menyusun tafsir kontemporer dengan hanya mengandalkan riwayat semata, selain karena jumlah riwayat (naql) yang cukup terbatas juga karena kasus-kasus yang muncul membutuhkan penjelasan yang semakin komprehensif, seiring dengan perkembangan problematika sosial, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang berkembang pesat. 
Tafsir al-Maraghi sangat dipengaruhi oleh tafsir-tafsir yang ada sebelumnya, terutama Tafsir al-Manar. Hal ini wajar karena dua penulis tafsir tersebut, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, adalah guru yang paling banyak memberikan bimbingan kepada Al-Maraghi di bidang tafsir. Bahkan, sebagian orang berpendapat bahwa Tafsir alMaraghi adalah penyempurnaan terhadap Tafsir al-Manar yang sudah ada sebelumnya. Metode yang digunakan juga dipandang sebagai pengembangan dari metode yang digunakan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha 
C. Corak Penafsiran 
Corak penafsiran yang digunakan dalam tafsir al-Maraghi adalah Adabi Ijtima’i, yang mana sama dengan corak kitab tafsir gurunya yaitu Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dengan karyanya al-Manar , Tafsir Al-Qur’an Al-Karim karya Mahmud Syaltut, dan tafsir Al-Wadih karya Muhammad mahmud Hijazi. 
D. Sumber Rujukan dan Referensi 
Kitab-kitab yang dijadikan sumber rujukan dan referensi al-Maraghi dalam penyusunan tafsirnya adalah sebagai berikut:  
- Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir, Jami‟ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an 
- Abu al-Qasim Jar Allah al-Zamakhsari, Tafsir al-Kasysyaf „an Haqaiq al-Tanzil 
- Syaraf al-Din al-Hasan Ibn Muhammad al-Tiby, Hasyiah Tafsir al-Kasysyaf 
- Al-Qadi Nasir al-Din Abdullah Ibn Umar al-Baidawi, Anwar al-Tanzil 
- Al-Raghib al-Asfahani, Tafsir Abi al-Qasim al-Husain Ibn Muhammad 
- Imam Abu Hasan al-Wahidi al-Naisabury, tafsir al-Basit 
- Imam Fakhruddin al-Raazi, Mafatih al-Ghaib 
- Tafsir al-Husain Ibn Mas‟ud al-Baghawi 
Dan masih banyak lagi kitab-kitab yang dijadikan rujukan atau referensi oleh al-Maraghi dalam penyusunan tafsirnya. 
E. Sistematika Penulisan 
1. Menyebutkan satu, dua, atau sekelompok ayat yang akan ditafsirkan; Pengelompokan ini kelihatannya dilakukan dengan melihat kesatuan inti atau pokok bahasan. Ayat-ayat ini diurut menurut tertib ayat mulai dari surah al-Fātihah sampai surah an-Nās. 
2. Penjelasan kosa kata (syarh al-mufradāt); Setelah menyebutkan satu, dua, atau sekelompok ayat, al-Maraghi melanjutkannya dengan menjelaskan beberapa kosa kata yang sukar menurut ukurannya. Dengan demikian, tidak semua kosa kata dalam sebuah ayat dijelaskan melainkan dipilih beberapa kata yang bersifat konotatif atau sulit bagi pembaca. 
3. Pengertian umum ayat (Ma’na al-Ijmāli); Dalam hal ini, al-Maraghi berusaha menggambarkan maksud ayat secara global, yang dimaksudkan agar pembaca sebelum melangkah kepada penafsiran yang lebih rinci dan luas ia sudah memiliki pandangan umum yang dapat digunakan sebagai asumsi dasar dalam memahami maksud ayat tersebut lebih lanjut. Kelihatannya pengertian secara ringkas yang diberikan oleh al-Maraghi ini merupakan keistimewaan dan sesuatu yang baru, di mana sebelumnya tidak ada mufassir yang melakukan hal serupa. 
4. Penjelasan (al-Īdhāh); Pada langkah terakhir ini, al-Maraghi memberikan penjelasan yang luas, termasuk menyebutkan asbāb an-Nuzūl jika ada dan dianggap shahih menurut standar atau kriteria keshahihan riwayat para ulama. Dalam memberikan penjelasan, kelihatannya Al-Maraghi berusaha menghindari uraian yang bertele-tele (al-ithnāb), serta menghindari istilah dan teori ilmu pengetahuan yang sukar dipahami. Penjelasan tersebut dikemas dengan bahasa yang sederhana, singkat, padat, serta mudah dipahami dan dicerna oleh akal. 
F. Gaya Bahasa 
Dalam menyusun kitab tafsirnya, Al-Maraghi tetap merujuk kepada pendapatpendapat mufassir terdahulu sebagai penghargaan atas upaya yang pernah mereka lakukan. Al-Maraghi mencoba menunjukkan kaitan ayat-ayat al-Qur’an dengan pemikiran dan ilmu pengetahuan lain. 
G. Jumlah Juz Tafsir Al-Maraghi 
Kitab tafsir ini disusun menjadi 30 jilid. Setiap jilid terdiri satu juz Al-Qur’an. Hal ini dimaksudkan agar mempermudah para pembaca, di samping mudah dibawa kemana-mana, baik ketika menempati suatu tempat atau bepergian. Kitab ini lahir untuk pertama kalinya bertepatan pada pertengahan Zulhijjah 1365 H di tempat kediaman Al-Maraghi, yaitu Hilwan, Kairo, Mesir. 
H. Kelebihan dan Kekurangan 
Tafsir al-Maraghi memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan. Diantara kelebihannya adalah : 1) Tidak hanya terfokus pada aspek balaghah, namun juga mengaitkan makna yang terkandung dengan keadaan sosial yang ada. 2) Bahasa yang dipakai lugas dan tidak berbelit sesuai dengan keadaan sosial yang ada. 3) Menganalogikan tafsiran dengan teknologi sehingga makna mudah ditangkap. 
Adapun kekurangan dari tafsir al-Maraghi adalah: 1) Terkadang tidak sesuai dengan daerah kondisi mufassir tinggal (bersifat lokal). 

3. TAFSIR AL-MISBAH 
Tafsir al-misbah adalah kitab tafsir lengkap 30 juz yang ditulis oleh seorang ulama kontemporer yaitu muhammad Quraish shihab, kitab ini merupakan salah satu kitab yang terkenal di indonesia. Tafsir yang terdiri dari 15 volume ini  mulai ditulis pada hari Jum’at tanggal 4 Rabi’ul Awal 1420 H/18 Juni 1999 M di Kairo dan selesai pada hari Jum’at tanggal 8 Rajab 1423/5 September 2003 M di Jakarta. Penulis memberi warna yang menarik dan khas serta sangat relevan untuk memperkaya khazanah pemahaman dan penghayatan umat Islam terhadap rahasia makna ayat Allah swt. Tafsir yang berbahasa Indonesia ini merupakan Tafsir yang banyak dikaji para intelektual Islam nusantara. 
A. Biografi Singkat Penulis (M. Quraish Shihab) 
Muhammad Quraish shihab adalah seorang ulama kontemporer spesialisasi   tafsir yang lahir di Rappang, Sulawesi Selatan pada 16 Februari 1944.  Ayanhnya bernama Prof. KH. Abdurrahman Shihab adalah seorang ulama dan guru besar dalam bidang tafsir. Beliau dipandang sebagai salah seorang tokoh pendidik yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Sebagai putra dari seorang guru besar, Quraish Shihab mendapatkan motivasi awal dan benih kecintaan terhadap bidang studi tafsir dari ayahnya yang sering mengajak anak-anaknya duduk bersama. Pada saat-saat seperti inilah sang ayah menyampaikan nasihatnya yang kebanyakan berupa ayat-ayat al-Qur'an. Quraish kecil telah menjalani pergumulan dan kecintaan terhadap al-Qur’an sejak umur 6-7 tahun. Ia harus mengikuti pengajian al-Qur’an yang diadakan oleh ayahnya sendiri. Selain menyuruh membaca al-Qur’an, ayahnya juga menguraikan secara sepintas kisah-kisah dalam al-Qur’an. Di sinilah, benih-benih kecintaannya kepada al-Qur’an mulai tumbuh. 
1. Pendidikan dan aktivitas keilmuan M. Quraish shihab 
Beliau menyelesaikan pendidikan dasarnya di SD ujung pandang, kemudian melanjutkan pendidikan menegangnya di malang sambil menimba ilmu di Pondok Pesantren Darul Hadis al-Falaqiyah. Pada tahun 1958 beliau berangkat ke Kairo Mesir dan diterima di kelas II Tsanawiyah Al Azhar. Pada tahun 1967, beliau meraih gelar Lc (S1) pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadits Universitas Al Azhar. Kemudian beliau melanjutkan pendidikan di Fakultas yang sama serta meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang tafsir al Quran pada tahun 1969 dengan mengangkat judul tesis al I’jaz al Tas. 
Pada tahun 1980, M. Quraish Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan pendidikannya di Universitas al Azhar. Tahun 1982, dengan desertasi yang berjudulNazhm Al Durar li Al Biqa’iy, Tahqiq wa Dirasah beliau berhasil memperoleh gelar doktor dalam ilmu-ulmu al Quran dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat I (mumtaz ma’a martabat asy Syaraf al ‘Ula).yri’iy li al Quran al Karim. 
Pada tahun 1999, Quraish Shihab diangkat menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk negara Republik Arab Mesir yang berkedudukan di Kairo. Selain itu, beliau juga dipercaya memegang beberapa jabatan antara lain Ketua MUI Pusat sejak tahun 1984; Anggota Lajnah Pentashhih al Quran Depag RI sejak tahun 1989; Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional sejak tahun 1989, dan Ketua Lembaga Pengembangan. Di samping itu beliau juga aktif dalam berbagai organisasi profesional antara lain Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari’ah; Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; dan asisten Ketua Umum ICMI. Dan yang tak kalah pentingnya adalah M. Qurais Shihab aktif dalam kegiatan tulis menulis. Di surat kabar Pelita, pada setiap hari Rabu beliau menulis dalam rubrik “Pelita Hati”. Beliau juga mengasuh rubrik “Tafsir al Amanah” serta tercatat sebagai Anggota Dewan Redaksi majalah Ulumul Quran dan Mimbar Ulama di Jakarta. 
Tidak hanya sebagai seorang penulis, M. Quraish Shihab juga seorang penceramah handal yang mampu menyampaikan pendapat serta gagasan dengan bahasa yang sederhana, mudah dicerna, lugas sekaligus logis serta cendrung berfikir moderat, sehingga bisa diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Kegiatan ceramah ini dilakukan di berbagai tempat sepeti di Masjid At Tin, Masjid Fathullah, Masjid Istiqlal dan termasuk juga membagi ilmu pada program stasiun-stasiun  TV pada setiap bulan Ramadhan seperti di RCTI ataupun di Metro TV. 
2. karya-karya M. Quraish Shihab 
M. Quraish Shihab adalah seorang penulis yang produktif sehingga banyak melahirkan karya-karya yang selanjutnya menjadi referensi ilmiah terutama pada bidang tafsir al Quran.diantaranya: Tafsir Al Manar,  Filsafat Hukum Islam, Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir surat Al Fatihah), Membumikan Al Quran (Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat), Fatwa-fatwa Seputar Wawasan Agama, Fatwa-fatwa Seputar Ibadah Mahdhah, Menyingkap Tabir Illahi Asma al Husna dalam Perspektif al Quran,  Persoalan Penafsiran Metaforis atas Fakta-fakta Tekstual, Studi Kritis Tafsir Al Manar karya Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al Quranil Karim: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, Lentera Hati (Kisah dan Hikmah Kehidupan ) 
Dan karya Tulis yang telah diterbitkan diantaranya: Studi Kritis Tafsir al-Manar Karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha (1994), Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Untaian Permata buat Anakku: Pesan Al-Qur’an untuk, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan (Bandung: 1994). Isinya merupakan kumpulan rubric “Pelita Hati”,  Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. 
4. Motivasi penulisan Tafsir Al-Misbah 
Motivasi penulisan tafsir al-Mishbah diantaranya adalah keprihatinan M. Quraish Shihab atas sikap yang berkembang di kalangan umat Islam di Indonesia tentang ketertarikannya terhadap Al-Qur’an, tetapi sebagian besar mereka hanya berhenti pada pesona bacaan Al-Qur’an ketika dilantunkan, seakan-akan kitab suci ini diturunkan hanya untuk dibaca. Padahal tidak hanya dibaca, hendaknya disertai dengan kesadaran bertadzakkur dan bertadabbur. Selain itu tidak sedikit umat islam di Indonesia memiliki ketertarikan luar biasa terhadap makna-makna Al-Qur’an, namun dihadapkan pada kendala waktu yang tidak cukup untuk terlebih dahulu membekali diri dengan ilmu pendukung guna memahami Al-Qur’an secara langsung dan langkanya buku-buku rujukan yang memadai dari segi cakupan informasi, kejelasan dan bahasa yang tidak bertele-tele mengenai Al-Qur’an. Maka ditulislah Tafsir al-Mishbah yang salah satu kekuatannya terletak pada kemampuannya menjelaskan tema pokok surah-surah Al-Qur’an dan tujuan utama dari pesan-pesan yang terdapat dalam ayat-ayatnya, dengan harapan bisa menjadi penerang bagi mereka yang mencari petunjuk dan pedoman hidup. 
B. Metode Penafsiran 
Setidaknya ada tiga metode penafsiran yang digunakan oleh M. Quraish Shihab. Tiga metode penafsiran ini telah berkembang di kalangan penulis tafsir al-Qur’an, yaitu metode tahlili, muqaran dan maudhu’i. 
Metode pertama dilakukan dengan cara menafsirkan berdasarkan urutan ayat yang ada pada al-Qur’an. Metode kedua yang merupakan metode muqaran dilakukan dengan cara memaparkan berbagai pendapat orang lain, baik yang klasik maupun pendapat kontemporer. Dan metode yang ketiga adalah metode maudhu’i dilakukan dalam bentuk memberikan penjelasan tema pokok surah-surah al-Qur’an atau tujuan utama yang berkisar disekeliling ayat-ayat dari surah itu agar membantu meluruskan kekeliruan serta menciptakan kesan yang benar. 

C. Sistematika Penulisan Kitab 
Buku tafsir al-Misbah ini ditulis secara runtut sesuai dengan mushaf dengan gaya bahasa yang populer, ringan, dan kalimatnya mudah dipahami. Istilah yang rumit dan sulit dipahami pembaca dicarikan padanan kata yang lebih mudah, sehingga makna yang terkandung  dalam Al-Qur’an mudah ditangkap dan yang paling penting tidak disalah pahami pembaca. 
Sebelum mulai menafsirkan surah, M. Quraish Shihab terlebih dahulu memberi pengantar. Isinya antara lain, nama surah dan nama lain surah tersebut, jumlah ayat (terkadang disertai penjelasan tentang perbedaan penghitungan dan sebabnya), tempat turun surah (makiyyah dan madaniyyah) disertai pengecualian ayat-ayat yang tidak termasuk kategori, alasan penamaan surah, nomor surah berdasarkan urutan mushaf dan urutan turun, tema pokok, keterkaitan atau munasabah antara surah sebelum dan sesudahnya dan sebab turunnya ayat.Setelah menyajikan pengantar, M. Quraish Shihab mulai menafsirkan dengan menganalisis secara kronologis dan memaparkan berbagai aspek yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan urutan bacaan mushaf. Hal ini dilakukannya untuk membuktikan bahwa ayat-ayat dan surah-surah dalam Al-Qur’an mempunyai keserasian yang sempurna dan merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan. Dalam seluruh penafsirannya ia selalu berusaha mengaitkan kata demi kata dalam surah, kaitan kandungan ayat dengan fashilat yakni penutup ayat, kaitan hubungan ayat dengan ayat berikutnya, kaitan uraian awal satu surah dengan penutupnya, kaitan penutup surah dengan uraian awal surah sesudahnya dan juga kaitan tema surah dengan nama surah. Sistematika yang digunakan dalam penulisan tafsirnya adalah sebagai berikut: 
1. Dimulai dengan penjelasan surat secara umum 
2. Pengelompokkan ayat sesuai tema-tema tertentu yang disesuaikan dengan tema besar keterkaitan ayat-ayat tersebut, lalu diikuti uraian ayat, terjemah dan tafsir ayat 
3. Munasabah antara ayat/tema ayat-ayat sebelumnya dengan ayat yang akan ditafsirkan. 
4. Menguraikan kosakata yang dianggap perlu dalam penafsiran makna ayat. 
5. Penyisipan kata penjelas sebagai penjelasan makna atau sisipan tersebut merupakan bagian dari kata atau kalimat yang digunakan Al-Qur’an. 
6. Ayat Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW yang dijadikan penguat atau bagian dari tafsirnya hanya ditulis terjemahannya saja. 
7. Menjelaskan ayat dengan penafsiran M. Quraish Shihab dan juga menyuguhkan penafsiran mufassir-mufassir lainnya, sebagian besar diungkapkan untuk tujuan memperkuat atau mengkopromikan penafsiran-penafsiran tersebut. 
8. Menutup penafsiran satu ayat dengan memaparkan munasabah ayat yang sedang ditafsirkan dan ayat sesudahnya. 
D. Kecenderungan dan Kandungan Secara Umum 
Tujuan penulisan tafsir al-misbah adalah untuk membantu meluruskan kekeliruan serta menciptakan kesan yang benar mengenai pesan-pesan Al-Qur’an. Salah satu kekuatannya terletak pada kemampuannya menjelaskan tema pokok surah-surah Al-Qur’an dan tujuan utama dari pesan-pesan yang terdapat dalam ayat-ayatnya, dengan harapan bisa menjadi penerang bagi mereka yang mencari petunjuk dan pedoman hidup. 
Sesuai dengan maksud penulisannya sebagai penerang bagi para pencari petunjuk dan pedoman hidup, tafsir ini memiliki corak adabi ijtima’i, yaitu tafsir yang memeiliki kecenderungan menginterpretasi persoalan seputar sosial kemasyarakatan atau tafsir yang hadir dengan senantiasa memberikan jawaban terhadap segala sesuatu yang menjadi persoalan umat, sehingga dapat dikatakan bahwa Al-Qur’an memang sangat tepat untuk dijadikan pedoman dan petunjuk. Al-Qur’an dalam pandangan M.Quraish Shihab memiliki tiga aspek: 1) aspek aqidah, 2) aspek syariah dan 3) aspek akhlak. Dalam upaya pencapaian ketiga aspek ini, Al-qur’an memiliki 3 cara, yaitu: 
a.         Perintah untuk memperhatikan/ber-tadabbur terhadap alam raya 
b.         Perintah untuk mengamati pertumbuhan dan perkembangan manusian; 
c.         Kisah-kisah (sebuah pelajaran, uswah, ibrah da sekaligus peringatan lembut); 
d.        Janji serta ancaman baik duniawi maupun ukhrawi. 
E. Sumber Penafsiran 
Sumber penafsiran yang digunakan pada tafsir al-Mishbah ada dua: pertama, bersumber dari ijtihad penulisnya. Kedua, dalam rangka menguatkan ijtihadnya ia juga mempergunakan sumber-sumber rujukan yang berasal dari fatwa dan pendapat para ulama, baik ulama terdahulu maupun ulama kontemporer. Selain mengutip pendapat para ulama, ia juga mempergunakan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi SAW sebagai bagian dari tafsir yang dilakukannya. Oleh karena itu tafsir al-Mishbah ini dapat dikategorikan sebagai tafsir bi al-Ra’yi. 
Banyak pandangan mufassir yang dikemukakan oleh M. Quraih Shihab. Sebagaimana madzhab mufassir, sebagian besar merupakan kalangan dari Sunni, meski demikian adapula pandangan yang didiskusikan dalam penafsirannya dari Syi’i. Diantara referensi yang digunakan M. Quraish Shihab dalam tafsirnya ialah: 
1. Tafsir Ibrahim Ibnu Umar al-Biqa’i (karya tafsir yang masih berbentuk manuskrip dan sekaligus bahan disertasi M. Quraish Shihab) 
2. Tafsir Mutawalli al-Sya’rawi 
3. Tafsir Fi Dzilalil Qur’an karya Sayyid Qutb 
4. Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir karya Ibnu ‘Asyur 
5. Tafsir al-Mizan karya Thabathaba’i 
6. Jawahir fi Tafsir al-Qur’an Karim karya Thanthawi Jauhari 
7. Al-Kasysyaf karya az-Zamakhsary 
F. Kelebihan dan kekurangan 
Di antara kelebihan yang terdapat dalam Tafsir al-Misbah adalah: 
1. Penafsirannya yang bersifat konstekstual didasarkan pada pendekatan sosiologis-antrpologis yang memberikan kemudahan kepada pembacanya untuk memahami makna yang tersirat di dalam al-Qur'an. 
2. Dalam menganalisis hal kebahasan sangat bagus karena ditampilkan juga pendapat para ulama seputar kebahasan itu. 
3. menjelaskan munasabah secara luas dan rinci. 
Sedangkan diantara kekurangannya adalah: 
1. Banyaknya menampilkan pendapat para ulama tetapi tidak menyimpulkan pendapat yang unggul sehingga untuk kalangan awam akan membingungkan. 

DAFTAR RUJUKAN 
Ilyas, Hamim. 2004. Studi Kitab Tafsir. Yogyakarta: TERAS 
Al-Qatthan, Manna’. 2017. Dasar-dasar Ilmu Al-Qur`an. Jakarta: Ummul Qura 
Abdullah, Amin. 2013. Khazanah Tafsir Indonesia. Yogyakarta: LkiS. 
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa. 1365 H. Tafsir Al-Maraghi: Juz 1. Beirut: Darul Fikr. 
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa. 1365 H. Tafsir Al-Maraghi: Juz 5. Beirut: Darul Fikr. 
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa. 1987 M. Terjemah Tafsir Al-Maraghi: Juz 1,2,3. Semarang: CV.Toha Putra Semarang. 
Shihab, M.Quraish. 2000. Tafsir al-Misbah, pesan, kesan, dan keserasian al-Qur’an. Volume 1. Jakarta: Lentera Hati. 
Shihab, M.Quraish. 2002. Tafsir al-Misbah, pesan, kesan, dan keserasian al-Qur’an. Volume 3. Jakarta: Lentera Hati. 
http://ilmu-ushuluddin.blogspot.co.id/2016/12/metodologi-penulisan-tafsir-al-maraghi.html (diakses 4 maret) 
https://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Katsir 
www.darussalaf.or.id 








Tuesday, March 27, 2018

Metode penafsiran ijmali, tahlili, muqorron dan maudhu'i

METODE PENAFSIRAN
(Tafsir Ijmali, Tafsir Tahlili, Tafsir Muqaran, Tafsir Maudhu’i )



MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
 Tafsir Hadist
Yang dibina oleh Ustad Yusuf Hanafi


oleh
Achmad Nazilul Chaqqi (150231604243)
Fitri Nabilatul Islamiyah (150231602810)
Himmatus Tsuroyya (150231601000)
Muhammad Taufik (150231602412)












UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SASTRA ARAB
S1 PENDIDIKAN BAHASA ARAB
Februari 2018
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahim puja dan puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebatas pengetahuan dan kemampuan yang kami miliki, dan juga kami berterima kasih kepada Ustad Yusuf Hanafi, selaku Dosen pengampu mata kuliah Tafsir Hadist yang telah membimbing kami dengan sebaik-baiknya.
Dalam penyusunan makalah ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi, namun kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak lain berkat bantuan dan dorongan dari teman-teman kami maka, tak lupa ucapan terimakasih kami kepada dosen dan teman-teman yang telah berkenan membantu menyelesaikan tugas makalah ini, sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Kami sangat berharap makalah ini akan berguna untuk menambah wawasan dan pengetahuan kami mengenai Macam-macam Metode Penafsiran. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat banyak kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran, dan usulan bagi para pembaca demi perbaikan yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.


Malang, 8 Februari 2018

Penulis


DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR i                                                                                     
DAFTAR ISI ii
BAB I       PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Rumusan Masalah 1
1.3 Tujuan 2

BAB II      PEMBAHASAN
                  2.1 Sejarah Munculnya Macam-Macam Metode Penafsiran Al-Qur’an 3
2.2 Macam-macam Metode Penafsiran 5
2.2.1 Tafsir Ijmali 5
         2.2.1.1 Pengertian 5
         2.2.1.2 Langkah-Langkah Penafsiran 7
         2.2.1.3 Kelebihan 7
         2.2.1.4 Kelemahan 8
2.2.2 Tafsir Tahlili 8
         2.2.2.1 Pengertian 8
         2.2.2.2 Langkah-Langkah Penafsiran 10
         2.2.2.3 Kelebihan 10
         2.2.2.4 Kelemahan 11
2.2.3 Tafsir Muqaran 11
         2.2.3.1 Pengertian 11
         2.2.3.2 Langkah-Langkah Penafsiran 14
         2.2.3.3 Kelebihan 14
         2.2.3.4 Kelemahan 15
2.2.4 Tafsir Maudhu’I 15
         2.2.4.1 Pengertian 15
         2.2.4.2 Langkah-Langkah Penafsiran 17
         2.2.4.3 Kelebihan 18
         2.2.4.4 Kelemahan 18
BAB III     PENUTUP
                  3.1 Kesimpulan 19

DAFTAR RUJUKAN 20
                 
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
Al-Qur’an Al-Karim adalah kalamuAllah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai petunjuk bagi umat manusia, penjelasan-penjelasan terhadap petunjuk tersebut dan sebagai Al-Furqon. Dengan begitu maka Al-Qur’an haruslah dipahami dengan tepat dan benar. Uapaya dalam memahami Al-Qu’an disebut dengan istilah tafsir, yang mana akitivitas penafsiran Al-Qur’an tidaklah mudah dan dapat dilakukan oleh setiap orang karena kompleksnya persoalan yang dikandung di dalam Al-Qur’an serta kerumitan persoalan yang digunakannya. Setiap redaksi yang ditulis di dalam Al-Qur’an tidaklah mudah untuk kita pahami maksudnya secara pasti kecuali oleh pemilik Al-Qur’an itu, namun upaya dalam menafsirkan Al-Qur’an tetaplah dilakukan karena dirasa penting dan perlu memahaminya.
Penafsiran terhadap Al-Qur’an telah tumbuh dan perkembang pada saat masa-masa awal pertumbuhan islam, dan hal ini juga pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dalam menjelaskan segala persoalan umat yang mana pada saat sahabat tidak mengetahui dan memahami maksud dari kalam Allah maka, seorang sahabat menanyakannya kepada Nabi Muhammad SAW. Seiring berjalannya waktu dan sepeninggal Nabi, aktifitas penafsiran terus dilakukan karena munculnya persoalan-persoalan baru dalam dinamika kehidupan. Dan dalam menafsirkan Al-Qur’an terdapat banyak metode atau cara yang dilakukan oleh seorang mufassir anatara lain metode tahlili, metode ijmali, metode maudhu’i, dan metode muqaran.

1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah munculnya metode penafsiran Al-Qur’an?
2. Apa yang dimaksud dengan metode penafsiran ijmali?
3. Apa yang dimaksud dengan metode penafsiran tahlili?
4. Apa yang dimaksud dengan metode penafsiran muqaran?
5. Apa yang dimaksud dengan metode penafsiran maudhu’i?
6. Bagaimana langkah-langkah dalam menafsirkan Al-Qur’an di setiap metode penafsiran?
7. Apa saja kelebihan dan kekurangan setiap metode penafsiran Al-Qur’an?

1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui sejarah awal munculnya metode penafsiran
2. Untuk mengetahui macam-macam metode penafsiran Al-Qur’an
3. Untuk mengetahui langkah-langkah setiap metode penafsiran Al-Qur’an
4. Untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan setiap metode penafsiran Al-Qur’an .

























BAB II
PEMBAHASAN

2.1 SEJARAH MUNCULNYA MACAM-MACAM METODE PENAFSIRAN AL-QUR’AN
Sejarah perkembangan tafsir dimulai pada masa Nabi Muhammad SAW dan para sahabat yaitu sekitar abad ke 1 H. Penafsiran ayat Al-Qur’an pada masa itu secara ijmali, artinya tidak memberikan rincian yang memadai. Metode ijmali ini kemudian diterapkan oleh Al-Suyuthi di dalam kitabnya al-jalalain, al-mirghami, di dalam kitabnya taj al-tafsir. Kemudian pada abad 3 H diikuti oleh metode tahlili dengan mengambil bentuk al-ma’tsur, kemudian tafsir ini berkembang dan mengambil bentuk al-ra’y. tafsir dalam bentuk ini kemudian berkembang terus dengan pesat sehingga mengkhususkan kajiannya dalam bidang-bidang tertentu seperti fikih, tasawuf, bahasa, dan sebagainya. Seiring perkembangan zaman para ulama tafsir berusaha menafsirkan Al-Qur’an lebih spesifik lagi, lalu mereka mengkhususkan tafsirannya pada bidang-bidang tertentu, maka lahirlah tafsir fikih, tasawuf, teologi, bahasa, dan sebagainya itulah yang kemudian diistilahkan dengan corak tafsir. Kemudian pada abad ke 5 H lahirnya metode muqaran (komparatif). Dapat dikatakan bahwa corak-corak serupa inilah di abad modern, tepatnya di abad ke 13 H yang mengilhami lahirnya tafsir maudhu’I atau disebut juga dengan (metode tematik)
Lahirnya metode-metode tersebut disebabkan oleh tuntutan perkembangan masyarakat yang selalu dinamis. Pada zaman Nabi dan sahabat pada umumnya mereka adalah ahli bahasa Arab dan mengetahui secara baik latar belakang turunnya ayat (Asbabun nuzul), serta mengalami secara langsung situasi dan kondisi ketika ayat-ayat Al-Qur’an turun. Dengan demikian mereka relative dapat memahami ayat-ayat Al-Qur’an secara benar, akurat, dan tepat. Dan umat pada zaman dahulu tidak membutuhkan uraian yang rinci namun hanya dengan isyarat dan penjelasan secara global, maka dari itu Nabi tidak perlu memberikan tafsir secara detail.
Berdasarkan kenyataan tersebut, dapat dikatakan bahwasannya kebutuhan umat islam saat itu terpenuhi oleh penafsiran yang singkat (global) karena mereka tidak memerlukan penjelasan yang rinci dan mendalam. Maka tidak dapat dipungkiri bahwa pada abad pertama berkembang metode global (ijmali) dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an, bahkan para ulama yang datang kemudian melihat bahwa metode global terasa lebih praktis dan mudah dipaham, kemudian metode ini banyak diterapkan. Ulama yang menggunakan dan menerapkan metode ijmali pada periode awal seperti: al-suyuthi dan al-mahalli di dalam kitab tafsir yang monumental yaitu al-jalalain, al-mirghami di dalam kitab Taj al-tafsir. Tetapi pada periode berikutnya, setelah islam mengalami perkembangan lebih luas sampai di luar Arab, dan banyak bangsa non Arab yang masuk islam membawa konsekuensi logis terhadap perkembangan pemikiran islam. Maka, konsekuensi dari perkembangan ini membawah pengaruh terhadap penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan kehidupan umat yang semakin kompleks dan beragam. Kondisi inilah yang mendorong lahirnya metode analisis (tahlili), sebagaimana yang tertuang di dalam kitab-kitab tafsir tahlili seperti: tafsir At-Thabrani, metode penafsiran serupa itu terasa cocok di masa itu karena dapat memberikan pengertian dan penjelasan yang rinci terhadap pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an. Maka pada perkembangan berikutnya, metode penafsiran serupa juga diikuti oleh para ulama-ulama tafsir yang datang kemudian dan bahkan berkembang dengan sangat pesat dalam dua bentuk penafsiran yaitu, al-ma’tsur dan al-ra’y dengan berbagai corak yang dihasilkannya seperti: fiqih, tasawuf, falsafi, ilmi, adabi, dan ijtima’i.
Dengan munculnya dua bentuk penafsiran dan didukung dengan berbagai corak tersebut, umat islam ingin mendapatkan informasi yang lebih jauh berkenaan dengan kondisi dan kecenderungan serta keahlian para pakar tafsir. Selain itu umat juga ingin mengetahui pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an yang terlihat mirip padahal pengertiannya berbeda, kondisi ini mendorong para ulama khususnya mufassir untuk melakukan perbandingan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang pernah diberikan oleh mufassir sebelumnya dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan demikian lahirlah tafsir dengan metode perbandingan (muqaran) seperti yang diterapkan oleh al-Iskaf di dalam kitabnya Darrat al-Tanzil wa Ghurrat al-Ta’wil dan oleh Karmani di dalam kitabnya  al-Burhan fi Taujih Mutasyabah Al-Qur’an.
Perkembangan selanjutnya pada abad modern, untuk menanggulangi permasalahan yang dihadapi umat pada abad modern yang mana pada abad ini jauh lebih kompleks dibandingkan dengan generasi terdahulu, ulama tafsir menawarkan tafsir Al-Qur’an yang disesuaikan dengan realitas kehidupan masyarakat dengan metode baru yang disebut dengan metode tematik (maudhu’i).

2.2 MACAM-MACAM METODE TAFSIR AL-QUR’AN
Kata “metode” berasal dari bahasa yunani methodos yang berarti “cara” atau “jalan”. Dalam bahasa inggris ditulis method. Dalam bahasa Indonesia kata tersebut mengandung arti, cara yang teratur dan berfikir baik untuk mancapai maksud dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya, cara kerja ynag sistematis untuk memudahkan pelaksanna suatu kegiatan guna mencapai suatu yang ditentukan. Dalam bahasa Arab manhaj berarti jalan yang terang.
Dapat dirumuskan bahwa metode tafsir adalah suatu cara yang teratur dan terfikir baik, untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa metode tafsir Al-Qur’an terdiri dari kumpulan kaidah dan aturan yang harus diindahkan oleh seorang mufassir ketika menafsirkan Al-Qur’an. Dalam kurun waktu yang terbentang sejak diutusnya Nabi Muhammad hingga kini telah lahir empat macam metode tafsir. metode-metode tersebut adalah :

2.2.1 METODE IJMALI
2.2.1.1 Pengertian
Tafsir Ijmli adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan cara menjelaskan maksud Al-Qur’an secara global, tidak terperinci seperti tafsir tahlili, atau menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan menggunakan bahasa yang popular, mudah dimengerti,dan enak dibaca. Sistematika tulisannya menurut susunan ayat-ayat yang terdapat dalam mushaf. Selain itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih mendengarkan al-Qur’an, padahal yang didengarnya adalah tafsirannya.
Tafsir dengan metode ini ditetapkan secara khusus bagi orang awam agar mudah memahami maksud yang terkandung dalam Al-Qur’an. Karena dengan menggunakan metode ini, seorang mufassir berbicara kepada pembacanya dengan cara yang termudah, singkat, tidak berbelit-belit yang dapat menjelaskan arti suatu ayat sebats artinya tanpa menyinggung hal-hal lain dari arti yang dikehendaki, dengan target pihak pembaca memahami kandungan pokok Al-Qur’an. Ciri-ciri penafsiran yang dilakukan terhadap ayat-ayat al-Qur’an ,ayat demi ayat,surat demi surat,sesuai dengan urutannya dalam mushaf. Kadangkala mufassir menafsirkan al-Qur’an dengan lafadh al-Qur’an , sehingga pembaca merasa bahwa uraian tafsirnya tidak jauh dari konteks al-Qur’an dengan penyajiannya yang mudah dan indah. Metode tafsir ijmali hampir sama dengan metode tafsir Tahlili, tetapi penafsirannya tidak secara terperinci seperti tafsir Tahlili, hanya secara ringkas dan umum.
Sebagai contoh dari tafsir ijmali ini adalah kitab tafsir jalalain yangsangat terkenal di Indonesia. Dalam kitab ini Al—Qur’an ditafsirkan secara berurutan dari Al- Fatihah sampai dengan An-Nas, ayat per ayat, bahkan kata perkata. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh dibawah ini:

(الم) الله أعلم بمراده بذلك (ذلك) أي هذا (الكتاب) الذي يقرؤوه محمد (لا ريب) لا شكّ (فيه) أنه من عند الله وجملة النفي خبر مبتدؤه ذلك والإشارة به للتعظيم (هدًى) خبر ثان أي هاد (للمتّقين) الصائرين إلى التقوى بامتثال الأوامر واجتناب النواهي لا تقائهم بذلك النار.
(Alif lam Mim) Allah yang paling mengetahui apa yang dimaksudnya. (Dzalika/itulah) maksudnya inilah, (al-Kitab) yang dibaca oleh Muhammad, (La raiba/ tidak ada keraguan) tidak ada syak ( fihi/di dalamnya) bahwa ia berasal dari Allah, dan kalimat negative ini berkedudukan sebagai mubtada, sedangkan khabarnya ada dzalika. Pengguna dzalika ini untuk pengagungan (Hudan/petunjuk) berkedudukan sebagai khobar kedua, maksudnya pemberi petunjuk. (lil muttaqiina/untuk orang-orang yang bertakwa) orang-orang yang menuju ketakwaan dengan menaati perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan Allah karena mereka takut kepada neraka.
Dari contoh di atas kita dapat mengetahui bahwa penafsir syekh Jalaludin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan syekh Jalaluddin Abdurrohman bin Abu Bakara As-Suyuti, yang tafsirnya dikenal dengan sebutan tafsir jalalain menafsirkan ayat satu sampai dua surat Al-Baqoroh dengan cara memberikan penjelasan kata per kata, kadang dengan memberikan sinonim, definisi atau makna terminologisnya, dan kadang dengan menjelaskan posisi atau fungsi gramatikalnya. Yang pasti bahwa jenis tafsir ini tidak memberikan analisis dan uraian yang panjang.

2.2.1.2 Langkah-Langkah Penafsiran
Langkah-langkah yang harus ditempuh oleh seorang mufassir apabila ia ingin menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan metode ijmali:
1. Menentukan ayat Al-Qur’an yang akan ditafsirkan menurut urutannya dalam mushaf atau menurut urutan turunnya.
2. Menjelaskan makna mufrodat (kosa kata) dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami.
3. Menjelaskan makna ayat-ayat tersebut berdasarkan kaidah-kaidah bahasa arab, seperti menjelaskan hukum dhamir dan susunan kalimatnya.
4. Dan menjelaskan asbabun nuzulnya dan munasabahnya.
5. Dalam penafsirannya dijelaskan dengan hadist, atsar para sahabat, dan orang-orang shaleh terdahulu atau pendapat penafsir sendiri.

2.2.1.3 Kelebihan
1. Praktis dan mudah dipahami
Dalam penafsiran metode ijmali ini tidak berbelit-belit, sehingga dapat diserap dan dipahami oleh pembacanya. Penafsiran metode ini lebih memudahkan bagi pemula/ orang yang baru belajar tafsir al-Qur’an dan mereka yang ingin memperoleh pemahaman al-Qur’an dalam waktu yang singkat.
2. Bebas dari penafsiran israiliyyat
Metode penafsiran ini memberikan penafsiran yang umum dan ringkas, sehingga relatife lebih murni dan terbebas dari pemikiran-pemikiran israiliyyat. Maka pemahaman al-Qur’an dapat dijaga dari intervensi pemikiran-pemikiran israiliyyat yang terkadang tidak sejalan dengan martabat al-Qur’an.
3. Akrab dengan baghasa al-Qur’an
Cara penyampaian penafsirannya singkat dan padat, bahsanya un tidak jauh dari bahasa al-Qur’an. Karena pada metode ini seorang mufassir langsung menjelaskan pengertian kata atau ayat dengan sinonimnya.

2.2.1.4 Kelemahan
1. Menjadikan petunjuk al-Qur’an bersifat parsial
Semua ayat-ayat al-Qur’an merupakan kesatuan yang utuh dan tidak bisa dipisahkan. Seringkali suatu ayat al-qur’an masih bersifat samar-samar, maka jawaban atas ayat tersebut tedapat pada ayat yang lain.
2. Tidak ada ruangan untuk mengemukakan analisis ilmu madani
Tafsir dengan metode ini tidak memberikan kesempatan kepada mufassirnya untuk menuangkan ide atau analisisnya dalam menafsirkan al-Qur’an


2.2.2 METODE TAHLILI
2.2.2.1 Pengertian
Penafsiran yang dilakukan oleh seorang mufassir ayat demi ayat sevara rinci dan disertai penjelasan yang ditinjau dari aspek-aspek kebahasaan, gramatika, gaya bahasa, aqidah, hukum, sejarah, dan aspek yang dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam metode tahlili segala sesuatu yang dianggap perlu oleh seoramg mufassir diuraikan baik bermula dari penjelasan makna lafadz-lafadz tertentu, ayat per ayat, surat per surat, dan asbabun nuzul.
Menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dari seagala segi dan maknanya, ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai dengan urutan dalam mushaf (Mawardi, Abdullah 2011:167)
Contoh menafsirkan Al-Qur’an dengan metode tahlili:

Firman Allah dalam surat Al-Bayyinah ayat 1 (Madaniyyah)
لم يكن الذين كفروا من أهل الكتاب والمشركين منفكين حتى تأتيهم البيّنة
Orang-orang kafir dari golongan Ahli kitab dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan (agama mereka) sampai datang kepada mereka bukti yang nyata.

Ayat tersebut menjelaskan bahwasannya orang-orang yang mengingkari risalah Muhamad SAW dan meragukan kenabiannya yakni kaum musyrikin dan nasrani, selamanya tidak akan mau meninggalkna pegangan mereka karena kekafiran yang sudah keterlaluan. Mereka telah meninggalkan kebenaran dan lebih menyukai pegangan yang diwariskan nenek moyang mereka. Sekalipun pada kenyataannya nenek moyang itu tidak mengerti sama sekali permasalahan agama.
 Rasulullah hadir di tengah-tengah mereka dengan membawa ajaran yang menggoncangkan terhadap ajaran yang sudah berakar di dalam keyakinan mereka, di samping sudah menjadi kebiasaan yang membudaya. Karenanya, mereka berupaya terus mencari alasan karena didorong oleh sikap ingkar mereka. Mereka mengemukakan hujjah yang mengatakan bahwa apa yang didatangkan Muhammad adalah dengan yang ada di tangan mereka dan bukan merupakan kebaikan jika apa yang didatangkan itu diikuti. Menurut mereka, dengan berpegang pada apa yang ada pada mereka dan berjalan sesuai dengan tata aturan nenek moyang mereka adalah lebih baik dan patut, bahkan lebih disukai oleh perasaan mereka karena dianggap akan membawa perasan.

Firman Allah dalam surat At-Taubah ayat 28-29
يآيها ال1ين آمنوا أنّها المشركون نجث فلا يقربوا المسجد الحرام بعد عامهم هذا وإن خفتم عليه فسوف يغنيكم الله من فضله
Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini. Dan jika kalian khawatir menjadi miskin maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepada kalian dari karuniaNya.
قاتلوا الذين لا يؤمنون باالله ولا باليوم الآخر ولا يرحمون ما حرم الله ورسوله ولا يدينون الحق من الالذين أوتوا الكتاب حتى يعطوا الجزية عن يد وهم صاغرون
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari kemudian dan mereka mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan RasulNya, serta tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah) yaitu orang-orang yang diberikan Al-Kitab kepada mereka sampai mereka mebayar jizyah dengan patuh dan mereka tunduk.

2.2.2.2 Langkah-Langkah Penafsiran
Langkah-langkah yang ditempuh seorang mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an metode tahlili:
1. Memberikan keterangan tentang status ayat surat yang sedang ditafsirkan dari segi makkiyah dan madaniyah.
2. Menjelaskan munasabah ayat atau surat.
3. Menjelaskan asbab Al-Nuzul apabila terdapat riwayat mengenainya.
4. Menjelaskan makna al-mufrodat dari masing-masing ayat, serta unsur-unsur bahasa arab lainnya, seperti dari segi I’rob dan balaghohnya, fashohah, bayan, dan I’jaznya.
5. Menguraikan kandungan ayat secara umum dan maksudnya.
6. Merumuskan dan menggali hukum-hukum yang terkandung di dalam ayat-ayat tersebut.

2.2.2.3 Kelebihan
1. Mempunyai ruang lingkup yang amat luas.
Dengan ruang lingkup yang amat luas ini, seorang mufassir dapat menggunakan dalam dua bentuk yaitu: ma’tsur dan ra’y.
2. Penafsir tahlili mempunyai peluang yang luas dalam menuangkan ide-ide dan gagasannya dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an.
3.  Metode ini memiliki corak dan orientasi dibandingkan dengan metode yang lain.

2.2.2.4 Kelemahan
1. Metode ini tidak mampu menyelesaikan satu pokok bahasan secara komperehensif, karena sering kali satu sisi pokok bahasan diuraikan sedang yang lainnya tidak.
2. Para mufassir tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat Al-Qur’an.
Kitab-kitab tafsir yang menggunkan metode tahlili diantaranya adalah:
a. Tafsir Al-Qur’an Al-‘azhim karya Ibnu Katsir.
b. Tafsir Al-Munir karya Syaikh Nawawy al-Bantany.
- ada yang ditulis dengan sangat panjang seperti kitab tafsir karya al-Lusi, Fakhr al-Din, dan Ibnu Jarir al-Thabari.
- ada yang ditulis sedang seperti kitab Tafsir Imam al-Baidhawi dan al-Naisabury.
Dan ada pula yang ditulis secara ringkas tetapi jelas dan padat, seperti kitab tafsir Al-Jalalayn karya jalal al-din suyuthi dan jalal al-din al-mahalli dan kitab tafsir yang ditulis Muhammad Farid Wadji.

2.2.3  METODE MUQARAN
2.2.3.1 Pengertian
Metode yang menekankan kajiannya terhadap aspek perbandingan (komparasi) tafsir Al-Qur’an mengenai suatu topic dari tema-tema keimanan, fiqih, kebahasaan, dan sebagainya. Dalam hal ini seorang penafsir juga melakukan analisis dan penilaian terhadap tafsir-tafsir tersebut mengenai metode dan sumber-sumber penafsirannya.
Berikut ini adalah contoh metode penafsiran muqaran:
a. Tafsir muqaran yang membahas kasus yang sama dengan redaksi yang berbeda
Firman Allah dalam surat Al-An’am ayat 151 dengan surat Al-Isra’ ayat 31:
Surat Al-An’am ayat 151
قل تعالوا أتل ما حرّم ربّكم عليكم الّا تشركوا به شيئا و بالوالدين احسانا ولا تقتلوا أولادكم من إملاق نحن نرزقكم وإيّاهم ولا تقربوا الفواحش ما ظهر منها وما بطن ولا تقتلوا النفس التي حلرم الله إلا بالحقّ ذلكم وصاكم به لعلّكم تعقلون
Katakanlah (Muhammad), “marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu. Jangan mempersekutanNya dengan apapun, berbuat baik kepada ibu bapak, janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; janganlah kamu mendekati perbuatan yang keji, baik yang terlihat ataupun yang tersembunyi, janganlah kamu membunuh ornag yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu mengerti.”

Surat Al-Isra’ ayat 31

 ولا تقتلوا أولادكم خشية إملاق نحن نرزقهم وإيّاكم إنّ قتلهم كان خطئا كبيرا
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu Karen takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu, membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang besar.

Dua ayat tersebut membahas kasus yang sama, yaitu larangan membunuh anak-anak karena alasan kemiskinan, namun redaksinya terlihat berbeda. Perbedaan itu bisa dilihat dari segi mukhatab (objek) nya. Mukhatab pada auat pertama adalah orang miskin, sehingga redaksi yang digunakan adalah (من إملاق) yang berarti karena alasan kemiskinan. Tegasnya, “janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena kamu miskin”. Sementra itu, mukhatab pada ayat kedua adalah orang kaya sehingga redaksi yang digunakan adalah (خشية إملاق)  yang berarti karena takut menjadi miskin. Tegasya, “janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena kamu takut menjadi miskin”. Selanjutnya pada ayat pertama dhamir mukhatabnya didahulukan dengan maksud untuk menghilangkan kekhawatiran si miskin bahwa ia tidak mampu memberikan nafkah kepada anaknya, sebab Allah akan memberikan rezeki kepadanya. Jad kedua ayat itu menumbuhkan optimism kepada si kaya maupun si miskin.

b. Tafsir muqaran yang beredaksi mirip namun membahas kasus yang berbeda
Firman Allah dalam surat Al-Anfal ayat 10 dan surat Ai Imran ayat 126:
Surat Al-Anfal ayat 10

وما جعله الله إلّا بشرى ولتطمئنّ به قلوبكم وما النصر إلّا من عند الله إنّ الله عزيو حكيم
Dan tidaklah Allah menjadikannya melainkan sebagai kabar gembira agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah di sisi Allah. Sungguh Allah Mahapekasa, Mahabijaksana.

Surat Ali Imran ayat 126

وما جعله الله إلّا بشرى اكم ولتطمئن قلوبكم به وما النصر إلّا من عند الله العزيز الحكيم
Dan Allah tidak menjadikannya (pemberian bala-bantuan itu) melainkan sebagai kabar gembira bagi (kemenangan)mu, dan agar hatimu tenang karenanya. Dan tidak ada kemenangan itu, selain dari Allah ynag Mahaperkasa, Mhabijaksana.

Dua ayat tersebut redaksinya terlihat mirip, bahkan sama-sama menjelaskan pertolongan Allah kepada kaum muslimin dalam bertempur melawan musuh. Variasi yang dapat dilihat adalah:
1. Surat Al-Anfal mendahulukan kata (bihi) daripada (quluubukum).
2. Surat Al-anfal menggunakan kata (inna), sedangkan Ali Imran tidak.
3. Surat Ali Imran menggunakan kata (lakum), sedangkan surat Al-Anfal tidak.
4. Surat Al-Anfal berbicara mengenai perang badar, sedangkan surat Ali Imran berbicara tentang perang uhud. Variasi keterdahuluan bihi dan penambahan inna dalam ayat pertama dimaksudkan sebagai penekanan atau penegasan kandungan utama ayat tersebut saat berlangsungnya perang badar. Pada ayat kedua, hal tersebut diduga tidak lagi diperlukan.

2.2.3.2 Langkah-Langkah Penafsiran
Langkah-langkah yang harus dilakukan apabila seseorang ingin menggunakan metode muqaran:
1. Seorang mufassir memilih tema berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dan setelah melakukan study pendahuluan terhadap berbagai kitab tafsir.
2. Membuat rancangan penulisan berdasarkan metodologi penulisan ilmiah dan menyusun sistematika yang tepat, runtut, padu, dan logis.
3. Mengumpulkan data berupa materi yang diambil dari kitab-kitab tafsir yang dikomparasikan, kemudian menulisnya secara cermat dan jujur.
4. Melakukan perbandingan, menguji, dan mendiskusikan secara objektif pendapat dan argumentasi setiap tafsir.
5. Menyimpulkan dengan mengemukakan pandangan penulis mengenai hal-hal yang dikomparasikan.

2.2.3.3 Kelebihan
1. Dapat memusatkan perhatian pada penggalian hikmah dibalik redaksi ayat untuk kasus yang sama dan pemilihan redaksi yang mirip untuk kasus yang berbeda.
2. Mengaitkan hubungan Al-Qur’an dengan hadist yang dibandingkan.
3. Mengetahui orisinalitas penafsiran seorang mufassir, serta memungkinkan mufassir pendatang meminjam penafsiran pendahulunya sehingga dapat mengungkap kecenderungan mufassir.

2.2.3.4. Kelemahan
1. Metode tafsir muqaran tidak bisa diberikan kepada pemula.
2. Kurang bisa diandalkan untuk menjawab permasalahan-permasalahan social yang tumbuh di masyarakat, karena metode ini lebih mengutamakan perbandingan pendapat ulama tafsir daripada memecahkan problema yang ada di masyarakat.
3. Terkesan lebih mengutamakan penafsiran-penafsiran ulama terdahulu daripada mengemukakan penafsiran-penafsiran yang baru.


2.2.4 METODE MAUDHU’I
2.2.4.1 Pengertian
Metode tafsir maudhu’i disebut juga dengan metode tematik, metode penafsiran ini dilakukan oleh seorang mufassir dalam mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dalam satu tema yang mana ayat-ayat tersebut mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara pengertian yang umum dan khusus, antara yang muthlak dan muqoyyad, dan menjelaskan ayat nasikh dan mansukh.
Istilah tafsir maudhu’I dikenal pada masa modern, oleh karena itu banyak definisi yang banyak dirumuskan oleh para ahli sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Antara lain :
a. Tafsir maudhu’I adalah tafsir yang mengkaji tema tertentu dengan mengambil semua ayat al-Qur’an berkaitan dengan tema tersebut, sehingga terbangun satu pandangan Al- Qur’an yang integral mengenai tema tersebut ( Sa’id, 1986)
b. Tafsir yang menghimpun ayat-ayat yang bertebaran dalam Al-Qur’an berkaitan dengan tema tertentu, kemudian menyusunnya berdasarkan kronologi dan sebab turunnya, setelah itu menafsirkan, menjelaskan, dan mengambil kesimpulan (Al-Farmawy dalam Basir, 2006)
c. Tafsir yang membahas berbagai permaslahn berdasarkan tujuan-tujuan Al-Qur’an dalam satu surat atau lebih (AL-Khalidy,1997).
Berikut ini akan ditunjukkan contoh-contoh penafsiran maudhu’i:
1. Tafsir dari Nabi
الذّيْنَ ءامنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم أولئك لهم الأمن وهم مهتدون
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampradukkan iman mereka dengan kedholiman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itulah orang yang mendapat petunjuk.
Ketika turun ayat ini para sahabat merasa sangat berat, maka mereka pun bertanya, “adakah diantara kita yang tidak pernah berbuat dholim ya Rasul?” seperti yang kalian sangka”, lalu beliau membaca ayat 13 surat Luqman:

و إذ قال لقمان لابنه وهو يعظه يابني لا تشرك بالله إن الشرك لظلم عظيم
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, diwaktu ia memberi pelajaran kepadanya: “hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, karena mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedholiman yang besar”
Ayat ini membatasi makna kedholiman dengan kemusyrikan, dan makna inilah yang digunakan untuk memaknai kata dholim dalam ayat sebelumnya. Dengan demikian, Rasulullah SAW menerapkan penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, dan penafsiran semacam ini disebut sebagai embrio atau batu fondasi untuk tafsir tematik.
2. Tafsir ibnu Abbas
فإذا نفخ في الصور فلا أنساب بينهم يومئذ ولا يتساءلون
Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak pula mereka saling bertanya

Sedangkan dalam surat As-Shofat ayat 50 dinyatakan bahwa mereka saling bertanya
فأقبل بعضهم على بعض يتسألون
Lalu sebagian mereka menghadap kepada sebagian yang lain sambil bercakap-cakap

Ibnu Abbas memberikan penjelasan bahwa ayat pertama (tidak ada percakapan) berlaku pada tiupan sangkakala yang pertama, sedangkan ayat kedua (ada percakapan) berlaku pada tiupan sangkakala yang kedua.

Firman Allah dalam surat Al-An’am dan surat An-Nisa’ mengenai harta anak yatim:
Surat Al-An’am ayat 152
ولا تقربوا مال اليتيم إلا بالتي هي أحسن حتى يبلغ أشدّه

Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim kecuai dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga ia dewasa.

Surat An-Nisa’ ayat 2
وآتوا اليتامى أموالهم ولا تبدلوا الخبيث بالطّيّب

Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk.


2.2.4.2 Langkah-Langkah Penafsiran
Langkah-langkah yang harus dilakukan apabila seseorang ingin menggunakan metode maudhu’i:
1. Memilih atau menetapkan masalah Al-Qur’an yang akan dikaji secara maudhu’i.
2. Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan, ayat Makkiyah dan Madaniyah.
3. Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa turunnya, disertai pengetahuan mengenai latar belakang turunnya atau sabab Al—nuzul.
4. Mengetahui hubungan (munasabah)ayat-ayat tersebut dalam masing-masing surahnya.
5. Menyusun tema bahasan dalam kerangka yang pas, utuh, sempurna, dan sistematis.
6. Melengkapi uraian dan pembahasan dengan hadist bila dipandang perlu, sehinnga pembahasan semakin sempurna dan jelas.

2.2.4.3 Kelebihan
1. Cara yang paling efektif untuk mengkaji maksud ayat-ayat Al-Qur’an secara utuh.
2. Menjawab tantangan zaman, ia membawa pembaca kepada petunjuk Al-Qur’an atau cepat dalam menjawab persoalan hidup manusia secara konseptual dan praktis.
3. Praktis dan sistematis dalam menyelesaikan masalah yang timbul dalam masyarakat, dan kondisi semacam ini amat cocok dengan keadaan umat manusia yang semakin modern dan mempunyai mobilitas yang tinggi.
4. Dinamis dan selalu sesuai dengan tuntutan zaman, karena penyampaiannya yang mudah dipahami dan utuh dalam menjawab setiap persoalan sehingga metode ini selalu actual dan tidak pernah ketinggalan zaman.

2.2.4.4 Kelemahan
1. Memenggal ayat Al-Qur’an
Metode penafsiran maudhu’I hanya mengambil satu ayat atau lebih yang mana di dalamnya mengandung banyak permasalahan yang berbeda.
2. Membatasi pemahaman ayat
Metode ini menetapkan judul yang akan dibahas, sehingga pemahaman menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. 









BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penafsiran terhadap Al-Qur’an telah tumbuh dan perkembang pada saat masa-masa awal pertumbuhan islam, dan hal ini juga pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dalam menjelaskan segala persoalan umat. kebutuhan umat islam saat itu terpenuhi oleh penafsiran yang singkat (global) karena mereka tidak memerlukan penjelasan yang rinci dan mendalam. Maka tidak dapat dipungkiri bahwa pada abad pertama berkembang metode global (ijmali) dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an, bahkan para ulama yang datang kemudian melihat bahwa metode global terasa lebih praktis dan mudah dipahami. Tetapi pada periode berikutnya, setelah islam mengalami perkembangan lebih luas sampai di luar Arab dan tuntutan kehidupan umat yang semakin kompleks dan beragam. Kondisi inilah yang mendorong lahirnya metode analisis (tahlili).
Dengan munculnya dua bentuk penafsiran dan didukung dengan berbagai corak tersebut, umat islam ingin mendapatkan informasi yang lebih jauh berkenaan dengan kondisi dan kecenderungan serta keahlian para pakar tafsir. Selain itu umat juga ingin mengetahui pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an yang terlihat mirip padahal pengertiannya berbeda, kondisi ini mendorong para ulama khususnya mufassir untuk melakukan perbandingan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan demikian lahirlah tafsir dengan metode perbandingan (muqaran)
Perkembangan selanjutnya pada abad modern, untuk menanggulangi permasalahan yang dihadapi umat pada abad modern yang mana pada abad ini jauh lebih kompleks dibandingkan dengan generasi terdahulu, ulama tafsir menawarkan tafsir Al-Qur’an yang disesuaikan dengan realitas kehidupan masyarakat dengan metode baru yang disebut dengan metode tematik (maudhu’i).




DAFTAR PUSTAKA

Salim, Abdul. 2010. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras.
Wahid, Marzuqi. 2005. Studi al-Qur,an Kontemporer Perspektif Islam dan Barat. Bandung: Pustaka Setia.
Saifullah dkk. 2004. Ummul Qur’an. Ponegoro: Prodial Pratama sejati.
Effendy, Ahmad. 2013. Sudahkah Anda Mengenal Al-Qur’an. Landungsari: Misykat Indonesia.
Abdullah, Mawardi. 2011. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Al-Qatthan, Manna. 2017. Dasar-Dasar Ilmu Al-Qur’an. Jakarta Timur: Ummul Qura
أحمد بن عثمان رحماني. ۲٠٠٨. مناهج التفسير الموضوعي وعلافتها بالتفسير الشفاهي. الأردن: عالم الكتب الحديث.
السعيد، عبد التارفتح. ۱٩٨٦. المدخل إلى التفسير الموضوعي.
مناع، القطان. ۲٠۱٧. القواعد الأساسية في علوم القرآن الكريم. جاكرتا الشرقي: أمّ القرى.